Prasangka dan Gemar Mengkafirkan dalam Pilpres: Penjelasan Psikologi Politik

Prasangka dan Gemar Mengkafirkan dalam Pilpres: Penjelasan Psikologi Politik

Kajian psikologis ini menjelaskan fenomena psikologi politik dalam pilpres

Prasangka dan Gemar Mengkafirkan dalam Pilpres: Penjelasan Psikologi Politik
Ada potensi politisasi agama di tiap calon. rakyat harus jernih melihatnya, termasuk janji untuk umat Islam

Gelaran pemilihan presiden dan wakil presiden semakin dekat. Strategi yang dilancarkan kedua kubu semakin gencar. Kontestasi politik ini bisa dianggap sebagai dinamika politik yang cukup panjang, salah satu wujudnya adalah masa kampanye selama 8 bulan. Sejak masa sebelum penetapan calon presiden dan wakil presiden sampai dengan saat ini, banyak hal menarik yang terjadi. Salah satunya adalah abnormalitas berpikir dan bersikap. Abnormalitas ini hendaknya dipahami sehingga masing-masing individu bisa menghindarkan dirinya dari abnormalitas ini.

Lalu, apa sajakah abnormalitas tersebut? Berikut akan dijelaskan secara singkat.
Heuristic

Secara sederhana, heuristic dapat diartikan sebagai pola pikir yang mengambil keputusan tanpa adanya dasar atau modalitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Pola pikir ini akan memunculkan persepsi yang sesat. Bisa jadi, salah satu faktor terjadinya hoax adalah karena adanya heuristic ini. Misalkan, ketika pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan Tiongkok, maka akan dianggap sebagai antek komunis.

Padahal, kesimpulan semacam ini tanpa ada dasar yang kuat. Secara faktual, kerja sama antara Indonesia dengan Tiongkok sama halnya dengan kerja sama Indonesia dengan negara lain. Sehingga, anggapan bahwa Indonesia antek komunis hanya berdasarkan kerja sama dengan Tiongkok tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Ingroup-outgroup

Kontestasi politik yang menampilkan dua pasang calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2014 dan tahun 2019 ini menyebabkan adanya ingroup-outgroup. Ingroup-outgroup adalah sikap yang menganggap individu sebagai bagian dari kelompoknya atas dasar persamaan dan sebaliknya, menganggap orang lain sebagai kelompok di luar dirinya karena berbeda. Sikap ini yang kemudian memperbesar polarisasi yang terjadi di Indonesia. Pelabelan pun tidak dapat dihindari.

Suatu kelompok menganggap kelompok lain salah, bahkan telah kafir dan sesat. Suatu kelompok menghina dan mencaci maki kelompok lain hanya karena berbeda pilihan calon presiden dan wakil presiden, meskipun masih satu bangsa dan satu agama. Jika dibiarkan, sikap ini nantinya akan memunculkan perpecahan sesama anak bangsa.

Prasangka

Makna dari prasangka adalah sikap negatif terhadap anggota dari kelompok sosial tertentu. Prasangka melibatkan perasaan negatif atau emosi pada orang yang menjadi sasaran prasangka. Pada konteks umum, prasangka memang terbagi menjadi prasangka baik dan buruk. Akan tetapi, dalam konteks kajian psikologi sosial, prasangka memiliki arah ke sikap yang negatif. Prasangka ini kemudian akan menyebabkan perilaku intimidasi. Beberapa sebab orang atau kelompok melakukan prasangka adalah demi meningkatkan citra dirinya.

Hal ini bisa dilihat pada sikap masing-masing kubu yang menciptakan prasangka pada kubu lain agar citra kelompoknya terangkat. Selain itu, prasangka juga cenderung dilakukan karena dengan prasangka, seseorang tidak perlu repot untuk mencari klarifikasi dan data yang valid. Sehingga, apapun yang datang pada dirinya, segera diterima dan akhirnya menjadi prasangka.

Kecenderungan narsistik

Pada dasarnya, narsistik adalah gangguan kepribadian dalam kajian psikologi abnormal. Narsistik adalah gangguan kejiwaan yang berbentuk memiliki kepedulian yang ebrlebihan pada diri sendiri dan ditandai dengan adanya sikap arogan serta terlalu percaya diri.

Dalam tulisan ini tidak bermaksud menganggap narsistik yang terjadi pada orang-orang yang terkait dengan dinamika politik sebagai gangguan kepribadian karena penulis tidak memiliki bukti diagnosis kuat. Akan tetapi, apabila melihat sebagian perilaku mereka, akan ditemukan sebagian indikator dari perilaku narsistik.

Misalkan, menganggap kelompok mereka layaknya kelompok kaum muslim masa Nabi yang melawan kaum kafir, sampai-sampai meniru doa Nabi Muhammad SAW ketika perang Badar. Padahal, dalam pemilihan presiden, kedua pasang calon presiden dan wakil presiden sama-sama orang Islam. Mengasosiasikan diri dengan kaum muslim masa nabi adalah bentuk dari perilaku percaya diri yang berlebihan serta arogan, yang merupakan salah satu indikator dari gangguan narsistik. Padahal, sikap mengkaitkan kelompoknya seperti kelompok kaum muslim jaman nabi, sama sekali tidak memiliki landasan ilahi, spiritual, dan faktual.

Perilaku agresi

Dalam kajian ilmu perilaku, perilaku agresi bukan hanya dalam konteks kontak fisik. Ada banyak sekali macam perilaku agresi, termasuk agresi verbal. Wujud dari agresi verbal ini adalah menghina, mencaci maki, memfitnah, ujaran kebencian, dan sejenisnya. Perilaku agresi verbal ini banyak ditemui dalam kehidupan, terutama saat ini ketika kontestasi politik semakin memanas.

Ciri khas masyarakat Indonesia yang santun semakin tergerus hanya karena perbedaan pilihan. Jika dibiarkan, maka generasi muda dan anak-anak akan belajar tentang kebencian dan perilaku agresi tersebut. Maka dari itu, perilaku semacam ini hendaknya diminimalisir dengan mengedukasi masyarakat untuk belajar tentang kedewasaan sikap berpolitik.

Setelah mengetahui berbagai bentuk abnormalitas tersebut, maka sebagai masyarakat yang menginginkan kedamaian terus berlanjut di Indonesia hendaknya berupaya agar abnormalitas tersebut tidak terus terjadi. Pertanyannya adalah, maukah kita?