Prabowo dianggap mendapatkan tempat istimewa dalam pemberitaan koran islam terbesar di negeri ini, Republika. Tapi, apakah kecenderungan itu itu memang benar terjadi? Saya menemukan hal itu dalam riset media Janet Steele.
Saya masih ingat medio 2013, ketika saya saya merampungkan skripsi tentang Republika Menempuh rute Ciputat-Pejaten menjadi hal lumrah di masa-masa itu. Kopaja P20 menjadi langganan, meski pernah hampir kecopetan di sana. Saya juga berhutang hutang budi dengan narasumber-narasumber di Republika yang saya wawancara: Arys Hilman, Syahruddin El-Fikri, Halimah Sa’diyah, M. Irwan Ariefyanto, Stevy Maradona.
Narasumber-narasumber Republika sangat terbuka dan ringan memberikan informasi yang tentu saja memudahkan kerja penelitian saya. Hubungan dengan mereka juga masih terjalin baik hingga sekarang. Ketika mahasiswa saya perlu mewawancara wartawan dan redpel Republika untuk skripsinya, saya merekomendasikan Syahruddin El-Fikri dan Halimah Sa’diyah. Keduanya berkenan membantu.
Lima tahun setelah saya merampungkan skripsi, saya membaca penelitian Janet Steele tentang Republika. Tahulah saya bahwa penelitian saya kurang dalam jika dibandingkan dengan riset tersebut. Saya sadar, adalah sebuah pembandingan yang tidak tepat menjajarkan skripsi dengan riset 20 tahun. Hanya saja, mesti saya akui, saya geleng-geleng takjub membaca hasil riset Janet.
Hasil riset Janet amat padat data dan dituturkan dengan bahasa yang lentur, seperti kawan lama datang bercerita. Mengingatkan kita pada bahasa yang digunakan Tempo. Omong-omong soal gaya bahasa Tempo saya terkenang deskripsi Mahbub Djunaidi perihal majalah itu: …seperti pisang dempet, langka dan unik, karena menganut jurnalistik gaya baru, menggabung kaedah pers dan sastra, dua jenis makhluk yang dulunya saling mendelik dan cela. Itu sebabnya kebanyakan orang membacanya sambil jongkok, semata-mata karena asyik dan kenes, mempermainkan bahasa seakan bahasa itu milik om dan tentenya sendiri.
Janet mengawali laporan riset dengan cerita kedatangannya ke kantor Republika pada hari Natal 2012. Ia ingin tahu adakah wartawan Republika yang memberi ucapan selamat natal kepadanya. Ia mendapati 3 dari 9 redaktur mengucapkan selamat natal. Bahkan salah seorang redaktur meminta OB untuk membeli Coca Cola, melengkapi kue coklat yang dibawa Janet.
Hal-hal menarik tentang Republika yang boleh jadi belum diketahui publik diungkap oleh Janet. Seperti soal “dugaan keberpihakan” Republika pada Prabowo pada pilpres 2014. Joko Sadewo, editor Repuublika Online, mengatakan: kebayakan pembaca Republika Online dari Muhammadiyah dan mereka menyukai tulisan yang menyerang Jokowi. Tulisan-tulisan itu kerap menjadi tulisan “paling banyak dibaca”.
Lebih lanjut, menurut Joko Sadewo, cyberarmy Prabowo akan dengan segera membagikan tulisan-tulisan itu. Tentu dengan harapan akan mendatangkan keuntungan bagi Prabowo. Di titik tertentu, tulisan yang banyak dibagikan dan dibaca itu juga “menguntungkan” Republika. Meski terdapat “risiko” Republika tampak condong ke Prabowo dan tidak netral.
Azyumardi Azra bahkan begitu yakin Republika memihak Prabowo, dan PKS. Sementara, pemred Republika saat itu, Nasihin Massa membantah dugaan itu.
Ia juga mengatakan Republika memang tidak netral, Republika mendukung kedua calon. Hanya saja, menurut Janet, jika dibaca sekilas saja sudah kelihatan betapa Republika lebih karib dengan Prabowo.
Janet meyimpulkan, kemanapun arah kencenderungan Repulika, semua bermuara pada satu hal: Republika tunduk pada pasar. Perubahan arah angin di Republika memang terjadi sejak Republika dibeli Mahaka Media (tahun 2000). Jika dulu Republika getol menyuarakan Islam kosmopolitan, sejak akuisisi mereka ganti haluan. 18 wartawan Repulikan pun memilih pindah ke Koran Tempo. Dan saat ini, sebagaimana kita lihat, Republika memang sudah berbeda dengan Republika “generasi awal”.
Erick Thohir ketika pertama kali masuk Republika berpesan kepada para wartawan tentang empat hal: Apa empat poin saya? Satu, tentu saja bisnis. Kedua, berdirilah di tengah. Ketiga bisnis ke bisnis, pikirkan tentang pasar. Dan, keempat, jangan berprasangka.
Jadi, ketika kita melihat Republika saat ini begitu “menuruti selera kelas menengah muslim” (termasuk dalam hal politik),kita bisa maklum. Kita tinggal membaca lagi pernyataan Erick Thohir tersebut.