Apakah Sahabat Nabi Pernah Menafsirkan Al-Qur’an dengan Akal?

Apakah Sahabat Nabi Pernah Menafsirkan Al-Qur’an dengan Akal?

Apakah sahabat Nabi pernah menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan akal?

Apakah Sahabat Nabi Pernah Menafsirkan Al-Qur’an dengan Akal?
Al-Qur’an

Seorang kawan pernah bertanya, “ada nggak penafsiran sahabat Nabi SAW yang bir ra’yi atau penafsiran yang menggunakan rasio/akal?” Sejurus kemudian saya jawab, “ada dong!”, karena memang ada sahabat yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ijtihad mereka. Sebagai contoh adalah Q.S. al-Nashr yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas sebagai isyarat akan wafatnya Rasulullah SAW dalam waktu dekat. Tentu ini berdasarkan ijtihad Ibnu Abbas yang bersumber dari akal, bahkan penafsiran seperti ini dianggap sebagai tafsir isyari.

Namun, tidak berselang lama, saya teringat definisi tafsir bil ma’tsur yang mencakup tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an, dengan hadis, dengan ucapan sahabat, dan dengan ucapan tabi’in. Artinya, jika mengacu definisi ini, maka penafsiran Ibnu Abbas di atas dapat diklaim sebagai tafsir bil ma’tsur (tafsir menggunakan riwayat). Namun, kembali ke awal, bukankah penafsirannya bersumber dari akal atau ijtihad?

Dari sinilah sengketa klaim tafsir tampak. Di satu sisi, penafsiran Ibnu Abbas sebagaimana di atas dianggap sebagai tafsir bir ra’yi (akal), namun di sisi lain tafsir bil ma’tsur (riwayat) juga bisa mendakunya. Pada saat yang sama, sebagaimana kita ketahui, dua terma tafsir di atas seringkali diperhadapkan sebagai lawan satu sama lain. Sehingga menjadi tidak logis jika penafsiran tersebut dianggap sebagai tafsir bil ma’tsur (riwayat) sekaligus juga tafsir bir ra’yi (akal).

Lantas muncul pertanyaan mendasar, apakah yang disebut dengan tafsir bil ma’tsur (riwayat) dan tafsir bir ra’yi (akal)?

Sebagian besar literatur ilmu tafsir kontemporer mengidentifikasi tafsir bil ma’tsur sebagai penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadis, ucapan sahabat, dan tabi’in. Sementara tafsir bir ra’yi dipahami sebagai tafsir yang bersumber dari ijtihad atau akal. Pemahaman seperti ini dapat dilihat, misalnya dalam kitab Manahil al-Irfan karya al-Zarqani dan al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Husayn al-Dzahabi, meskipun keduanya masih memperselisihkan masuknya penafsiran al-Qur’an dengan ucapan tabi’in. Hal yang sama juga diungkap Manna’ al-Qatthan dan Quraish Shihab.

Akan tetapi, pemahaman kedua tafsir sebagaimana di atas menyisakan kerancuan dan tumpang tindih satu sama lain, sebagaimana kasus penafsiran Ibnu Abbas yang dapat diklaim oleh kedua jenis metode tafsir di atas. Terkait pemahaman tafsir bir ra’yi, tidak ditemukan masalah pada definisinya. Berbeda halnya dengan pemahaman tafsir bil ma’tsur sebagaimana di atas yang tampak problematis.

Kesan “problematis” itu misalnya diungkap oleh Quraish Shihab yang menyatakan bahwa tidak keliru dari segi substansi jika dikatakan bahwa penafsiran sahabat adalah tafsir bir ra’yi, karena mereka juga menggunakan akal dalam memahami atau menafsirkan al-Qur’an. Terlebih para tabi’in. Bukti bahwa para sahabat dan tabi’in menggunakan akal dalam menafsirkan al-Qur’an adalah adanya perbedaan dari penafsiran mereka.

Musa’id al-Thayyar menambahkan bahwa terdapat kerancuan antara istilah tafsir bil ma’tsur dan pemahamannya. Secara bahasa, “ma’tsur” berarti jejak atau sesuatu yang ditinggalkan (atsar) oleh pihak sebelumnya. Sehingga dalam tafsir, istilah ini dipakai untuk menggambarkan penafsiran yang ditinggalkan atau dipakai oleh Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya. Akan tetapi, pemahaman ini tidak cocok jika disematkan pada tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an.

Pada praktiknya, penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an merupakan kesimpulan dari penafsir. Maka penisbatannya mestinya disandarkan kepada orang yang mengatakan. Jika yang mengatakan “ayat ini merupakan tafsir dari ayat itu” adalah Nabi SAW maka semestinya hal itu disebut sebagai penafsiran Nabi SAW. Begitu juga dengan yang lain. Dengan demikian, memasukkan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an ke dalam istilah tafsir bil ma’tsur menjadi tidak tepat.

Di sisi lain, terdapat sebagian pandangan yang menganggap tafsir bil ma’tsur sebagai tafsir terbaik yang wajib diikuti. Secara sepintas, poin ini dapat diterima jika penafsirannya bersumber dari Nabi SAW atau juga sahabat. Tapi bagaimana dengan penafsiran tabi’in, bukankah sejak awal masih diperselisihkan?

Kerancuan cakupan tafsir bil ma’tsur yang berjumlah empat ini semakin kentara ketika pada seberang yang lain terdapat tafsir bir ra’yi yang dianggap sebagai lawannya. Karena hal itu meniscayakan pada ketidakmungkinan memasukkan suatu tafsir dalam dua kategori sekaligus. Sementara dengan definisi yang ada selama ini, penafsiran Ibnu Abbas di atas dapat diklaim oleh keduanya.

Jika demikian, pertanyaan mendasar perlu diulang sekali lagi. Apa yang dimaksud dengan tafsir bil ma’tsur?

Menjawab pertanyaan ini, Islah Gusmian menawarkan pemahaman bahwa tafsir bil ma’tsur hanya mencakup penafsiran yang bersumber dari Nabi SAW saja. Adapun selainnya disebut tafsir bir ra’yi. Pemahaman yang demikian dianggap lebih memadai untuk menghindari kerancuan mengenai cakupan tafsir bil ma’tsur. Karena apa yang disampaikan oleh Nabi saw hakikatnya bukanlah ra’yi (pendapat akal), melainkan wahyu dari Allah sebagaimana tersebut dalam Q.S. al-Najm: 3.

Sementara Musa’id al-Thayyar menawarkan cakupan tafsir bil ma’tsur secara lebih luas, yaitu terdiri dari: 1) penafsiran yang bersumber dari Nabi SAW, 2) penafsiran sahabat yang dapat dihukumi sebagai hadis marfu’ (disandarkan kepada Nabi saw), seperti asbabun nuzul, dan 3) ijma’ (konsensus) sahabat atau tabi’in, mengingat ijma’ merupakan sumber hukum Islam yang jauh dari kesesatan.

Dengan mengacu dua tawaran definisi yang terakhir ini, pertanyaan kawan saya dapat terjawab bahwa “ada penafsiran sahabat Nabi saw yang bir ra’yi“, khususnya yang bukan ijma’.