“Tafsir al-Mishbah diciptakan untuk mahasiswa, jadi bukan untuk orang awam” tutur Quraish Shihab dalam sebuah obrolan bersama Ulil Abshar Abdalla.
Dalam diskusi yang disiarkan di akun YouTube NU Online itu, Quraish Shihab menegaskan bahwa membutuhkan dasar pengetahuan yang cukup untuk membaca kita tafsirnya. Meski demikian, ia tetap berusaha untuk mempermudah redaksinya sehingga orang yang tidak mendalami ilmu agama, kalau dia memiliki kecerdasan yang cukup, akan bisa memahami al-Misbah.
Mufasir kenamaan Indonesia tersebut juga meneguhkan bahwa kitab tafsirnya tidak ditujukan untuk kalangan ibtida’iyah (jenjang sekolah dasar). Salah satu alasannya adalah karena metodologi penafsirannya yang menggunakan penalaran, bukan hanya periwayatan nash.
Gus Ulil sempat membincang Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisyri Musthafa dan mengasosiasikannya dengan Tafsir Jalalain. Hal itu karena keduanya memiliki kesamaan dari sisi metodologis. Namun, ketika Gus Ulil mengasosiasikan Tafsir al-Mishbah dengan Tafsir Ibn Katsir, Quraish Shihab menampik.
“Tidak juga, karena (tafsir) Ibnu Katsir lebih fokus dimasukkan dalam tafsir bi al-ma’ṡūr. Sedangkan al-Mishbah itu bukan hanya al-ma’ṡūr, kita berusaha menghimpun antara yang al-ma’ṡūr dan al-ma’qūl,” terangnya.
Sebagai catatan, tafsir bi al-ma’ṡūr adalah metode penafsiran dengan cara mengutip atau mengambil rujukan pada al-Qur’an, hadis nabi, kutipan sahabat serta tabi’in. Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya. Tafsir bi al-ma’ṡūr telah ada sejak zaman sahabat.
Pada zamannya jenis tafsir ini dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah, atau dari sahabat oleh sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya. Cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan.
Tafsir al-ma’qūl atau bi al-ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada pendapat pribadi mufasir. Metode tersebut memuat penjelasan-penjelasan al-Qur’an yang disandarkan kepada ijtihad dan akal, berpegang kepada kaidah-kaidah bahasa dan konteks orang arab dalam menafsirkan bahasanya.
Tafsir bi al-ra’yi muncul utamanya ketika peradaban Islam semakin maju dan berkambang. Hadirnya metode ini juga didukung dengan banyaknya para ahli tafsir yang telah menguasai berbagai disiplin ilmu. Dengan demikian, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri sesuai dengan konteks sosial yang mengitarinya. Hal ini yang membuat tafsir model ini akan selalu berbeda dengan penafsir lain dengan metode serupa.
Kembali ke laptop, Tafsir al-Mishbah mengkombinasikan kedua metode itu. Tafsir Al-Mishbah banyak merujuk pada karya-karya tafsir sebelumnya. Rujukan yang diambil berasal dari berbagai mazhab, tidak terbatas pada tafsir-tafsir Sunni, tetapi juga tafsir Mu’tazilah dan Syi’ah. Selain itu, Tafsir al Mishbah juga sangat kuat memperhatikan kondisi sosio-kultural masyarakat saat ini. Itulah mengapa tafsir akan sangat relevan dibaca oleh masyarakat Nusantara.
Meski demikian, seperti yang ditegaskan penulisnya, target audiens Tafsir al-Mishbah cenderung eksklusif. Terbatas dalam arti, pembacanya harus dibekali dengan modal intelektual yang cukup. Pengkajinya tidak harus seorang Muslim, namun siapapun yang memiliki dasar pengetahuan yang layak.
Target pembaca ini cukup beralasan. Pasalnya, orang awam dengan bekal pengetahuan yang kurang justru berpotensi jatuh dalam kekeliruan ketika memahami tafsir al-Qur’an. Harus diketahui, tafsir berbeda dengan terjemahan. Orang awam mungkin mudah menangkap maksud terjemahan sebuah ayat. Hal itu karena terjemahan cenderung letterlek dan apa adanya.
Berbeda dengan tafsir. Pembaca akan sering bersinggungan dengan penjelasan yang seringkali di luar dimensi al-Qur’an. Contoh gampangnya adalah penafsiran Quraish Shihab tentang jilbab pada QS. al-Ahzab: 59 yang artinya,
“Wahai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya (ke seluruh tubuh mereka)”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak diganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
Hampir semua ulama sepakat bahwa perintah ayat di atas berlaku bukan saja pada zaman Nabi, tetapi juga sepanjang masa hingga kini dan masa yang akan datang. Sementara itu, ulama kontemporer memahaminya hanya berlaku pada zaman Nabi saw di mana ketika itu ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil.
Pendapat ulama kontemporer ini diamini oleh Quraish Shihab. Ia memahami perintah tersebut hanya berlaku pada zaman Nabi, di mana ketika itu ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil. Jika tujuan tersebut telah dapat dicapai dengan satu dan cara lain, maka ketika itu pakaian yang dikenakan telah sejalan dengan tuntunan agama.
Menurutnya, sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak hampir dapat dikatakan sama. Karena itu lelaki usil sering kali mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka ketahui, atau duga, sebagai hamba sahaya. Untuk menghindarkan gangguan tersebut, serta menampakkan keterhormatan wanita Muslimah ayat di atas turun.
Audiens dengan keterbatasan wawasan ulumul qur’an, misalnya, tidak segan-segan mengutuk tafsir itu. Padahal, pembacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak bisa dilepaskan dari konteks sosio-historisnya. Ini baru hal kecil. Belum lagi soal wawasan kebahasaan, pengetahuan tentang konteks historis Arab pra-Islam, atau bahkan relasi al-Qur’an dengan kitab suci sebelumnya.
Dengan demikian, argumen Quraish Shihab di awal menjadi masuk akal. Karena itu, jika kita merasa awam dalam memahami al-Qur’an, alangkah baiknya untuk mencari tokoh agama yang kompeten dalam bidang itu. Dengan tetap berkiblat pada ulama yang kredibel, kita akan semakin dekat dengan kebenaran dan dijauhkan dari kebatilan.