Sejak pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dan dilanjutkan oleh para sahabat, Islam tidak serta merta menolak semua tradisi pra-Islam (tradisi masyarakat Arab pra-Islam). Juga tidak menghapus budaya, tradisi dan adat setempat yang tidak bertentangan secara diamental dengan Islam, sehingga menjadi ciri khas dari fenonema Islam di tempat tertentu. Demikian juga proses pertumbuhan Islam di Indonesia, tidak serta merta menghapus semua tradisi, budaya dan adat masyarakat setempat.
Agama dan budaya bagaikan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Agama Islam bersumberkan Al-Quran, wahyu yang bersifat normatif dan cenderung permanen. Sedangkan budaya ciptaan manusia, oleh sebab itu perkembangannya mengikuti zaman dan cenderung untuk selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan beragama dalam bentuk budaya.
Abdurrahman Wahid mengatakan, “Tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang. Kekayaan variasi budaya memungkinkan adanya persambungan antarberbagai kelompok atas dasar persamaan. Upaya rekonsiliasi antara budaya dan agama bukan hanya kekhawatiran terjadinya ketegangan antara keduanya karena kalau manusia dibiarkan pada fitrah rasionalnya, ketegangan seperti itu akan reda dengan sendirinya. Sebagai contoh redanya semangat ulama’ dalam mempersoalkan rambut gondrong”.
Pribumisasi Islam dalam segi kehidupan bangsa dan negara merupakan suatu ide yang perlu dicermati. Gus Dur mengatakan bahwa pribumisasi bukan merupakan suatu upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti dari pribumisasi Islam adalah kebutuhan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya.
Abdurrahman Wahid dengan idenya tentang pribumisasi Islam ingin menampakkan Islam sebagai sebuah agama yang apresiatif terhadap konteks-konteks lokal dengan tetap menjaga pada realitas pluralisme kebudayaan yang ada. Abdurrahman Wahid dengan tegas menolak “satu Islam” dalam ekspresi kebudayaan misalnya semua simbol (identitas Islam) harus menggunakan ekspresi kebudayaan Arab.
Penyeragamaan yang terjadi bukan hanya akan mematikan kreatifitas umat tetapi juga membuat Islam teralienasi dari arus atama kebudayaan nasional. Bahaya dari proses Arabisasi adalah tercerabutnya kita dari akar budaya kita sendiri.
“Kemampuan orang Islam untuk memahami masalah-masalah dasar yang dihadapi bangsa dan bukan berusaha memaksakan agendanya sendiri. Kalau ini terjadi maka yang berlangsung adalah proses pelarian. Umat Islam terlalu menuntut syarat-syarat yang terlalu idealistik untuk menjadi Muslim yang baik.
“…kecenderungan formalisasi ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat dan Islamisasi dalam bentuk manivestasi simbolik ini jelas tidak menguntungkan karena hanya menimbulkan kekeringan substansi.”
Bahkan Abdurrahman Wahid menolak adanya pencampuradukan kebudayaan baik oleh kalangan agama maupun kalangan birokrasi, karena kebudayaan sangat luas cakupannya yaitu kehidupan sosial manusia (human social life) itu sendiri. Birokratisasi kebudayaan yang dilakukan akan menimbulkan kefakuman kreatifitas suatu bangsa.
Kebudayaan sebuah bangsa pada hakekatnya adalah kenyataan pluralistik, pola kehidupan yang diseragamkan atau dengan kata lain sentralisasi adalah sesuatu yang sebenarnya tidak berbudaya. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mampukah Islam tetap eksis di zaman yang serba modern ini, ataukah Islam tenggelam dalam mimpi atas kejayaan Islam dahulu?
Menurut Abdurrahman Wahid, sebagai pemeluk agama Islam yang baik dalam ruang lingkup kebangsaan dan kenegaraan, harus selalu mengutamakan pencarian cara-cara yang mampu menjawab tantangan zaman dan lokalitas kehidupan tanpa meninggalkan inti ajaran agama Islam.
Selalu ada upaya untuk melakukan reaktualisasi ajaran agama Islam dalam situasi kehidupan yang konkrit, tidak hanya dicukupkan dengan visualisasi yang abstrak belaka. Dalam bahasa lain, agama berfungsi sebagai wahana pengayom tradisi bangsa, sedangkan pada saat yang sama agama menjadikan kehidupan berbangsa sebagai wahana pematangan dirinya.
Greg Barton mengatakan bahwa Abdurrahman Wahid adalah seorang tokoh yang cinta terhadap budaya Islam tradisional (khazanah pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Ulama- ulama terdahulu). Namun kecintaan ini bukan berarti keterlibatan dan penerimaan segala aspek budaya tradisional karena Abdurrahman Wahid sangat kritis terhadap budaya tradisional.
Pribumisasi Islam merupakan upaya dakwah “amar ma’ruf nahi mungkar” diselaraskan dengan konsep “mabadi khaira ummah”, dengan pelaksanaan konkritnya adalah menasionalisasikan perjuangan Islam dengan harapan tak ada lagi kesenjangan antara kepentingan nasional dengan kepentingan Islam.
Agama Islam adalah salah satu agama yang diakui di Indonesia selain agama-agama yang lain, diaktualisasikan sebagai inspirasi spiritual bagi tingkah laku manusia atau kelompok dalam kehidupan bermasyarakan dan bernegara. Yang dibutuhkan umat Islam di Indonesia hanyalah menyatukan “aspirasi Islam” menjadi aspirasi nasional.
Islam adalah sebagai agama rahmatan lil ‘alamiin harus memberikan kontribusi dalam menjawab masalah yang timbul akibat proses modernisasi. Dalam hal ini agama dijadikan tempat mencari solusi atas problem-problem kehidupan para pemeluknya, oleh karena itu tokoh agama mempunyai peran penting dalam merumuskan kembali hukum Islam yang lebih memperhatikan umat Islam sebagai mayoritas agama terbesar di Inonesia dan non Muslim dengan mempertimbangkan realitas kehidupan.
Selama ini hukum Islam hanyalah dijadikan pos pertahanan untuk mempertahankan identitas ke-Islaman dari pengaruh sekulerisme. Kecendungan statis ini menunjukkan ketidakmampuan hukum Islam dalam menjawab perubahan zaman yang aktual.
Padahal hukum Islam masih memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Hukum Islam sementara ini hanya mampu menolak kemungkaran, kebatilan dan kemaksiatan, namum belum mampu menjadi solusi kebaikan dalam arti luas.
Wallahu A’lam.