Propaganda Game GTA Salil al-Sawarem Buatan ISIS, Fenomena Keagamaan Orang Muda dalam Ancaman?

Propaganda Game GTA Salil al-Sawarem Buatan ISIS, Fenomena Keagamaan Orang Muda dalam Ancaman?

Propaganda Game GTA Salil al-Sawarem Buatan ISIS, Fenomena Keagamaan Orang Muda dalam Ancaman?
Karikatur humor ISIS. Credit: https://www.chappatte.com/en/gctheme/terrorism/

Banyak cara ISIS melakukan propaganda. Salah satunya dengan membuat game. Ini dilakukan dengan maksud menarik simpati dan perhatian publik. Termasuk untuk menarik anggota baru dari kalangan muda.

Pembuatan game ini adalah sesuatu yang baru dalam propaganda terorisme di dunia. Selama ini, teroris hanya bergelut di arena media sosial seperti Instagram, Tiktok, Youtube, Whatsapp, Telegram dan beberapa platform media serupa. Namun kali ini ISIS merambah masuk ke dalam game.

Game perang buatan ISIS ini adalah terobosan baru di dunia teroris. Game perang ISIS ini bahkan bisa menyontoh persis seperti game kriminal Grand Theft Auto: San Andreas (GTA).

Meniru GTA bukan hal keliru, karena game GTA adalah game hit dan paling digemari anak muda. Faktanya sukses terjual sebanyak 27,5 juta kopi di seluruh dunia.

Game besutan ISIS ini dinamai Grand Theft Auto: Salil al-Sawarem, yang berarti dentang perang (Al Arabiya, Sabtu (27/9/2014). Pemeran utama game ini adalah pemberontak yang memakai baju kemeja hitam, celana kampuflase lengkap dengan bandana hitam dan membawa senapan serbu. Persis seperti busana muslim Arab.

Dalam video game Salil al-Sawarem ini, memperlihatkan pemberontak memakai kemeja hitam ini menyerbu para tentara. Para pemberontak ini seperti kelompok militan yang tak terkalahkan.

Politik Atribut

Pemakaian atribut dan pemilihan musuh dalam game Salil al-Sawarem mengindikasikan banyak hal. Pertama, pemilihan atribut kemeja hitam dan bandana hitam identik dengan busana ISIS. Ini berarti mereka ingin menampakkan diri bahwa masih eksis, meski eksis dalam bentuk anime.

Jika ditafsirkan lebih luas, ia juga mempersonifikasikan identas sebagai muslim pemberani. Padahal muslim bukan teroris.

Kedua, mengapa atribut Islam dipilih, karena untuk mendapatkan publisitas sembari untuk menarik perhatian kelompok [Islam] mereka yang mati suri. Selama ini para mujahid ISIS bersembunyi di tengah kekalahannya. Mereka bersembunyi kendati perang badar dengan Barat sehingga di antara mereka ditangkapi.

Ketiga, tentara dipilih sebagai musuh, hanyalah ingin menunjukkan warning bahwa ISIS ini ingin melawan tentara. Tidak hanya tentara Barat, melainkan kelompok yang menjaga sebuah negara di klan-klan musuh ISIS.

Tentara ditarget karena sejak lama adalah kelompok paling depan melawan teroris, termasuk tentara di Indonesia.

Keempat, game mirip GTA bernama Salil al-Sawarem ini dipilih untuk menarget masyarakat umum penggemar game, terutama kaum muda. Ini pilihan yang tepat mengingat anak muda di seluruh dunia penggemar game. Data menyebutkan, rata-rata umur 12-64 tahun penyuka game GTA.

Khususnya di Indonesia, menurut laporan yang dikeluarkan oleh We Are Social, anak-anak muda ini bermain game di smartphone, dengan persentase mencapai 66,2 persen. Platform kedua yang paling banyak digunakan adalah laptop atau desktop, dengan 37,9 persen pengguna memilihnya. Belum ada datanya anak Indonesia bermain game Salil al-Sawarem.

Pembibitan Semangat

Sebenarnya, game GTA Salil al-Sawarem (dentang perang) ini bukan game baru yang dibuat ISIS. Sebelumnya, mereka telah membuat game Call of Duty yang digunakan ISIS untuk menarik anggota berusia muda. Jika kita pernah ngepoin ke halaman Game Call of Duty milik ISIS ini, kita harus mengakui bahwa mereka lebih selangkah jauh dari pegiat digital di Indonesia.

Berbeda dengan GTA Salil al-Sawarem, dalam game Call of Duty menyajikan situasi simulasi perang yang sangat nyata. Misi-misi peperangan beserta tantangan yang dihadapi dalam game besutan Activision ini sesuai dengan kenyataan di lapangan peperangan. Sayangnya, game ini mudah diblokir.

Berbagai pendekatan propaganda lewat media dipilih sebagai langkah untuk membangun citra baik dalam komunitas muslim. Dari medianya, ISIS mengungkapkan bahwa permainan game ini bertujuan untuk meningkatkan moral para mujahiddin dan melatih anak-anak remaja agar berani melawan Barat.

Selain itu, mereka menginginkan melalui game Salil al-Sawarem ini sebagai penyemangat untuk menabar teror dalam hati orang-orang yang menentang pendirian Negara Islam, sebuah misi ISIS sejak berdirinya.

Dalam beberapa analisis, game ini telah berhasil menarik simpati dari generasi muda, meski tidak sampai bergabung dengan ISIS. Inilah gaya propaganda ISIS hari ini.

Fenomena Keagamaan Anak Muda

Game dan digital jelas sangat bersinggungan dengan dunia anak muda. Sebab anak muda (Generasi Millenial dan Generasi Z) lebih betah hidup di media digital daripada di dunia nyata. Anak muda hari ini lekat dengan digital, mulai dari mencari makan, cucian, belajar, cara mengaji hingga dalam percitaan. Digital nyaris telah mengasuhnya.

Survei Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program Media and Religious Trends in Indonesia (MERIT Indonesia) 2021, telah mendapatkan jawaban dari fenomena keagamaan anak muda dalam lintas media digital. Survei ini menemukan adanya kecenderungan anak muda yang tidak begitu religius dalam menjalankan ritual-ritual keagamaan. Namun pandangannya terhadap agamanya justru berpotensi lebih konservatif bila dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya.

Yang mengkhawatirkan dari fenomena ini justru anak muda ini menjadi responden yang paling sering mengakses media untuk mencari tahu informasi keagamaan. Mereka sering menyukai (like) atau tidak menyukai (dislike), berbagi informasi (share), memberi komentar (comment), dan mengkonsumsi program keagamaan di media sosial. Bahkan mereka kerap memberi komentar dan mengkonsumsi program agama dalam platform apa pun, yang penting menarik baginya.

Sayangnya mereka lebih banyak mengkonsumsi kajian-kajian keagamaan konservatif. Mereka hanya mengakses sesuatu ajaran keagamaan yang sejalan dengan ideologi dan pemahaman yang dimilikinya. Secara teori, semakin sering individu menonton media konservatif-islamis dari media sosial, semakin tinggi tingkat konservatisme mereka. Artinya, media sosial berperan sebagai echo-chamber (ruang bergema) untuk menguatkan paham keagamaan yang telah dimiliki anak muda. Digital telah menjadi ustaz barunya.

Apakah game perang buatan ISIS dan fenomena keagamaan anak muda berkaitan? Apakah game ISIS ini akan menjadi ceruk baru bagi pengentalan konservatisme keagamaan anak muda khususnya di Indonesia? Sambil minum kopi kita bisa memikirkannya. Itu.

Agus Wedi, Peminat Kajian Sosial-Politik dan Keagamaan.