Qaryah Thayyibah: Sekolah Alternatif, Lingkungan, dan Gagasan “Menghambat Terjadinya Kiamat”

Qaryah Thayyibah: Sekolah Alternatif, Lingkungan, dan Gagasan “Menghambat Terjadinya Kiamat”

Qaryah Thayyibah adalah komunitas belajar yang kreatif dan inovatif. Penggagasnya, Ahmad Bahruddin, berbagi gagasan tentang lingkungan.

Qaryah Thayyibah: Sekolah Alternatif, Lingkungan, dan Gagasan “Menghambat Terjadinya Kiamat”
Foto peserta didik Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (Source: dokumentasi kbqt.org)

Berawal dari membentuk Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah di desa Kalibening Kota Salatiga, Ahmad Bahruddin mengagas berdirinya sekolah alternatif dengan nama yang sama. Qaryah Thayyibah yang berarti “desa berdaya” atau “desa sejahtera” dalam bahasa Arab, dikenal sebagai sekolah alternatif di Kota Salatiga yang menyediakan pendidikan terjangkau bagi rakyat, terbuka, serta penuh dengan inovasi dan kreativitas bagi para peserta didiknya.

Berdirinya sekolah alternatif Kelompok Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT) bermula dari keresahan terhadap biaya sekolah negeri yang mahal untuk ukuran warga di sekitarnya yang kebanyakan adalah petani. Kang Bahruddin, panggilan akrabnya, merasa terusik melihat keluarga anggota serikat paguyuban petani kesulitan untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah formal karena kendala biaya.

“Aku mungkin bisa bayar, tapi gimana dengan anak-anak para petani itu?” Demikian yang diresahkan oleh Kang Bahruddin, dalam buku karyanya berjudul Pendidikan yang Memerdekakan ala Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah.

Berangkat dari keresahan itu, pada bulan Juni tahun 2003, Kang Bahruddin bermusyawarah dengan warga sekitar dan anggota serikat petani. Dari 30 kepala keluarga yang ikut urun rembug dalam musyawarah tersebut, 12 kepala keluarga di antaranya berkomitmen untuk bergabung dengan sekolah alternatif yang dia gagas. Beberapa di antara anak-anak petani tersebut sebenarnya sudah terdaftar di SMP formal di Salatiga dan sekitarnya, namun mereka memilih menarik diri karena faktor biaya. Demi meyakinkan para warga sekitar, Kang Bahruddin menyekolahkan seluruh anak-anaknya di KBQT sendiri.

“Lha iya, anakku tamat MI (Masrasah Ibtidaiyah), mau masuk SMP, ini momentum mewujudkan keresahan. Ya sudah, bikin sekolah sendiri. Tetangga juga pada mau karena anakku, Mas. Ini ceritanya provokasi, menghasut yang baik mengajak tetangga supaya mau.” Ceritanya sambil tertawa renyah, mengenang perjuangannya meyakinkan warga supaya anaknya mau sekolah di KBQT.

Berkat inisiatif dan perjuangan Kang Bahruddin yang istiqamah, KBQT meraih banyak penghargaan. Tercatat 17 penghargaan diraih oleh KBQT dari berbagai lembaga nasional. Salah satunya adalah penghargaan Kick Andy Heroes dari Metro TV di tahun 2013. Tiga lemari kabinet di ruang tamu rumah Kang Bahruddin tampak tidak cukup menampung berbagai macam piala plakat penghargaan untuk KBQT.

Ada empat prinsip belajar yang dipraktikkan dalam KBQT, yakni pembebasan, kontekstual, kolaborasi, dan kegembiraan. Prinsip tersebut mendorong tumbuhnya nalar kritis dan inovatif bagi peserta didiknya. Saat ditemui oleh penulis pada 14 Desember 2021 lalu, Kang Bahruddin menekankan pentingnya menumbuhkan nalar kritis dan inovatif dalam segala lini pendidikan. Dia menunjukkan bahwa Indonesia berhasil dalam indeks keikutsertaan anak-anak dalam meluluskan murid dari lembaga sekolah, namun gagal dalam indeks literasi dan inovasi. Sebuah capaian yang sebenarnya ironis.

“Ini kegagalan dalam learning, proses belajar. Pada aspek literasi fungsional, asesmen terakhir menempatkan kita di peringkat 72 dari 78. Lebih-lebih indeks inovasi, Indonesia terpuruk jauh di bawah Singapura.” Tegasnya.

Sorotan tajam Kang Bahruddin merujuk data indeks PISA (Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2019. Data PISA tahun 2019 menunjukkan Indonesia ada di peringkat 72 untuk literasi, peringkat 70 di bidang sains, dan peringkat 71 di bidang Matematika dari total 77 negara yang disurvei.

Indeks PISA merupakan evaluasi sistem pendidikan di dunia yang mengukur kinerja siswa di kelas pendidikan menengah. Ada tiga poin yang terindeks oleh PISA, yaitu literasi, matematika, dan sains.

Kegagalan proses belajar ini menurut Kang Bahruddin merupakan problem anak sekolahan yang sebenarnya bisa dijawab dengan mengoptimalkan sanggar kreatif inovatif yang tersebar di desa-desa. Nilai dari kelompok belajar atau sanggar kreatif-inovatif lebih universal, dan lebih lokal karena sesuai dengan kebutuhan warga sekitar. Sekolah alternatif, dalam pandangannya, mampu menjawab problem belajar tersebut.

Isu Lingkungan dan Gagasan “Menghambat Terjadinya Kiamat”

Dalam perbincangan sore itu, Kang Bahruddin mencontohkan bagaimana nalar inovatif juga bisa menjawab tantangan isu lingkungan. Dia menyebut salah satu inovator teknologi asal Salatiga, Arfian Fuadi. Nama Arfian Fuadi melejit di dunia engineering berkat mendirikan Dtech Engineering di Salatiga. Berawal dari perusahaan di tahun 2009, Dtech Engineering telah memegang lebih dari 300 proyek dari 150an klien dari 30 negara. Dalam beberapa tahun terakhir, Arfian membuka lembaga edukasi tentang rancang bangun desain teknologi dan mesin dengan biaya terjangkau.

“Apa yang dilakukan Arfian itu mendongkrak indeks inovasi luar biasa, dan dia lulusan SMK. Dia tidak kuliah, tapi dia terus belajar, learning.”

Yang perlu terus dipupuk dalam pendidikan adalah nalar kreatif dan inovasi, dan bagaimana supaya peserta didik selalu berpikir menghadirkan solusi. Solusi pun tidak hanya solusi demi mengejar pekembangan individu, namun demi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat di sekitarnya. Sehingga dari nalar kreatif dan inovatif tersebut memunculkan kemandirian dan keberdayaan masyarakat. Bukan hanya mengejar prestasi dan ambisi pribadi.

Kang Bahruddin bercerita tentang inovasi teknologi yang sedang dia gagas. “Arfian ini sedang Aku ajak mikir, ekstrem! Kalau Aku sebut, ini proyek menghambat terjadinya kiamat. Hahahaha.. Kita sedang mengembangkan konstruksi mesin digester. Dari mesin itu nanti outputnya reduksi emisi GRK (Gas Rumah Kaca). Ini potensial mereduksi global warming. Ide gila itu!”

Kang Bahruddin menguraikan garis besar gagasan yang sedang dia bangun. Perangkat digester (pengurai) akan dipasang di aliran closet, sehingga kotoran/limbah tidak langsung ke septic tank, melainkan tertampung di perangkat digester dahulu. Septic tank, atau penampung limbah konvensional biasanya menghasilkan gas Metana. Dengan prerangkat digester tersebut, gas Metana (CH4) mampu diurai menjadi senyawa CO2 dan H2O yang diharapkan bisa mereduksi perusakan ozon. Menurut Kang Bahruddin, jika berhasil ini bisa jadi proses reduksi perusakan ozon yang cukup besar dari limbah kotoran, baik manusia maupun yang dihasilkan limbah ternak.

Mengutip dari The Guardian, gas Metana berumur lebih pendek di atmosfer dibandingkan dengan gas rumah kaca lainnya, tetapi saat ada di sana, ia memiliki efek pemanasan 30 kali lebih besar daripada karbon dioksida. Pertanian dan peternakan menghasilkan sekitar 32% dari gas Metana yang merusak, dan sebagian besar disebabkan oleh lebih dari miliaran ternak yang ada di muka bumi. Oleh sebab itu, pengelolaan manajemen limbah ternak sebagai penyumbang gas metana perlu dilakukan.

“Ya karena proses fermentasi oleh mikroba itu kan menghasilkan gas metana, dan gas itu ketika dibiarkan terbang ke atmosfer dia yang paling dahsyat menghancurkan ozon. Jadi yang paling dahsyat menghancurkan perisai bumi itu ya gas metana itu, senyawa CH4. Yang paling merusak atmosfer itu kan closet limbah sak Indonesia!” Ujar penggagas Qaryah Thayyibah ini dengan mantap.

Selain pada aspek lingkungan, gagasan “menghambat terjadinya Kiamat” ini juga menjawab tantangan kesehatan, kaitannya dengan jumlah kasus Open Defecation Free, atau buang kotoran sembarangan.

Harapan Kang Bahruddin, jika gagasan ini berhasil diimplementasikan, bisa mencapai lima keuntungan sekaligus, yakni memberi sumbangan bagi sistem sanitasi kota, kemudian menghasilkan renewable energy yang berguna bagi masyarakat banyak, lalu pengurangan emisi gas rumah kaca, kemudian pada wilayah pertanian bisa berpeluang menjadi pupuk alami, serta keuntungan terakhir bisa memicu inovasi dan pendidikan bagi masyakarat tentang lingkungan, sebagaimana dunia yang selama ini dia tekuni.

*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth