Saking khidmatnya menjalani work from home, saya sampai melewatkan kehebohan luar biasa tentang topik dukhan dan tanda-tanda kiamat. Saya sungguh-sungguh tak tahu topik itu sedang ramai dibicarakan oleh banyak orang dan menjadi dramatis setelah dua-tiga tukang ceramah melegitimasinya, atau menafsirkannya, dengan teks-teks suci.
Saya baru menyadari kehebohan itu justru setelah peristiwa kiamat yang diramalkan—15 Ramadan 1441 Hijriah atau 8 Mei 2020—sudah lewat. Tidak ada apa-apa. (Atau mungkin sesungguhnya benar terjadi, dan sekarang semua makhluk hidup di Bumi, termasuk manusia, sudah musnah, sementara saya menuliskan ini di alam yang lain, menanti giliran dipanggil untuk dilemparkan ke neraka. Oh, tidak! Terlambat untuk bertobat.)
Topik seputar itu sebenarnya telah berulang kali muncul, direproduksi dan dimodifikasi sedemikian rupa, sepanjang sejarah umat manusia. Dalam sejarah modern mungkin sudah ribuan kali. Selama abad ke-21 saja barangkali sudah puluhan kali. Yang paling gempar ialah ramalan bahwa kiamat terjadi pada 2012. Ternyata meleset. Belakangan diketahui bahwa ramalan itu cuma penafsiran keliru atas tanggal akhir kalender peradaban bangsa Maya kuno di Meksiko.
Sayangnya ramalan-ramalan itu tidak pernah didefinisikan dalam satu pengertian yang jelas dan pasti. Apakah kiamat yang dimaksud itu ialah kehancuran alam semesta atau jagat raya? Atau cuma kehancuran Tata Surya? Ataukah hanya kehancuran Bumi?
Kalau yang dimaksud adalah pengertian yang pertama, maka ramalan seperti itu mestinya niscaya tidak dapat dipercaya. Sebab, ilmu pengetahuan telah mengungkap bahwa jagat raya ini jauh-jauh lebih luas dari yang pernah diperkirakan manusia. Ukuran jagat raya—kalau diibaratkan sebuah bola maha raksasa—berdiameter 93 miliar tahun cahaya (Anda bisa membayangkan ukuran seluas itu dengan mempelajari pengertian 1 tahun cahaya lalu kalikan dengan 93 miliar). Berisi miliaran/triliunan galaksi yang pada masing-masing galaksi terdiri dari miliaran bintang seperti Matahari.
Tetapi itu baru alam semesta yang teramati. Para ahli astrofisika dan astronomi menyebutnya “observable universe”, artinya, itu baru batas terluar jagat yang sejauh ini bisa diamati/diukur. Cukup jelas kemungkinannya bahwa “observable universe” itu mengembang lebih luas lagi seiring pengamatan/pengukuran lebih lanjut dengan teknologi yang lebih canggih.
Kata “mengembang” di atas bukan hasil kreasi saya, melainkan begitulah kenyataannya. Alam semesta memang senantiasa mengembang dan berekspansi, sebagaimana kali pertama dibuktikan oleh penelitian astronom Edwin Hubble (namanya diabadikan menjadi nama teleskop luar angkasa Hubble) pada tahun 1929. Artinya, ukuran alam semesta tidak statis, tetapi terus berkembang, dengan kecepatan luar biasa.
Menjadi sulit dinalar: apa yang bisa mengakibatkan kehancuran alam semesta. Satu-dua-tiga tumbukan asteroid, apalagi yang cuma seukuran lapangan sepakbola, atau bahkan katakanlah Bumi menabrak Matahari, mustahil sanggup menghancurkan alam semesta. Itu cuma seperti seekor kunang-kunang menabrak lampu menara mercusuar.
Kita tahu pula bahwa belakangan para ilmuwan berspekulasi bahwa alam semesta tidak satu, melainkan banyak, yang disebut dengan istilah multisemesta (multiverse). Saya tak tahu apa-apa tentang teori yang dipopulerkan, salah satunya, oleh Stephen Hawking itu. Maka janganlah tanya saya soal itu. Belum ada bukti, dan karenanya, masih bersifat spekulatif. Namun, andai memang benar ada banyak semesta, semesta yang mana yang akan mengalami kiamat.
Kalau yang dimaksud kiamat itu dalam pengertian kedua, yakni kehancuran Tata Surya, tempat planet Bumi berada, coba pastikan atau tentukan apa penyebabnya. Tabrakan asteroid lagi? Tabrakan planet-planet dan Matahari karena pergeseran lintasan orbit? Tata Surya, menurut perhitungan para ilmuwan, sudah berumur 4,5 miliar tahun. Dan selama itu tak pernah terjadi tabrakan planet-planet dan Matahari.
Salah satu prediksi paling ilmiah tentang kehancuran Tata Surya adalah akibat fenomena ledakan supernova bintang di Tata Surya: Matahari. Ledakan itu, sebagaimana supernova bintang-bintang lainnya, menandai kematian Matahari dan akan melahap planet-planet dan benda-benda antariksa lainnya sampai musnah. Tetapi peristiwa itu terjadi miliaran tahun yang akan datang. Perhitungan paling lama, menurut astronom Carl Sagan, 10 miliar tahun mendatang. Prediksi paling cepat, menurut ilmuwan termutakhir, 5 sampai 6 miliar tahun mendatang.
Pokoknya, berdasarkan semua perhitungan itu, masih miliaran tahun lagi. Tidak perlu diramal-ramalkan, karena masih terlalu lama sekali. Santai saja. Lagi pula, hampir bisa dipastikan keberadaan umat manusia di Bumi tidak akan sampai selama itu—paling lama hanya sampai 5 juta tahun yang akan datang.
Terakhir. Jika yang dimaksud kiamat dalam definisi ketiga, yakni kehancuran Bumi, misal, gara-gara kejatuhan asteroid, coba pastikan sebesar apa benda luar angkasa itu. Bumi sudah berkali-kali kejatuhan asteroid. Salah satu yang terbesar dan terkenal ialah yang terjadi di Semenanjung Yucatan, Meksiko, pada 66 juta tahun lalu—jauh sebelum ada manusia. Bekas tumbukannya masih menganga seluas 150 kilometer persegi—setara luas kota Jakarta Utara.
Liang raksasa yang sekarang dikenal dengan Kawah Chicxulub itu akibat tertimpa asteroid besar dengan diameter 81 kilometer. Itu setara Kota Payakumbuh, Sumatera Barat. Tumbukan itu memang dahysat: memusnahkan sebagian besar makhluk hidup di permukaan Bumi, terutama bangsa dinosaurus.
Tapi Bumi tidak hancur berkeping-keping. Makhluk hidup-makhluk hidup kecil yang hidup atau bisa belindung di bawah permukaan tanah, atau yang berhabitat di bawah permukaan laut, selamat dari bencana itu. Kawah itu barangkali cuma ibarat bekas jerawat di wajah.
Nah, sekarang periksa apa yang diramalkan bakal mengakibatkan kehancuran Bumi, sebagaimana heboh sejak pertengahan April sampai awal Mei itu? Ternyata, sekali lagi, dikait-kaitkan dengan asteroid, yang beberapa di antaranya diperkirakan akan menabrak Bumi.
Ada tujuh asteroid, menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, yang berjarak terdekat dengan Bumi. Yang dimaksud “terdekat” itu berdasarkan skala astronomis yang sebenarnya tetap sangat jauh juga, yaitu 1,6 juta kilometer (4,3 kali jarak Bumi dengan Bulan) sampai 3,4 juta kilometer. Ukuran masing-masing asteroid, yang paling kecil berdiameter 16 meter dan yang paling besar 470 meter. Tidak ada apa-apanya dengan yang pernah menghantam Semenanjung Yucatan.
Depok, 10 Mei 2020