Pada dasarnya, Islam merupakan agama yang menekankan semangat keadilan dan persamaan, termasuk terkait relasi laki-laki dan perempuan, demikian juga anjuran agama untuk mewujudkan dunia yang lebih adil. Akan tetapi, setelah Nabi SAW wafat, wilayah Islam meluas ke bekas-bekas wilayah jajahan Persia, Romawi, yang membentang dari Spanyol di Barat dan India di Timur. Sementara kultur yang berlaku di wilayah tersebut, masih dipengaruhi oleh kultur patriarki yang memperlakukan perempuan sebagai the second sex.
Berbagai upaya dan permberdayaan tentu telah dilakukan untuk memajukan kaum perempuan, karena banyak yang mempunyai asumsi jika perempuan berdaya, merdeka dan mampu tampil dan memberikan kontribusi positif dalam ruang publik, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan lain sebagainya, niscaya peradaban Islam akan kembali berjaya.
Hal inilah yang kemudian dilakukan oleh Qasim Amin, seorang pemikir modernis dari Mesir. Melihat keadaan perempuan-perempuan di Mesir yang tidak sesuai dengan prinsip Islam dalam mengangkat martabat perempuan pada waktu itu, beliau mencoba untuk menggelorakan semangat pembebasan perempuan.
Qasim Amin merupakan tokoh pembaharu muslim dari Mesir, dilahirkan di Thurah, wilayah pinggiran kota Kairo, tahun 1277 H/1863 M. Ayahnya bernama Muhammad Bek Amin yang merupakan keturunan Turki, sementara ibunya adalah seorang perempuan Mesir dari Al-Said.
Qasim Amin menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ra’su Al-Tin di wilayah Iskandariyah, setelah itu melanjutkan sekolah menengah Madrasah Al-Tajhiziyyun yang ada di Kairo. Kemudian beliau melanjutkan studinya ke sekolah tinggi hukum Madrasah Al-Huquq, dan berhasil memperoleh ijazah licence pada tahun 1298 H/1881 M.
Setelah pendidikannya selesai, Qasim Amin bekerja di sebuah kantor pengacara milik Mustafa Fahmi di kota Kairo. Namun, tidak lama kemudian beliau berangkat studi ke Perancis untuk mendalami ilmu di bidang hukum pada Universitas Montpellier. Qasim Amin berhasil meraih gelar sarjana hukum di universitas tersebut, yang kemudian membawanya menjadi hakim terkenal di Mesir.
Nama Qasim Amin tentu tidak asing bagi orang-orang yang konsen dengan isu-isu kesetaraan gender. Beliau memang dikenal sebagai sosok pemikir yang menuangkan gagasan-gagasannya pada isu hak-hak perempuan di zamannya. Selama hidup di Perancis, Qasim Amin senantiasa mengikuti perkembangan situasi yang terjadi di negeri asalnya Mesir. Saat itu, kelompok nasionalis Mesir sedang mengambil alih pemerintahan dari kekuasaan kelompok asing. Kelompok nasionalis yang dimotori oleh Urabi Pasha berhasil mengambil alih pemerintahan dari tangan bangsa Turki.
Tetapi kemudian, Inggris merasa kepentingannya di negeri Mesir terancam, sehingga memutuskan untuk menyerbu Mesir dan mengalahkan gerakan Urabi Pasha, dan Inggris berhasil menduduki Mesir. Beberapa orang dari pemimpin revolusi Urabi Pasha, seperti Muhammad Abduh ditangkap lalu diasingkan ke Perancis. Di sinilah Qasim Amin berkesempatan bertemu dengan Muhammad Abduh yang merupakan tokoh gerakan modernisme Islam yang mempunyai pengaruh besar pada waktu itu.
Selain berkawan dengan Muhammad Abduh, Qasim Amin juga sempat berkenalan dengan tokoh pembaharu Islam populer lainnya yakni Jamaluddin al-Afghani yang ternyata diusir oleh Khedewi Taufiq dari Mesir atas tekanan dari Inggris. Oleh karena itu, Qasim Amin juga ikut berkontribusi dalam penerbitan majalah Islam populer yang bernama al-Urwah al-Wutsqa yang berpusat di Perancis. Sayangnya, majalah ini hanya terbit beberapa bulan saja karena dibredel oleh penguasa saat itu.
Qasim Amin kembali ke Mesir tahun 1302 H/1885M, dan diangkat menjadi hakim pada sebuah lembaga kehakiman yang bernama al-Mahkamah al-Mukhwalatah. Setelah pindah ke berbagai kota sebagai hakim, beliau diangkat menjadi Mustashar (hakim agung) pada Mahkamah al- Isti’naf pada tahun 1309 H/1892M. Tahun 1900 M, beliau mendirikan lagi sebuah organisasi sosial Islam yang diberi nama Al-Jam’iyah Al-khayriyah Al-Islamiyah.
Sebagai seorang yang konsen dalam isu emansipasi perempuan, Qasim Amin menganilisis kehidupan sosial mengenai hak-hak perempuan di Mesir. Melalui analisanya tersebut, Qasim Amin berpandangan bahwa perempuan memang jauh tertinggal, diikat dengan tradisi-tradisi yang tertutup dan tidak bisa mengenal kemajuan. Melalui analisanya tersebutlah, Qasim Amin banyak mengkritik tentang budaya patriarki yang masih berlaku di Mesir pada waktu.
Sehingga pada tahun 1899M, beliau menerbitkan buku kontroversialnya yang berjudul Tahrir Al-Mar’ah (emansipasi perempuan) yang menuntut penghapusan “adat hijab” yang berbeda dengan hakikat hijab dalam ajaran Islam. Dia menuntut agar kaum perempuan di Mesir, mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak serta sejajar dengan kaum pria. Beliau juga menuntut perubahan dalam praktek poligami dan perceraian yang dianggapnya banyak merugikan perempuan di Mesir.
Gagasan Qasim Amin tentang emansipasi perempuan banyak mendapat kecaman dari kalangan ulama Islam tradisional Mesir, dan beberapa tokoh Nasional Mesir. Namun, di samping ada kelompok yang menentang, ternyata ada juga pihak yang mendukung. Oleh sebab itulah, Qasim Amin dengan lantang menjawab kecaman dan kritikan itu dengan menulis buku al-Mar’ah al-Jadidah (perempuan Modern). Di dalam buku keduanya inilah, beliau mengemukakan contoh-contoh konkrit perbandingan antara perempuan Mesir, perempuan Eropa dan juga perempuan Amerika.
Dalam membahas tentang perempuan masa kini, Qasim Amin tidak hanya menggunakan dalil-dalil hukum Islam dalam menjawab kritikan yang dilemparkan kepadanya, akan tetapi beliau menggunakan argumen-argumen yang rasional serta mengajak pengkritiknya untuk memperhatikan kemajuan yang telah mampu dicapai oleh bangsa Barat.
Dalam hal ini, Qasim Amin juga mengeluarkan karyanya yang lain untuk memperkuat gagasannya antara lain Mishr wa al-Misriyyun, Asbab wa al-Nataji wa Akhlaq al-Awaiz, Tarbiyah al-Mar’ah wa al-Hijab dan Al-Mar’ah Al-Muslimah. Apa yang dilakukan oleh Qasim Amin melalui karya dan pemikirannya adalah upaya bahwasanya Islam sejatinya tidak menghendaki budaya patriarki, karena salah satu ajaran yang dibawa agama Islam adalah untuk mengangkat martabat perempuan.
Wallahu a’lam.