[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Play Audio Artikel”]
Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang “Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial” ditetapkan pada tanggal 13 Mei 2017 ini mendapatkan respon pro dan kontra dari masyarakat, seperti ditulis Ni Nyoman Ayu di geotimes.co.id (8/6/17) MUI dinilai terlambat mengeluarkan fatwa ini “Kemunculan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setidaknya bisa memberi arahan baik bagi pengguna media sosial yang “sadar” atau terlambat sadar. Tidak apa, kiranya lebih baik terlambat daripada digugat”.
Namun bagi sebagian masyarakat lain menilai Fatwa MUI ini sudah tepat momentnya, MUI sudah saatnya untuk mengeluarkan fatwa ini, karena konten media sosial (medsos) lebih banyak sisi negatifnya daripada positifnya, bahkan konten-konten di medsos mengakibatkan rapuhnya persaudaraan dan keberagamaan, bahkan kalau dibiarkan berpotensi untuk mengusik kedamaian dan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perilaku pengguna internet Indonesia (2016) menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia(APJI) dilihat dari jenis konten yang diakses adalah media sosial 97,4% (129,2 juta), hiburan 96,8% (128,4 juta), berita 96,4% (127,9 juta), pendidikan 93,8% (124,4 juta), komersial 93,1% (123,5 juta), dan layanan publik 91,6% (121,5 juta), data tersebut menempatkan medsos sebagai urutan pertama jenis konten yang di akses oleh masyarakat Indonesia.
Medsos pada awalnya diciptakan atas dasar kebaikan, menjadi ajang komunikasi bersilaturrahim yaitu dengan mendekatkan yang jauh serta mempererat tali persaudaraan (ukhuwah), namun akhir-akhir ini medsos disalah gunakan untuk menyebar sesuatu yang tidak baik seperti fitnah (hoax), namimah (hate speech), ghibah (menggunjing) yang mengakibatkan permusuhan satu dengan lainnya.
Kita tahu tentang manfaat medsos yaitu cerita seorang puteri yang bisa bertemu dengan ayah kandungnya setelah 40 tahun berpisah, kita menemukan teman-teman sekolah kita yang sudah lama lost contact (sosial), menumbuh kembangkan bisnis online di Indonesia (ekonomi), memperkenalkan budaya bangsa kita (budaya), resource pendidikan, proses pembelajaran jarak jauh (pendidikan) dll, serta mempermudah segala lini kehidupan. Tapi kita juga tahu tentang bahaya medsos yaitu penyebaran informasi palsu (hoax), ujaran kebencian (hate speech), fitnah, ghibah, namimah dan bullying yang mengakibatkan retaknya sendi-sendi persaudaraan kita.
Pada dasarnya bermuamalah berlandaskan atas pergaulan yang didasari dengan keimanan, ketakwaan dan kebajikan (muasyaroh bilma’ruf), persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyyah), persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathoniyyah) dan persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyyah), dan mengajak kebaikan (amar ma’ruf) serta mencegah kemungkaran (nahi munkar).
Fatwa MUI mengharamkan beberapa poin di antaranya : a) Ghibah (penyampaian informasi faktual tentang seseorang atau kelompok yang tidak disukainya); b) Fitnah (buhtan) adalah informasi bohong tentang seseorang; c) Namimah (adu domba antara satu dengan yang lain dengan menceritakan perbuatan orang lain yang berusaha menjelekkan yang lainnya kemudian berdampak pada saling membenci; f) Bullying, hate speech, permusuhan atas dasar Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA); g) menyebarkan hoax (meskipun tujuan baik); h) menyebarkan pronografi, kemaksiatan atau hal yang dilarang syara’; i) menyebarkan konten tapi tidak sesuai dengan tempat dan waktu (muqtadhol hal).
Dalam fatwa tersebut MUI juga menjelaskan tentang pedoman verifikasi konten yaitu : Pertama, setiap orang yang mendapatkan informasi tidak boleh langsung menyebarkan informasi sebelum dilakukan proses tabayyun terlebih dahulu. Proses tabayyun adalah sebagai berikut: a) dipastikan aspek sumber informasi (sanad)nya, yang meliputi kepribadian, reputasi, kelayakan dan keterpercayaannya; b) dipastikan aspek kebenaran konten (matan)nya, yang meliputi isi dan maksudnya; c) dipastikan konteks tempat dan waktu serta latar belakang saat informasi tersebut disampaikan. Kedua cara memastikan kebenaran informasi antara lain: a) bertanya kepada sumber informasi jika diketahui; b) permintaan klarifikasi kepada pihak-pihak yang memiliki otoritas dan kompetensi. Ketiga upaya tabayyun dilakukan secara tertutup kepada pihak yang terkait. Keempat konten/informasi yang berisi pujian, sanjungan, dan atau hal-hal positif tentang seseorang atau kelompok belum tentu benar, juga harus dilakukan tabayyun terlebih dahulu.
Fatwa MUI ini mengingatkan kita tentang cerita seorang sufi besar asal kota Baghdad Irak yang wafat pada tahun 852M yang bernama “Hatim al-Asham”, al-Asham berarti tuli, seperti diriwayatkan oleh imam al-Ghazali dalam kitabnya Nashaihul Ibad bahwa Hatim pura-pura tuli selama 15 tahun untuk menyembunyikan aib seorang perempuan yang kentut ketika datang ke rumahnya untuk bertanya sesuatu, Sejatinya Hatim tidaklah tuli, tapi pura-pura tuli untuk menyembunyikan aib saudaranya, ia menjadi tuli selama wanita tersebut masih hidup (15 Tahun) demi menjaga perasaan dan kehormatan wanita tersebut.
Untuk itu kita perlu menjadi “Hatim-Hatim” baru di era milenial yang menjadi tuli atau pura-pura tuli jika mendengar aib saudaranya sendiri, untuk menjaga perasaan, persaudaraan dan kehormatan sesama, bukan malah saling menebar kebencian satu sama lainnya, kita semua telah mengetahui hadis Nabi yang berbunyi “Dan barangsiapa yang menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akhirat” (HR. Imam at-Tirmidzi), sudah saatnya kita mengamalkan hadis dan meneladani kisah tersebut, saling menutupi aib sesama saudara sendiri, saling mencintai, menghargai dan menyayangi.
Wallahu a’lam bishawab.
*) Abdulloh Hamid, M.Pd; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Penulis Buku Pendidikan Karakter Berbasis Pesantren.