Rangkulan (mu’anaqah) dan jabat tangan (mushafahah) tergolong kebiasaan baru bagi masyarakat Mekkah-Madinah yang tidak dikenal semasa pra-Islam. Kebiasaan merangkul dengan mendekatkan badan antar dua orang laki-laki baru pertamakali dilakukan oleh Rasulullah, khususnya terhadap keluarga besarnya yang loyal kepada beliau.
Hal ini seperti beliau lakukan saat berjumpa dengan Ja’far b. Abu Thalib, anak paman sekaligus saudara sesusuan beliau. Atas dasar ini pula imam Malik menolak merangkul koleganya bernama Sufyan dengan alasan hal itu hanya berlaku khusus bagi Rasulullah.
Dalam kitab al-Muwaffaqat juz III halaman, 269 dijelaskan bahwa Sufyan bertanya kepada Imam Malik: “Apakah yang berlaku khusus bagi Rasulullah berarti berlaku khusus pula bagi kita? Begitu juga apa yang berlaku umum menurut Rasulullah maka berlaku umum pula menurut kita?” Komentar ini tak dihiraukan Imam Malik. Beliau tetap dengan pendiriannya tidak mau berpelukan dengan Sufyan karena menurutnya hal itu khusus menjadi kebiasaan Rasulullah.
Adapun berjabatan tangan, kebiasaan ini semula juga tidak dipraktikkan orang Mekkah-Madinah. Kebiasaan mereka saat bertemu dengan sanak famili dan teman karibnya cukup dengan mengangkat salah satu telapak tangan sambil mengucapkan salam. Tidak ditentukan, misalnya, menyambut penuh hangat orang yang memulai menyapa.
Hal ini setidaknya dapat ditangkap dari pandangan ulama Hijaz yang mengkategorikan hukum “tidak dianjurkan” berdiri menyambut tamu yang datang. Dalam al-Muwafaqat juz III halaman 278, imam Malik berpendapat bahwa kebiasaan berdiri menyambut tamu hanya berlaku untuk keluarga Nabi saja. Sabda Rasulullah: “Berdirilah kalian untuk menyambut tuan kalian (Ja’far b. Abu Thalib)”, menurut Imam Malik adalah sebagai sunnah khusus Nabi, bukan untuk khalayak umum.
Bukti sejarah sosial berjabatan tangan bukan bagian entitas budaya Arab Mekkah-Madinah juga dapat digali melalui karya imam Nawawi (al-Azdkar). Menurutnya berjabatan tangan semula menjadi kebiasaan yang dibawa orang-orang Yaman di kota suci Mekkah-Madinah. Kemudian dijadikan sebagai cara merajut persaudaraan di antara suku-suku Arab oleh Rasulullah.
Keterangan ini didapatkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Anas b. Malik. Katanya, ketika datang kelompok masyarakat Yaman menghadap Rasulullah, beliau bersabda: “Sungguh telah datang orang-orang Yaman. Merekalah yang pertama datang dengan cara berjabat tangan” (HR. Abu Dawud).
Secara umum rangkulan dan berjabatan tangan merupakan arus baru budaya Arab Islam. Mungkin saja jika al-Qur’an tidak menekan agar pengikut Nabi Muhammad melakukan jabat tangan (wa’fuu washfahuu) mereka tidak akan menerima arus baru kebudayaan itu. Rasulullah Saw. dengan kebijaksanaannya menerima dan menyebarluaskan cara menyambut orang lain dengan salam, merangkul, dan berjabatan tangan dalam rangka memperkokoh persaudaraan dan persahabatan.
Merangkul dan berjabatan tangan adalah cara Rasulullah untuk menghilangkan skat-skat sosial. Tapi oleh sebagian umatnya dianggap sebagai unsur profetik yang harus dijalankan sesuai dengan dalil legalitasnya. Akibatnya muncullah anggapan bahwa merangkul hanya untuk ahlul bait Rasulullah: Berjabat tangan hanya boleh dilakukan dengan orang tertentu saja dan waktu-waktu yang ditentukan. Di luar itu dianggap penyimpangan dan bidah.
Dalam konteks inilah kita patut mengangkat topi atas kecerdasan imam Syafi’i dalam penggunaan dalil-dalil dhoif tentang praktik merangkul dan berjabat tangan. Berdasarkan kumpulan hadits-hadits dhaif ini para ulama pengikutnya akhirnya berani membuat kaidah umum bahwa merangkul dan jabatan tangan adalah Sunnah.
Dengan mempertimbangkan kaidah dan norma dasar itulah, maka dianggap Sunnah kebiasaan merangkul orang yang baru datang, berjabatan tangan sesudah shalat dengan orang di samping kita, dll. Sekalipun tidak ada dalil khusus yang menjelaskan masalah itu tetapi spiritnya adalah menyebarkan pesan persahabatan dan perdamaian ke seluruh umat di muka bumi.