Bulan puasa sepertinya membenarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud yang mulai banyak ditinggalkan. Freud mengatakan bahwa id (dorongan bawah sadar) harus disalurkan. Jika tidak, ia bisa meledak kapan saja dan menghasilkan perilaku yang justru lebih berbahaya. Contohnya, dorongan seks harus disalurkan, jika tidak tersalurkan, bisa saja sewaktu-waktu dorongan seksnya meledak dan orang tersebut malah memperkosa orang dan penyimpangan seksual yang lain.
Menurut Freud, manusia memiliki tiga unsur pembentuk kepribadian. Pertama, id (dorongan bawah sadar) yang didorong oleh prinsip kesenangan, yang berusaha untuk kepuasan segera dari semua keinginan, keinginan, dan kebutuhan. Jika kebutuhan ini tidak dipenuhi, hasilnya adalah kecemasan atau ketegangan. Selain id, ada ego yang mengatur realitas dan kehendak perilaku. Kemudian ada superego, yaitu aspek eksternal yang mengatur norma-norma umum.
Bagi Freud, Perilaku manusia terjadi karena dinamika ketiga unsur tersebut. Contohnya, pada bulan Ramadhan kita merasa lapar dan haus, tetapi superego (norma-norma masyarakat) tidak membolehkan kita untuk memenuhi dorongan id tersebut. Keputusan untuk makan atau tidaknya adalah urusan unsur ego, apakah menuruti id atau superego? Kurang lebih begitulah struktur kepribadian menurut Sigmund Freud.
Lantas, apakah teori Freud ini juga berlaku bagi orang yang berpuasa? Saat berpuasa kita disuruh menahan hawa nafsu. Hawa nafsu paling dasar yang harus ditahan adalah makan, minum, dan seks. Nah, herannya mengapa pada bulan puasa ketika kita disuruh menahan lapar justru harga-harga makanan pokok melambung tinggi?
Harga melambung tinggi ini disebabkan penawaran dan permintaan yang tinggi, hukum ekonomi. Harga daging, cabai, sayuran, beras, dan makanan pokok lainnya naik. Belum lagi menjelang lebaran. Belum lagi orang-orang yang berat badannya justru bertambah ketika bulan puasa. Benar-benar membenarkan teori Freud bahwa id harus disalurkan.
Selain menahan hawa nafsu yang mendasar, kita juga dituntut untuk menahan hawa nafsu yang lebih abstrak, yaitu amarah. Tapi lagi-lagi kenyataan berkata lain. Coba saja menyusuri jalan-jalan menjelang berbuka puasa. Para pengguna jalan tiba-tiba berubah menjadi makhluk buas nan garang.
Apa gerangan yang terjadi? Apakah ini semua terjadi karena dorongan bawah sadar yang meledak setelah dipendam dari subuh hingga maghrib?
Bulan Ramadhan yang mewajibkan berpuasa bagi mereka yang beriman, merupakan sebuah madrasah untuk menjadikan diri ini semakin baik. Tapi, lagi-lagi kenyataannya bertolak belakang. Sesudah bulan Ramadhan berakhir, diri kita kembali lagi seperti semula tanpa sedikitpun perbaikan.
Sepertinya ada yang salah dengan pemahaman kita tentang berpuasa, sehingga banyak dari kita yang tidak naik kelas setelah menjalani madrasah dari Tuhan selama satu bulan.
Benarkah Setan Dibelenggu di Bulan Ramadhan?
Bulan Ramadhan tahun ini sudah hampir satu minggu. Sepertinya, ada yang harus kita pertanyakan pada diri kita tentang bulan Ramadhan ini. Hawa nafsu yang biasanya kita manjakan, sekarang harus kita lawan dan pasung. Bagi mereka yang beriman, lapar dan dahaga menjadi kewajiban untuk ditangguhkan dari mulai subuh hingga maghrib.
Kita diajarkan bahwa ketika bulan Ramadhan, setan-setan dibelenggu di neraka. Tapi, nyatanya masih banyak orang-orang yang terhasut bisikan setan. Benarkan setan-setan itu saat ini sedang dibelenggu di neraka? Jelas tidak. (Baca juga: Katanya, Setan Dibelenggu Waktu Ramadhan. Bener Nggak sih? Ini Penjelasannya)
Setan merupakan manifestasi dari hawa nafsu kita sendiri. Setan adalah musuh yang nyata, ia bukanlah makhluk gaib. Setan yang (katanya) selalu merayu kita pada keburukan sebenarnya hanyalah ilusi. Tetapi, manusia selalu ingin tampil menawan, manusia ingin selalu tampil benar, oleh sebab itu manusia menyalahkan sesuatu di luar dirinya atas apa yang dilakukannya jika output nya buruk.
Saya kira, akan lebih baik jika manusia mau menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang mereka lakukan. Tidak semata-mata menyalahkan setan. Sepertinya logis mengatakan setan dipenjara selama bulan Ramadhan. Sebab, selama kita berpuasa kita harus mengebiri sendiri hawa nafsu kita. Nah, inilah cara paling mudah untuk menghindar dari godaan setan, yaitu dengan membentengi diri sendiri.
Itulah mengapa Rasulullah mengatakan “Kalian menuju dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar” setelah perang badar. Ada yang bertanya apa itu jihad yang lebih besar, Rasulullah menjawab “Perjuangan seorang hamba melawan hawa nafsunya”. Inilah perjuangan abadi baik vs buruk. Wallahu A’lam. []
Fadhel Yafie, Mahasiswa Psikologi UIN Jakarta. Peserta pelatihan content creator Wahid Foundation