Terkait maraknya tindak kekerasan dan intoleransi di Indonesia dalam waktu belakangan ini, Presiden Joko Widodo memerintahkan aparat kepolisian agar menindak tegas para pelaku kekerasan dan intoleransi tersebut. “Siapa pun yang melakukan tindakan intoleran, tidak memperbolehkan kelompok lain melakukan aktivitas, atau melakukan tindakan seperti membubarkan, SARA dan sejenisnya, Presiden memerintahkan kepada aparat penegak hukum terutama Kapolri untuk bertindak tegas,” demikian disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung di kompleks Istana, Kamis (31/03).
Pramono Anung menyatakan bahwa presiden prihatin dengan aksi-aksi intoleransi dan main hakim sendiri yang terjadi belakangan ini. Sebagaimana diberitakan banyak media, beberapa waktu lalu terjadi pelarangan acara Festival Belok Kiri oleh sekelompok ormas, sebelumnya juga ada pengusiran kelompok Gafatar, pengusiran pemeluk Ahmadiyah, penyerangan terhadap sebuah masjid di Papua, penyerangan terhadap gereja di Singkil, serta penolakan atas sebuah gereja di Bekasi.
“Tadi diskusi terkait hal-hal yang menyangkut intoleransi, dan presiden memberi perhatian khusus sekaligus memberi arahan kepada Kapolri dalam penanganannya,” kata Pramono Anung.
Perintah presiden untuk menindak tegas kelompok-kelompok intoleran seolah memenuhi harapan banyak warga yang sudah gelisah dengan sepak terjang mereka. Sebagai negara yang beragam, tindakan intoleran berdasar sentimen suku atau agama tidak bisa diterima. Namun karena tidak adanya ketegasan dari aparat penegak hukum, kelompok-kelompok intoleran yang mengancam kebhinekaan itu dengan bebas melakukan aksinya.
Berdasar catatan Wahid Institute, ada 84 kasus kekerasan atas nama agama yang terjadi di Indonesia sepanjang 2015. Sementara menurut laporan Komnas HAM tercatat ada 87 kasus. Dengan banyaknya kasus tersebut, belum lagi kampanye berdasar sentimen ras yang terjadi seperti di DKI menjelang Pilkada 2017, Indonesia bisa terjatuh dalam konflik sektarian yang bisa menghancurkan kehidupan bersama.