Suatu hari saya tengah melihat beberapa story di Instagram. Terbuka lah satu story milik teman saya saat SD. Story ini berisi ucapan terima kasih kepada seseorang. Hal yang membuat saya melihatnya agak lama adalah ia memanggil temannya yang sudah menjadi orangtua dengan sebutan Ama.
Pada hari yang lain saya kembali melihat story-nya. Kali ini dia mengajarkan sang buah hati untuk memanggilnya dengan sebutan ummah. Ama dan Ummah bukan panggilan yang cukup akrab sebenarnya di telinga orang-orang desa. Malah sebutan mama dan papa lebih sering terdengar, apalagi yang setiap hari tontonannya sinetron.
Banyak panggilan untuk orangtua yang dipraktikkan di Indonesia, ada bapak-ibu, ayah-ibu, ayah-bunda, atau bapak-mak. Ada juga yang memanggil dengan sebutan simbok, biyung, baba, papa-mama, bundo, papi-mami, pipi-mimi, abi-umi dan tentunya masih banyak lagi, hampir setiap keluarga di daerah tertentu memiliki panggilan kesayangan untuk orangtua atau keluarga masing-masing.
Baca juga: Panggilan Sayang Rasul kepada Aisyah
Kemajuan zaman sebenarnya juga memengaruhi cara kita memanggil orangtua. Sebagai orang kelahiran tahun 90-an, seingat saya hanya ada satu tetangga yang memanggil orangtua dengan panggilan mama-papa. Lainnya masih didominasi bapak dan ibuk dan bapak dan mak.
Mendengar tetangga yang memanggil mama dan papa, saya langsung mengajukan penawaran kepada ibu untuk memanggil dengan panggilan yang sama. Alih-alih ibu setuju, jawaban ibu malah, “Papa-papa, mama-mama, wong biasa ae nyeluke (orang biasa kok manggilnya) papa-mama, iyo lek bintang pelem ngunu. (iya kalau anak bintang film).” Ibu menolak dengan tegas tawaran saya.
Bagi ibu waktu itu dan mungkin saja orangtua lainnya merasa bahwa panggilan papa-mama memang lebih lekat dengan keluarga yang kaya, apalagi yang sering didengar adalah para bintang sinetron yang memanggil dengan sebutan demikian.
Seiring dengan berjalannya kemajuan teknologi, semakin banyak pasangan muda-mudi yang mendeklarasikan diri mereka sebagai papa dan mama bagi anak-anak mereka. Panggilan bapak, ibu, mak dan simbok semakin jarang terdengar.
Panggilan lain yang terkesan agak kebarat-baratan adalah panggilan dady untuk orang tua laki-laki. Lagi-lagi panggilan ini terdengar dari layar televisi sinetron kita.
Selain sinetron yang menyumbang inspirasi pemanggilan orang tua, gerakan islamisasi juga demikian. Panggilan-panggilan bocah atau arek tergantikan dengan akhi dan ukhty. Liat saja beberapa kalimat ajakaran mereka, Yaa ikhwan wa akhwat. Lama-lama sebutan Yang Terhormat Bapak-Ibu sekalian akan diganti Yang terhormat al aba’ wal ummahat.
Panggilan abi dan umi atau abah hanya terdengar dari keluarga yang sudah berhaji, keluarga keturunan Arab atau keluarga pesantren. selain itu, hampir tidak ada orang memanggil dengan sebutan abi, abah, umi, dan ummah. Lebih-lebih ami dan ama.
Ada beberapa jenis panggilan yang digunakan hanya sebagai obrolan dengan teman tetapi tidak digunakan sebagai panggilan kepada orangtua. Contohnya, bokap dan nyokap serta ebes dan memes. Dua contoh panggilan ini digunakan dalam contoh kalimat, “Nyokap gue belum pulang dari kerja.” Atau dalam kalimat, “Ebesmu durung ngirim duek ta? (Bapakmu belum ngirim uang?)” Rasanya saya tidak pernah mendengar seorang memanggil ayahnya dengan “Kap bokap atau mes memes.”
Panggilan orangtua dianggap tidak lepas dari status sosial suatu keluarga. Seperti anggapan hanya keluarga kaya yang memakai panggilan mama-papa, mami-papi, om-tante, dan lain sebagainya atau adanya anggapan hanya orang yang sudah berhaji, keturunan kiai atau ustaz dan keturunan Arab yang boleh memanggil abah, abi, umi, umma, ami, ama, dan lain sebagainya.
Orang yang belum berhaji akan malu bila dipanggil dengan sebutan abi atau abah. Atau orang yang merasa hidupnya kekurangan juga akan malu bila sang anak memanggil dengan panggilan mama dan papa.
Namun, seiring majunya globalisasi yang mengaburkan batas-batas termasuk batas sosial, semua orang berhak memberi panggilan untuk orangtua dengan sebutan apapun. Para artis yang berhijrah juga memanggil dengan kata abi dan umi atau orang-orang di desa sudah mulai menggunakan panggilan mama dan papa. Tetapi tentunya hal ini juga berakibat pada hilangnya beberapa panggilan sebelumnya seperti ibu, bapak, mak, simbok, pakde, bude, lilik dan lain sebagainya. Apalagi kata-kata panggilan ini mulai digunakan di banyak ruang publik.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan panggilan-panggilan tadi, tetapi jika panggilan terebut membuat sebuah keluarga jadi merasa ter ter ter dari pada yang lain akan menimbulkan konflik sosial. Contohnya orang merasa lebih kaya dengan panggilan mami-papi daripada mereka yang memanggil bapak dan ibu atau orang merasa lebih islami dengan panggilan abi dan umi dari pada mereka yang memanggil mama dan papa.
Sejatinya panggilan ini adalah bentuk sayang dan hormat pada orangtua ataupun keluarga bukan sebagai bentuk pembeda kekayaan apalagi ketakwaan. (AN)