Ada macam-macam hal yang membatalkan puasa Ramadhan dan beragam pula konsekuensinya. Ada yang sekedar harus meng-qadha (mengganti di hari lain), tetapi ada pula yang mengakibatkan sanksi berat. Terhitung yang berat adalah hubungan seks (jima’).
Dasar hukum sanksi ini hadis riwayat Bukhari dan Muslim tentang lelaki yang mengaku telah melakukan pelanggaran ini. Rasulullah Saw. lalu mengurutkan tiga sanksi untuk menjadi kaffarah (penebus): pembebasan budak, puasa dua bulan berturut-turut, dan memberi makan enam puluh orang miskin.
Tida kaffarah itu tidak dapat dipilih begitu saja, tetapi berlaku urut. Karena di zaman ini saanksi pertama tidak berlaku lagi, dengan sendirinya pelakunya harus puasa dua bulan berturut-turut. Jika karena sebab yang dibenarkan syariat hukuman ini tidak mungkin dilakukan, baru dpat ditempuh sanksi terakhir berupa pemberian paket kepada 60 fakir miskin, masing-masing 1 mud (kurang lebih 6 ons) bahan makanan pokok.
Kaffarah ini berlaku antara lain jika hubungan seks itulah yang mengakibatkan batalnya puasa. Jika sebelumnya puasanya sudah batal atau dibatalkan, maka kaffarah di atas tidak berlaku.
Tetapi itu tidak berarti sanksinya menjadi lebih ringan. Meninggalkan atau membatalkan puasa tanpa alasan yang dibenarkan syariat adalah sebuah dosa yang sangat besar. Diriwayatkan At-Turmudzi, Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya:
“Barangsiapa meninggalkan atau mebatalkan puasa sehari puasa Ramadhan tanpa alasan yang meringankan dan tidak pula karena sakit, maka puasa sepanjang masa tidak cukup sebagai gantinya”.
Membatalkan puasa sebelum hubungan seks bukan hanya berarti memangkas sanksinya. Setidaknya ada dua alasan moral untuk tidak melakukannya.
Pertama, puasa dua bulan berturut-turut adalah hukum yang secara spesifik ditetapkan Allah. Apakah anda ingin lari dari hukuman-Nya?
Kedua, dengan membatalkan puasa untuk menghindari kaffarah, maka sesungguhnya orang telah melakukan akal-akalan, bermain siasat atas hukum Allah. Pertanyaannya, secerdik itukah kita?
Bagaimanapun beratnya, begitulah hukum telah ditetapkan. Jika ingin tidak tertimpa beratnya hukum, sebaiknya kita berhati-hati. Tidak ada salahnya untuk mengurangi tindakan-tindakan lahiriyyah yang lazim digunakan untuk mengekspresikan rasa sayang, cinta, dan kemesraan suami-istri. Jika dianggap perlu ciptakan jarak (sementara). Ikuti kegiatan-kegiatan kerohanian yang banyak diselenggarakan selama bulan Ramadhan. Prinsipnya, hindari segala sesuatu yang dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam pelanggaran ini.
Inilah sesungguhnya makna puasa: menahan diri dari godaan nafsu, tidak untuk menghancurkannya tetapi untuk mampu mengendalikannya. Bukankah akan sampai juga waktu di mana dorongan nafsu itu dapat dipenuhi tanpa ancaman murka Tuhan.
Sumber; K.H. M.A. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat. hal.118-119, Khalista, Surabaya.