Puasa Paskah dan Ramadhan Berbarengan: Momentum Merawat Toleransi di Indonesia

Puasa Paskah dan Ramadhan Berbarengan: Momentum Merawat Toleransi di Indonesia

Umat Islam bisa bertoleransi dengan menjaga keamanan gereja ketika paskah berlangsung. Begitu pula sebaliknya. Kita sudah berbagi hari libur yang sama, mengapa kita tidak berbagi rasa kemanusiaan yang sama juga?

Puasa Paskah dan Ramadhan Berbarengan: Momentum Merawat Toleransi di Indonesia

Umat Katolik tengah memperingati Jumat Agung hari ini, Jumat (7/4) dalam rangkaian Paskah 2023, yakni kebangkitan Yesus Kristus pada hari ketiga setelah disalib, yang menjadi salah satu peristiwa paling sakral dalam kepercayaan Katolik. Diketahui, Paskah 2023 akan jatuh pada Minggu (9/4). Sebelum Paskah, umat Kristen akan menjalani peringatan Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Sunyi, dan lainnya.

Sedangkan Jumat Agung adalah Hari Jumat sebelum Minggu Paskah, hari peringatan Penyaliban Yesus Kristus dan wafatnya di Golgota. Pemerintah menetapkan Jumat Agung atau Wafat Isa Al Masih sebagai hari libur nasional 2023.

Menariknya, umat Muslim dan umat Katolik berpuasa bersama dalam dua tahun terakhir. Fenomena ini jarang terjadi. Di tahun ini, umat Katolik sudah berpuasa lebih dulu sejak 22 Februari 2023. Sedangkan umat Islam baru berpuasa Ramadhan pada 22 Maret 2023. Puasa yang dijalankan umat Katolik merupakan rangkaian ibadah masa pra-Paskah selama menyambut perayaan Paskah pada Jum’at (7/4).

Umat Katolik berpuasa selama 40 hari dari Rabu Abu hingga Jumat Agung (22 Fabruari-7 April). Puasa ini dilakukan umat Katolik yang berusia 18 hingga 60 tahun. Puasa yang dimaksud di sini adalah tindakan sukarela tidak makan atau tidak minum seluruhnya, atau sebagian. Bisa juga makan kenyang sehari sekali.

Selain puasa, mereka juga menjalankan ibadah pantang selama masa pra-Paskah ini. Pantang dilakukan pada hari Rabu Abu dan setiap Jumat (tujuh kali) selama masa pra-Paskah. Bentuknya dengan menahan diri dari segala yang disenangi. Yang wajib berpantang adalah semua umat Katolik berusia 14 tahun ke atas.

Pantang dan puasa ini sudah dilakukan sejak zaman Yesus dan berakar dari kebudayaan Mesir. Puasa dan pantang ini sebagai tanda pertobatan, penyangkalan diri, dan mempersatukan diri dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Momentum ini penting untuk semakin menguatkan rasa toleransi di antara pemeluk agama di Indonesia, terutama antara Islam dan Katolik. Hal itu diungkap Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). Ramadhan dan Paskah menjadi momentum kedua umat beragama dan seluruh umat umumnya untuk terus memupuk cinta kasih dan toleransi sembari membuang arogansi beragama guna meraih kemenangan diri.

Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan PGI, Pendeta Jimmy Sormin, menjelaskan sukacita kedua umat beragama memperingati Ramadhan dan Trihari Suci Paskah akan sia-sia ketika umat masih belum bisa memenangkan diri dari nafsu, kebodohan, egoisme, dan arogansi beragama.

Rasa toleransi ini ditampilkan dengan baik, misalnya, oleh masyarakat Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sejumlah pemuda di Kelurahan Fatufeto, Kecamatan Alak, Kota Kupang, membuat salib serta beduk berdampingan. Pemuda Kristen Feri La’a mengatakan, dua patung replika ini dibangun di satu lokasi ini untuk merayakan Paskah bagi umat Katolik serta Ramadhan dan Idul Fitri bagi umat Islam di Kota Kupang. Feri menyebut, alasan pemuda rayon dua jemaat Gereja Masehi Injili di Timor GMIT Kota Kupang membuat salib dan beduk karena saat ini ada dua perayaan besar keagamaan yang berjalan bersamaan.

Dia mengatakan, jenis dua ikon yang terpajang melambangkan dua hari raya besar, yakni Paskah dan Lebaran yang akan dilaksanakan oleh warga Fatufeto baik penganut agama Katolik maupun Islam. Dia berharap, apa yang dilakukan dia dan pemuda lainnya akan terus memupuk toleransi di wilayah yang dikenal dengan Nusa Terindah Toleransi (NTT) ini.

Di tempat yang sama, perwakilan pemuda Muslim Fatufeto, Munawar Kiah menambahkan, umat Katolik dan Islam di Fatufeto merawat dan mewujudkan, serta mempertahankan toleransi antar-umat beragama yang selama ini terjalin baik.

“Lingkungan kami banyak pemeluk agama Katolik dan Muslim yang mempunyai hubungan kekerabatan yang sangat erat. Bahkan kami di sini mengutamakan hidup damai antar umat beragama, karena kami semua bersaudara,” kata Munawar. Seperti yang dikutip Kompas. Munawar menambahkan, warga yang melintasi lokasi dibuat terpana dengan replika yang mereka buat. Bahkan, tidak sedikit warga yang turun dari kendaraan untuk mengambil gambar, maupun selfie menggunakan kamera smartphone masing-masing.

Toleransi yang tersaji di Kupang tersebut harusnya menjadi cerminan relasi ideal antar umat beragama di Indonesia. Pantas saja, NTT masuk ke dalam salah satu kota paling toleran di Indonesia. Kita boleh eksklusif dalam ranah ritual karena itu merupakan domain vertikal antara manusia dan Tuhan. Namun, untuk urusan horizontal, merangkul keberagaman adalah sebuah keniscayaan.

Cerminan toleransi itu bisa juga terwujud dengan saling menjaga kenyamanan masing-masing umat beragama. Umat Islam, misalnya, menjaga keamanan gereja ketika venue paskah berlangsung. Begitu pula sebaliknya. Kita sudah berbagi hari libur yang sama, mengapa kita tidak berbagi rasa kemanusiaan yang sama juga?