Rekonsiliasi memang butuh kebesaran hati seorang Prabowo Subianto. Saya, Anda atau siapapun itu belum tentu bisa setegar beliau. Dua kali nyapres dan sekali nyawapres bukanlah hal yang mudah. Tampil pertama kali, ia masih di belakang Megawati Soekarnoputri medio 2009. Lalu, 2014 maju sebagai Capres menggandeng Hatta Rajasa. Dan, 2019 kemarin menggaet Sandiaga Uno. Sayang, sang dewi fortuna sedang tidak berpihak, bahkan untuk ketiga-tiganya.
Ini tidak biasa. Sebab umumnya angka ketiga adalah hoki. Tapi ternyata politik tidak bisa mengandalkan hoki. Ia merupakan pilihan realistis, meskipun tidak selalu matematis. Pendek kata, politik adalah soal untung-rugi, kendati ia juga tidak bisa disebut bisnis.
Karenanya, mengandaikan politik penuh dengan manusia-manusia saleh, rasanya terlampau naif. Dan, inilah yang agaknya tidak dimengerti oleh sebagian pendukung Prabowo. Mereka tampaknya masih kebingungan mendefinisikan dan/atau menghubungkan relasi politik dengan agama.
Akibatnya, umat jadi kepayahan membedakan mana panggung agama dan mana mimbar politik. Dipikirnya, agama itu ya politik, dan begitu sebaliknya. Padahal, keduanya sungguh memiliki batasan-batasan yang jauh berbeda.
Ada sebuah anekdot menarik yang pernah ditulis Achmad Mundjid dan cukup merepresentasikan hal itu. Ceritanya begini. Seorang Wartawan senior asal Amerika datang ke Jogja. Ia ingin melihat bagaimana relasi agama dan politik di negeri dengan penduduk Muslim terbesar.
“Permisi, saya ingin ketemu politisi”, tanya si Wartawan kepada seorang warga Jogja.
“Kalau begitu, datanglah ke masjid”, balas seorang yang ditemuinya.
“Ke masjid?”, sambil menggerutu si Wartawan melanjutkan, “Bukankah masjid itu tempatnya para ustaz?”
“Ah, Sampean ini. Kalau mau ketemu ustaz, pergilah ke universitas”, sambar warga yang lain.
“Ada-ada saja Anda ini. Universitas kan tempatnya para intelektual”, tukas Si Wartawan yang mulai kebingungan.
“Badala, sampean keliru lagi. Kalau mau ketemu intelektual, pergilah ke warung (kopi) angkringan.”
“Waduh”, kepala si wartawan mulai pening. “Warung angkringan kan tempat para broker dan orang-orang kuker?”
“Sepertinya, sampean perlu lebih banyak bergaul di sini”, kata warga dengan mimik bijaksana. Sebab, “kalau mau bertemu broker dan orang-orang kurang kerjaan, silakan pergi ke gedung Parlemen.”
Kali ini kepala si Wartawan benar-benar tidak karuan. Tapi ia masih mengejar. “Parlemen kan tempat wakil rakyat?”
“Sampean memang wartawan, tapi mungkin kurang baca berita ya? Kalau mau bertemu wakil rakyat, datanglah ke tahanan KPK”, jawab si warga sambil terkekeh.
“Waduh, tobat ini. Di sana kan tempatnya para koruptor”, tandas si Wartawan
“Naini.” Si warga tampak girang, lalu melanjutkan, “kalau mau ketemu koruptor datanglah ke partai politik.”
“Bagaimana sih Anda ini. Bukankah Parpol itu tempatnya para politisi?”
“Weladalah, sampean ternyata masih belum paham juga,” geleng si warga. “Kalau mau nyari politisi, datanglah ke masjid. Kan sudah saya bilang dari awal.”
Tampaknya, ilustrasi di atas memang menemukan konteksnya di Pilpres 2019 kemarin. Tidak sedikit orang mulai berani membawa-bawa Tuhan di gelanggang politik. Demikian sebaliknya, para politisi lalu mendadak atau paling tidak dicitrakan sebagai agen relijiyes.
Bahkan, hei, ada yang sempat mengancam-Nya. Mengancam, “kalau-kalau Engkau tidak menangkan kami, kami khawatir Ya Allah, tidak ada lagi yang menyembah-Mu”.
Tapi, Tuhan memang Maha Kuasa dan independen. Dia pun enggan diintervensi. Siapa lo?!!
Tipe-tipe manusia seperti itulah yang kemarin auto-muak demi melihat pertemuan Prabowo dengan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7). Bahkan dituduh oleh mereka, Prabowo telah mengkhianati kepercayaan umat.
Padahal, kitanya saja yang sejak awal terlalu percaya diri menganggap Prabowo sebagai wakil umat Islam. Prabowo sendiri bahkan sama sekali tidak menggubris embel-embel dirinya sebagai Capres hasil ijtimak ulama. Ia pun juga terang-terangan membantah citra itu dengan menegaskan kalau dirinya awam soal agama.
Tapi betapapun itu, tidak bisa dinafikan juga bilamana Prabowo butuh suara. Namanya juga politik kekuasaan. Ia bahkan tidak punya cukup power kalau hanya mengandalkan basis massa miliknya sendiri.
Alhasil, digandenglah orang-orang itu tadi, tidak peduli betapa bersebarangan dan menggemaskannya ideologi serta ulah mereka. Kalau kata Kang Hasanuddin Abdurrakhman, prinsipnya adalah yang penting menangkan dulu pertarungan.
Dengan begitu Prabowo bisa berharap, setelah menang ia akan dapat mengendalikan para pendukungnya. Satu hal yang sangat mungkin juga dipikirkan oleh “para pendukung” untuk mengendalikan Prabowo setelah menang.
Sayang, yang demikian itu hanyalah spekulasi. Dan tampaknya akan tidak benar-benar terjadi.
Terlepas dari kepentingan apa yang mendorong Pak Prabowo bersua dengan Pak Jokowi, saya mengapresiasi betul pertemuan itu. Bahkan bila perlu pertemuan antara dua ikon nasional ini lebih sering digelar.
Plus, tak lupa, di belakang keduanya berjajar para pendukungnya, sembari memekik yel-yel: “Jokowi-Prabowo bersatu tak bisa dikalahkan!!! Yeyeye!!!”