Ramadhan tidak hanya menghadirkan kekhusyukan, tapi juga keriuhan. Keriuhannya membuat Ramadhan laksana sebuah perayaan. Spanduk terpajang di sudut-sudut jalan, di gang-gang kampung, dan di tempat-tempat strategis lain. Rasanya, bulan Ramadhan kurang sempurna tanpa dimeriahkan dengan umbul-umbul dan spanduk-spanduk. Desainnya berbeda-beda, tapi isinya selalu sama: menuntut orang lain untuk menghormati orang yang sedang berpuasa.
Sampai di sini, tidak ada masalah apapun. Masalahnya baru muncul ketika spanduk-spanduk itu berubah menjadi instrumen intimidatif, yaitu ketika bunyi spanduk itu dibarengi dengan tindakan-tindakan persekusi di lapangan. Misalnya, karena menghormati orang berpuasa dipahami sebagai tidak adanya warung makan yang buka di siang hari, maka semua orang harus menutup warungnya.
Orang yang membuka warung makan di sing hari dianggap tidak menghormati umat Islam yang sedang berpuasa. Melawan aksi penutupan paksa warung dianggap sebagai melawan umat Islam, dan karenanya, melecehkan Islam. Jadilah aksi tutup paksa warung makan, kios rokok, tempat hiburan, dsb. menjadi salah satu fenomena lumrah di bulan Ramadhan.
Puasa sesungguhnya adalah sebuah ibadah di dalam Islam yang justru hendak menumbuhkan karakter kepribadian mulia dalam diri pelakunya. Puasa adalah pendidikan kesabaran. Selama bulan Ramadhan, umat Islam dilarang melakukan aktivitas yang pada hari biasa sepenuhnya diperbolehkan, misalnya, makan, minum dan bercinta dengan pasangan sahnya. Larangan ini bertujuan untuk membentuk pribadi yang mulia. Dengan puasa, manusia dididik bahwa dalam hidup kita tidak cukup hanya melakukan hal-hal yang selama ini dinyatakan boleh, tapi juga perlu menekan egoisme untuk suatu kebaikan yang lebih besar. Salah satu kebaikan yang lebih besar di atas diri individu adalah kebaikan sosial.
Puasa adalah salah satu ibadah di dalam Islam dengan pesan sosial sangat kuat. Puasa melatih seseorang untuk menumbuhkan empati kepada orang lain, terutama kelompok lemah (mustadh’afin), dengan cara menunda menikmati kenikmatan yang pada dasarnya halal untuk dinikmati. Sikap empati adalah salah satu kemampuan penting dalam membangun kohesi sosial.
Empati adalah kemampuan seseorang tidak hanya memahami perasaan orang lain, tapi menghubungkan dirinya dengan diri orang lain. Orang yang memiliki empati tidak hanya memiliki kesanggupan merasakan penderitaan orang lain, namun juga memiliki kualitas jiwa yang selalu memancarkan cinta kasih dan tindakan untuk berbagi.
Orang yang berpuasa semestinya mampu mengasah jiwanya sehingga dengan tulus mengulurkan tangannya untuk mengangkat beban orang lain, menghapus air mata mereka yang dilanda kesedihan, dan memberi ketenangan pada mereka yang ketakutan. Dengan puasa, seseorang akan menginsafi kesadaran agamannya dalam bingkai kasih sayang kepada sesama manusia.
Sebegitu pentingnya puasa bagi umat Islam, hingga Allah mengaitkan perintah puasa dengan ketaqwaan. Ketaqwaan adalah parameter bagi Allah untuk mengukur kemuliaan manusia. Ketaqwaan dan kasih sayang ibarat dua sisi dari satu mata uang. Islam tidak pernah memerintahkan ibadah kepada pemeluknya untuk pada akhirnya melahirkan kerusakan. Islam pada dasarnya adalah agama cinta.
Dalam sebuah hadits, tegas sekali dinyatakan, “Orang-orang yang penyayang akan disayang Allah (Ar-Rahman). Karena itu, sayangilah penduduk bumi, niscaya (Allah) yang di atas langit pun akan menyayangi kalian.”
Apakah puasa bisa gagal? Nabi pernah mengingatkan kepada umat Islam bahwa puasa yang punya kapasitas untuk melentingkan seseorang kepada kualitas jiwa yang sedemikian agung itu bisa tidak berarti apa-apa jika orang tersebut tidak sanggup masuk ke kedalaman hikmahnya.
Sekalipun berpuasa, seseorang bisa tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa haus dan lapar, sebuah rasa jasmani yang bisa dialami siapa saja asalkan tidak makan dan minum, jika dia meliarkan kesombongan dan keangkuhannya. Oleh karena itu, puasa tidak cukup hanya menahan diri dari makan dan minum, namun juga harus menahan dari sikap yang merendahkan orang lain, perkataan yang culas dan menyakitkan, serta berbagai tindakan yang menebar ketakutan dan kerusakan.
Jelaslah bahwa puasa bisa luput untuk mencapai ketaqwaan jika seseorang tak sanggup membangun kualitas cinta dan kasih sayang dalam dirinya. Puasa semestinya membuat kita menjadi pribadi yang penuh cinta, bukan malah menjadi alasan untuk melakukan tindakan-tindakan intimidatif.[]