Sangat disayangkan jika kita hanya mengedepankan unsur seremonial belaka ketika memperingati Hari Pahlawan. Hari yang diperingati setiap tahun itu, faktanya, bisa menjadi momentum refleksi kita untuk menghayati nilai-nilai perjuangan yang dipesankan para pahlawan bangsa. Tegasnya, seremoni tanpa penghayatan hanyalah omong kosong belaka.
Dalam konteks ini, refleksi bukan merupakan ajang untuk mengingat kembali jasa-jasa pahlawan kita di masa silam. Refleksi juga bukan momen mengulas sejarah kemudian me-recall kembali kisah-kisah heroik itu. Refleksi adalah upaya untuk merelasikan apakah kehidupan kita sekarang sudah searah dengan apa yang dipesankan para pahlawan nasional. Jangan-jangan, generasi kita yang justru keluar jalur dari cita-cita luhur para pejuang bangsa. Dengan demikian, refleksi adalah evaluasi. Refleksi adalah memperbaiki diri.
Peringatan Hari Pahlawan mengambil momentum pertempuran di Surabaya yang terjadi pada tanggal 10 November 1945. Pertempuran Surabaya itu menjadi salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Rakyat Surabaya telah mengorbankan 20.000 jiwa penduduknya dalam perang itu, dan Inggris yang kehilangan serdadunya dalam pertempuran meskipun sudah menggunakan senjata modern pada waktu itu.
Tentu Hari Pahlawan tidak hanya menjadi momen peringatan tokoh-tokoh pejuang Surabaya pada waktu itu, namun semua pahlawan nasional yang sudah mengorbankan jiwa raganya demi bangsa Indonesia. Kita tentu mengenal Bung Tomo, Jenderal Sudirman, I Gusti Ngurah Rai, Agustinus Adisudjipto, Kapten Pierre Tendean, Sam Ratulangi, R.A. Kartini, hingga Maria Walanda Maramis.
Sekian nama tersebut hanyalah cuplikan dari banyaknya tokoh pahlawan nasional Indonesia. Namun dari sekian nama tersebut, ada satu fakta yang bisa menjadi bahan refleksi, yaitu bahwa keragaman latar belakang ras, suku, gender, dan agama tidak membuat visi mereka terpecah belah. Para pahlawan kita melangkah dalam satu tujuan yang sama yaitu kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Sudah banyak diceritakan bahwa Bung Tomo adalah seorang Muslim yang taat. Ia selalu menyebut nama Allah dalam setiap orasinya. Dalam orasi pertempuran 10 November, ia bahkan mengakhirinya dengan bertakbir sebanyak tiga kali. R.A. Kartini memiliki kehidupan yang berbeda. Kartini hidup di tengah keluarga Muslim ningrat, bergaul dengan rekan-rekan Kristen, namun kemudian terpesona pada ajaran Buddha.
Latar belakang para pahlawan itu tidak pernah menjadi isu satu sama lain karena mereka terikat dengan satu cita-cita bersama. Realitas ini nampak belum ditemukan dalam konteks kehidupan kita sekarang. Sebagian kita justru lebih tertarik untuk bertanya soal identitas agama seseorang terlebih dahulu, sebelum mengulik apa kontribusinya bagi orang lain. Jika sikap ini terjadi sebelum zaman kemerdekaan, akan sulit membayangkan bagaimana bangsa Indonesia bisa dipersatukan.
Para pahlawan kita telah menyontohkan bahwa nasionalisme merupakan kunci ikatan keberagaman. Ragam latar belakang itu diikat dengan simpul nasionalisme dan anti penjajahan. Ironisnya, sebagian kita, atau bahkan kita sendiri, sekarang justru bersikap sebaliknya. Kita mengaku nasionalis, namun secara tidak sadar mengingkari keberagaman.
Saya kira Ir. Soekarno, Bung Hatta, dan para proklamator itu akan kecewa melihat bangsa yang sudah mereka persatukan dalam proklamasi, kini sibuk dengan tensi politik identitas yang tak terhenti.
Saya khawatir akan menyimpulkan bahwa kultur keberagaman kita akan berfungsi efektif jika dihadapkan dengan satu musuh bersama. Bagaimana tidak, para penjajah di era sebelum kemerdekaan berhasil menyatukan rakyat Nusantara. Bangsa kita juga pernah relatif rukun ketika dihadapkan dengan pandemi Covid-19. Meskipun ketika pandemi berangsur hilang, kita kembali tersegregasi. Artinya, jika kita hidup tanpa ancaman berarti, apakah kita tidak dapat bersatu? Apakah sikap kita sudah mencerminkan apa yang dicita-citakan oleh para pahlawan bangsa?
Tentu refleksi ini bukan “Q&A” yang mengandaikan respon cepat atas banyak pertanyaan. Pertanyaan itu merupakan bahan evaluasi yang harus menjadi concern masing-masing individu. Masak iya, kita sudah hidup tanpa ancaman kemudian dengan bodohnya menciptakan sendiri ancaman itu. Para pejuang kita memiliki semangat membasmi ancaman, bukan menciptakan ancaman.
Misalnya, sebuah kelompok yang menganggap keyakinan lain sebagai ancaman. Menurut saya, itu bukanlah sikap kebangsaan yang diwariskan oleh para pahlawan. Pertama, para pahlawan kita sudah mendesain Indonesia sebagai negara plural dan tidak ada lagi perdebatan tentang hal itu. Kedua, definisi ancaman dalam konteks nasionalisme adalah musuh yang bisa merugikan bangsa negara, bukan hanyak kepentingan kelompok mereka. Jika mereka tetap melakukan itu, maka itu tidak lebih dari sebuah egoisme beragama semata.
Dalam hemat saya, banyak nilai-nilai dari pahlawan nasional yang bisa diimplementasikan dalam perilaku kita di era disrupsi ini, misalnya prinsip perjuangan, keadilan, demokratis, dan perdamaian. Secara kontekstual, kita bisa menerapkan prinsip perdamaian dengan, misalnya, tidak memecah belah, tidak menyebarkan hoax, dan tidak berbuat rusuh di media sosial.
Prinsip demokratis misalnya, bisa kita eksternalisasikan lewat sikap toleransi, sikap saling menghargai, dan tidak diskriminatif. Saya kok yakin, kehidupan berbangsa semacam ini yang menjadi luaran utama dari perjuangan para pahlawa bangsa yang berdarah-darah itu.
Sekali lagi, refleksi ini adalah bentuk ekspresi dari peringatan Hari Pahlawan yang perlu dilakukan. Selain untuk me-recall kembali kisah-kisah heroik para pahlawan bangsa, refleksi ini berfungsi untuk menguji sikap kebangsaan kita, apakah masih berpayung dalam semangat nasionalisme, atau justru terbelenggu dalam ikatan identitas kelompoknya.
Moh. Yamin pernah berkata,
“Cita-cita persatuan Indonesia itu bukan omong kosong, tetapi benar-benar didukung oleh kekuatan-kekuatan yang timbul pada akar sejarah bangsa kita sendiri.”
Selamat Hari Pahlawan 2022. Hidup Bhinneka Tunggal Ika!