Puasa Ramadhan bisa dianggap sebagai terapi psikologis untuk mengubah mentalitas umat Muslim dalam ibadah. Artinya, puasa menjadi semacam ajang revolusi mental. Dengan puasa seseorang dididik untuk bersabar dan melatih kedisiplinan. Inilah salah satu hikmah mendasar dari ibadah puasa. Tentunya masih banyak hikmah-hikmah lainnya, baik spiritual, sosial, maupun secara medis.
Jika hendak diakumulasi, puasa pada hakikatnya mendorong kita memiliki kesadaran diri untuk selalu berubah menuju ke arah kualitas hidup yang lebih baik. Revolusi Mental, dalam tulisan reflektif ini, didefinisikan sebagai transformasi cara pandang (mindset) ataupun sikap kita setelah mengetahui hikmah di balik sesuatu, dalam hal ini puasa, sehingga mendorong adanya perubahan sikap dan perilaku menuju pribadi yang lebih baik. Revolusi mental yang dibentuk ibadah puasa akan mengubah cara pandang seorang Muslim dalam hidupnya. Mindset inilah yang berperan menentukan sikap dan perilaku umat Muslim, terutama ketika mereka berpuasa.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh QS. az-Zariyat:7, tugas utama manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Pertanyaannya, sejauh mana kualitas ibadah yang kita lakukan selama ini? Adakah korelasi positif antara puasa yang kita jalankan secara rutin ini dengan peningkatan kualitas ibadah secara umum?
Parameter kualitas ibadah sangat dipengaruhi oleh mentalitas dan motivasi seseorang dalam beribadah. Jika dilihat dari perspektif ini, maka ibadah dapat dikategorisasi menjadi lima tipe. Pertama, tipe ibadah dengan mentalitas budak. Ia bekerja berdasarkan rasa takut akan amarah tuannya. Jika kita beribadah karena takut kepada murka Tuhan, berarti ibadah kita masih berada pada level ibadah dengan mentalitas budak. Dalam konteks ini, kita seolah-olah telah mengasosiasikan Allah sebagai Tuhan yang “galak”, suka marah, dan sangat menakutkan. Padahal, Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang senantiasa bersedia membuka pintu taubat jika hamba-Nya melakukan kesalahan.
Kedua, tipe ibadah dengan mentalitas kuli. Mental kuli selalu menginginkan mendapatkan bayaran secepatnya. Ia mau bekerja jika sang majikan mau tepat waktu membayar upah kerjanya. Ia akan menunjukkan sikap santun dan loyal kepada bosnya jika setiap kali bekerja langsung mendapatkan imbalan (ujrah). Namun, begitu majikan terlambat membayar upah yang telah disepakati, bisa jadi, si kuli yang tadinya rajin dan sangat loyal berubah menjadi pemarah, emosional, dan bahkan minta berhenti bekerja.
Nah, di antara kita tentu masih ada yang beribadah dengan mentalitas ini. Pada saat ia
beribadah, ia menginginkan imbalan langsung dan jawaban dari Allah di dunia. Ia tidak pernah berpikir bahwa besuk ada “rapelan” upah atau pahala di akhirat. Ketika ia rajin beribadah, misalnya shalat dhuha, namun ternyata kondisi ekonominya tidak kunjung membaik, maka ia bisa mutung dan berhenti beribadah, bahkan sambil memaki-maki Allah. Inilah bahayanya ibadah dengan mentalitas yang dalam bahasa al-Ghazali dinamakan ‘ibādatul ‘ummāl (ibadahnya para kuli atau pekerja).
Ketiga, tipe ibadah dengan mental pedagang. Mentalitas pedagang adalah mencari keuntungan. Ibadah jenis ini disebut ’ibādah lil maṡūbah (ibadah karena upah). Bahasan “untung-rugi” akan selalu muncul dalam kegiatan ibadahnya. Ketika berpuasa, misalnya, ia selalu mengharap keuntungan dunia dan berharap surga atau pahala. Bukan berarti kita dilarang melakukan ibadah arena motivasi ini karena dalam al-Qur’an dan juga hadis Nabi banyak disebutkan semacam iming iming surga dan pahala.
Namun, dalam kaca mata tasawuf, ibadah dengan mentalitas ini rawan mereduksi kualitas ibadah dan keikhlasan pelakunya. Ibadah sedekah, misalnya. Sedekah sejatinya dilakukan dalam rangka bersyukur dengan berbagi rezeki bukan mencari rezeki. Kalau kita mengharapkan kembalian yang berlipat-lipat dari sedekah yang diberikan, maka itu bukan sedekah, melainkan dagang.
Keempat, tipe ibadah dengan mentalitas balas budi (syukur). Seseorang yang berada pada level ini merasa bahwa betapa Allah banyak memberikan anugerah dan nikmat-Nya. Orang pada level ini akan merasa banyak berutang budi kepada Allah sehingga selalu merasa kurang dalam membalas kebaikan Allah. Padahal, salat seumur hidup pun ternyata tidak akan mampu untuk membayar biaya sewa sepasang mata. Pun, sedekah seumur hidup juga tidak akan cukup memadai untuk mengganti biaya sewa jantung. Oleh karenanya, jangan sampai kita “gede rasa” kepada Allah sebab ibadah yang kita lakukan seumur hidup pun tidak akan mampu mengimbangi karunia Allah pada diri kita setiap saat.
Kelima, tipe ibadah dengan mentalitas para kekasih. Al-Ghazali membahasakannya dengan ‘ibādatul ahibbā’. Para kekasih ini adalah orang-orang yang kesengsem jatuh cinta pada Allah. Ibadah jenis ini ibarat seorang pemuda yang sedang kasmaran kepada kekasihnya. Dorongan untuk bertemu kekasih bukan karena akan diberi apa-apa, melainkan agar hubungan dengan kekasihnya menjadi lebih dekat. Ibadah yang didorong oleh rasa cinta tentu akan melahirkan sikap keikhlasan yang luar biasa. Kategori ibadah ini adalah yang paling baik kualitasnya. Dan agama menganjurkan agar ibadah dilakukan dengan motivasi untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan didasari rasa cinta kepada-Nya.
Semoga puasa yang kita lakukan dengan segala muatan hikmah yang terkandung di dalamnya bisa menjadi momentum revolusi mental, utamanya mentalitas dalam beribadah umat Islam. Dari kualitas yang paling rendah kualitasnya menuju mentalitas ibadah dengan kualitas lebih tinggi. Tentu itu semua akan kembali kepada kesadaran dan kapabilitas diri masing-masing. Namun, bukankah kita dituntut untuk menjadi Muslim yang lebih baik setiap harinya?
Wallāhu a’lam biṣṣawāb