Puasa Ada Dua: Zahir dan Batin, Ini Penjelasan Imam Al-Qusyairi

Puasa Ada Dua: Zahir dan Batin, Ini Penjelasan Imam Al-Qusyairi

Imam ‘Abdul Karim al-Qusyairi (w. 465 H) memiliki cara tersendiri dalam memaknai puasa. Menurut Al-Qusyairi, puasa terbagi menjadi dua, yakni puasa zahir dan puasa batin.

Puasa Ada Dua: Zahir dan Batin, Ini Penjelasan Imam Al-Qusyairi
Ilustrasi puasa. (foto: healthline)

Ibadah puasa selalu menjadi ibadah yang menarik untuk dikaji, tidak hanya karena berbagai keutamaan yang ada di dalamnya, melainkan juga banyak hikmah dan manfaat yang dapat didapatkan oleh orang-orang yang berpuasa. Puasa itu sendiri merupakan salah satu sarana untuk melatih diri agar bisa mengontrol hawa nafsu yang seringkali berpotensi menjerumuskan seseorang kepada hal-hal negatif.

Seorang sufi besar asal Naisabur bernama Imam ‘Abdul Karim al-Qusyairi (w. 465 H) memiliki cara tersendiri dalam memaknai puasa. Menurut Al-Qusyairi, puasa terbagi menjadi dua, yakni puasa zahir dan puasa batin. Puasa zahir dikerjakan oleh mereka yang disebut sebagai al-‘Abidin (ahli ibadah), sedangkan puasa batin dikerjakan oleh al-‘Arifin (ahli ma’rifah). (Al-Qusyairi, Latā`if al-Isyārāt, Jil. 1, h. 87)

Puasa zahir ialah puasa yang dikerjakan dengan cara menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa disertai dengan niat untuk berpuasa. Sedangkan puasa batin ialah puasa menjaga hari dari penyakit-penyakit (hati), menjaga ruh atau jiwa dari hal-hal yang menenangkan (selain Allah), dan menjaga rahasia (Allah) dari segala pengawasan. Puasa zahir mewakili dimensi syariat dari ibadah puasa, sedangkan puasa batin mewakili dimensi hakikat.

Syarat puasa zahir, menurut Al-Qusyairi, ialah menjaga lisan dari perbuatan ghibah, dan menjaga pandangan dari melihat hal-hal yang meragukan (berpotensi membatalkan puasa). Terlihat jelas kehati-hatian Al-Qusyairi dalam syarat yang disebutkannya, dan memang sewajarnya syarat yang diberikan Al-Qusyairi ini menjadi perhatian semua orang yang berpuasa. Al-Qusyairi juga mengutip sebuah riwayat yang artinya:
Barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya ia juga “memuasakan” pendengaran dan penglihatannya (dari hal-hal yang negatif).

Menahan lapar dan haus mengkin bukan sebuah tantangan yang berarti bagi orang yang berpuasa, mengingat hampir tiap tahun mereka pasti mengerjakannya, apalagi jika kondisi tubuhnya fit. Tantangan yang lebih berat justru ketika orang yang berpuasa harus menahan diri untuk melakukan hal-hal yang nampaknya sepele namun berpotensi mengurangi pahala puasa, atau bahkan membuat puasanya menjadi sia-sia.

Adapun syarat puasa batin adalah dengan menjaga rahasia (Allah) yang telah diketahuinya agar tidak disaksikan oleh selainnya. Dalam tasawuf, rahasia Allah SWT. hanya diketahui oleh mereka yang telah ‘siap’ untuk menerima limpahan pengetahuan tentang rahasia tersebut, dan itu diperoleh langsung dari Allah, mereka yang telah mengetahuinya hendaknya mencukupkan hanya dirinya sendiri yang mengetahuinya.

Di samping itu, menurut Al-Qusyairi, kedua jenis puasa yang disebutkan juga memiliki ‘garis finish’ masing-masing. Al-Qusyairi berangkat dari sebuah hadis Nabi SAW:

صوموا وأفطروا لرؤيته

“Berpuasa dan berbukalah kalian karena melihat (hilal).”

Ketika memaknai kata ganti ‘hu’ pada kata li ru`yatihi, ulama syariat (fuqaha`) dan ulama ahli hakikat (sufi) memiliki panafsiran yang berbeda. Para fuqaha` menafsirkannya sebagai “hilal”, yakni hilal bulan Ramadhan sebagai tanda permulaan waktu puasa, dan hilal bulan Syawwal sebagai tanda berakhirnya puasa. Sedangkan, para ahli hakikat menafsirkannya sebagai “Allah SWT.”, yang artinya seorang sufi “berpuasa” hingga dapat menyaksikan Allah SWT, dan itulah cita-cita terbesar mereka.

Namun, setiap orang tentu memiliki harapan untuk dapat bertemu dan “melihat” Tuhan mereka di akhirat kelak. Oleh karena itu, meski menurut Al-Qusyairi puasa batin dilakukan oleh para ahli ma’rifat, bukan tidak mungkin kita semua mampu mengerjakannya, tentu dengan usaha yang lebih ekstra, karena menjaga hati dari segala penyakit yang dapat menjangkitinya seperti iri, dengki, sombong, dan semacamnya, adalah bukan perkara yang mudah.

Yang tak kalah sulit adalah menjaga ruh atau jiwa dari segala hal yang menenangkan selain Allah SWT. Hal ini bukan berarti kita dilarang untuk melakukan hal-hal yang membuat kita tenang, melainkan jangan sampai apa yang kita kira membuat kita tenang itu menyebabkan kita menggantungkan ketenangan terhadapnya, karena pada hakikatnya semua itu hanyalah perantara, dan yang memberi ketenangan pada ruh dan jiwa kita adalah Allah SWT.