Beberapa waktu lalu, beredar video Juru Kampanye Nasional TKN Khofifah Indar Parawansa mengatakan bahwa komposisi lintas generasi Prabowo-Gibran diibaratkan sebagai komposisi antara senioritas Abu Bakar dan semangat Millenial dari Ali bin Abi Thalib.
“Saya mencoba mengambil personifikasi, maaf, Rasulullah saw. Ada sahabat Rasulullah itu yang senior itu Abu Bakar tapi ada yang millenial itu sayyidina Ali. Jadi komposisi antara yang senior dengan yang junior.” Terang Dewan Pengarah Jurkamnas TKN, seperti dilaporkan oleh Liputan 6.
Khofifah sebetulnya sudah meminta pemakluman setelah menggunakan personifikasi tersebut. Ia menyatakan bahwa ia tidak sedang menyetarakan Prabowo-Gibran dengan Abu Bakar-Ali, tetapi dalam konteks mencari referensi kepemimpinan.
Namun tetap saja, pembenaran Gubernur Jawa Timur itu tetap tidak bisa diterima. Dalam konteks kehidupan sahabat, tonggak kepemimpinan mutlak dipegang oleh Nabi Muhammad. Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib sering kali diangkat sebagai simbol assabiqunal awwalun. Orang-orang Mekkah pertama yang masuk Islam. Abu Bakar mewakili generasi dewasa, Ali bin Abi Thalib merepresentasikan generasi remaja.
Strategi perbandingan itu justru tampak kontra-produktik, baik dari aspek strategi kampanye dan aspek personifikasi itu sendiri. Dalam aspek strategi kampanye misalnya, statemen ini pada dasarnya merupakan wujud dari manipulasi sentimen publik yang dimanfaatkan oleh Khofifah. Sebagai Ketum PP Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) dan Ketua PBNU 2022-2027, mangsa pasar Khofifah adalah paraMuslim moderat yang sangat mentaati dan menghormati sosok Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.
Kondisi penghormatan ini berusaha ditransfer melalui strategi personifikasi dengan harapan publik akan memberikan tempat istimewa kepada Prabowo-Gibran, layaknya publik melihat sosok Abu Bakar-Ali. Ironisnya, cara ini justru tampak seperti mengada-ada. Kita ambil contoh sosok mulia Ali bin Abi Thalib.
Jika menggunakan logika personifikasi Khofifah, jika konteks kepemimpinan yang dimaksud adalah sebagai strong power leader dalam level eksekutif, tentu tidak relevan karena Ali nyatanya baru menjadi khalifah keempat pada usia 58 tahun. Usia yang mendekati masa senja. Namun jika yang dimaksud adalah kepemimpinan dalam level sosial kemasyarakat, juga tidak ketemu karena saat Ali hidup, pemegang kendali kepemimpinan adalah Rasulullah.
Lagipula, karakter Ali bin Abi Thalib adalah komposisi dari kecerdasan, kekritisan dibalut dengan gaya hidup yang sederhana dan kerendahan hati. Rasulullah bahkan memberi julukan Ali bin Abi Thalib pintu gerbang pengetahuan Islam.
“Aku adalah kota ilmu, sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah pintunya,” sabda Rasulullah.
Nama besar Ali bin Abi Thalib membuatnya diminta oleh masyarakat Islam untuk mengisi kekosongan kursi kekhalifahan akibat wafatnya Utsman bin Affan. Sosok Ali sendiri yang dikenal memiliki kecerdasan, membuat banyak orang meminta Ali untuk menggantikan posisi Utsman.
Artinya, reputasi Ali sebagai pemimpin dibangun secara berkala dalam waktu yang tidak sebentar. Meski ia adalah sepupu Rasulullah, posisinya di kursi Khulafaur Rasyidin murni akibat dari kapabilitas dan kapasitasnya sebagai sosok sahabat yang alim, kritis, cerdas, namun tetap rendah hati. Capaian kursi kepemimpinan khilafah tidak dimaknai sebagai kontestasi politik yang penuh intrik seperti saat ini, namun melalui mekanisme musyawarah dan hasil kesepakatan dan maslahat publik.
Situasi ini tentu bukan suatu hal yang bisa diperbandingkan. Belum lagi jika mengurai kisah mulia Abu Bakar Ash-Shiddiq yang berjuang di samping sosok Rasulullah. Uraian tentang sosok Abu Bakar justru akan semakin menegaskan kerancuan personifikasi yang disebutkan Khofifah.
Walakhir, perbandingan sosok pemimpin Prabowo-Gibran dan Abu Bakar-Ali bisa rentan terjerumus pada narasi merendahkan sahabat-sahabat Nabi. Jelas saja, sosok Prabowo dengan masa lalu yang problematik dan sosok Gibran yang maju sebagai Cawapres melalui intrik “nepotisme” Mahkamah Konstitusi tidak akan, bahkan tidak pernah akan, mendekati sosok Abu Bakar-Ali dalam konteks dan aspek kehidupan apa pun. Akhirnya, pernyataan itu hanya semakin meneguhkan ambisi kekuasaan tanpa ditunjang dengan nalar yang dalam dan mapan.