Tiga puluh dua tahun silam, penggusuran besar-besaran pernah menimpa warga Kedung Ombo lantaran pemerintah hendak membangun sebuah waduk yang di danai Bank Dunia pada 1985 itu. Tapi Bank Dunia tidak datang membawa duit bagi 5.268 KK keluarga di 37 desa di Sragen, Boyolali, dan Grobogan. Lembaga keuangan internasional ini mengucurkan dana 156 juta US dolar dari keseluruhan proyek berjumlah 283 juta US dolar. Duit tersebut digelontorkan hanya untuk membangun sebuah waduk seluas 5.898 hektar.
Dana Bank dunia hanya untuk waduk,tidak untuk warga desa yang dilahirkan di sekitar Kedung Ombo. Demi terwujudnya waduk, diperlukan lahan yang luas, artinya harus ada penggusuran yang disertai ganti rugi.
Pada kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo, belum ada pembicaraan jelas dengan warga yang akan digusur. Sementara pemerintah daerah sudah main pasang harga. Masalah ganti rugi rupanya tak kunjung rampung. Bahkan ketika waduk mulai digenangi air sejak 14 Januari 1989 dan menenggelamkan tanah pekarangan warga di tiga wilayah Kabupaten Sragen, Boyolali dan Grobogan.
Ketika sebagian besar warga berpindah ke tempat-tempat lain, masih ada 600 keluarga yang bertahan di daerah genangan dan sabuk hijau. Mereka menuntut ganti rugi yang sesuai, karena uang ganti rugi yang mereka terima sangat kecil. Setelah diusut, ternyata ada pihak yang telah melakukan penipuan terhadap warga Kedung Ombo.
Suharto, mertua Prabowo di Kedung Ombo, menjuluki petani yang menolak untuk menyerahkan tanahnya sebagai PKI dengan cara diberi kode ET di KTP mereka, padahal mereka adalah petani yang sejak lama bersih dari identitas seperti itu.
#SaveMukaBoyolali
Hari ini potongan video pidato menantu Suharto, Prabowo Subianto mengenai ‘tampang boyolali’ menjadi viral di media sosial. Cuplikan video Prabowo yang viral itu merupakan potongan pidato saat mantan Jenderal yang dipecat ini meresmikan Posko Badan Pemenanganya Kabupaten Boyolali, Selasa (30/10) lalu. Saat itu ia didampingi Ketum PAN Zulkifli Hasan dan mantan Pangkostrad yang juga mantan Gubernur Jateng, Letjen (Purn) Bibit Waluyo.
Dalam salah satu bagian dalam pidato itu, Prabowo membicarakan soal belum sejahteranya masyarakat saat ini. Ia memberi perumpamaan wajah orang Boyolali yang belum pernah masuk hotel-hotel mahal.
“Kalian kalau masuk, mungkin kalian diusir. Tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang-tampang kalian ya tampang orang Boyolali ini” ujar Prabowo sembari tertawa.
Prabowo sedang melakukan Mop. Mop yang dilakukan oleh Prabowo terasa ambigu. Saat orang kaya mengejek orang miskin, itu getirnya sangat terasa. Yah mungkin warga Boyolali itu miskin,tapi mereka terhormat saat berani melawan mertua Prabowo yang menenggelamkan kampung mereka dengan nilai ganti rugi Rp. 700 rupiah.
Mop memungkinkan setiap orang dalam satu situasi untuk ‘merayakan’ apa yang dimililki secara sejajar tanpa memperhatikan strata sosial dan status. Mop dipakai untuk menyindir pihak lain secara halus, tanpa tekanan atau intimidasi. Mop memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan pendapat dan kritik secara bebas tanpa takut menghakimi pihak lain.
Mop Prabowo soal ‘Muka Boyolali’ yang diusir saat masuk hotel mewah jika itu diucapkan oleh sesama rakyat kecil, itu akan jadi satire yang getir namun lucu dan gembira. Tapi jika satire itu keluar dari mulut Prabowo, ucapan itu benar-benar menjadi ejekan yang merendahkan.
Prabowo bukan orang miskin, ia kaya sejak lahir. Ia juga hidup dengan sangat berkecukupan bersama kudanya yang harga satu ekornya setara pendapatan tujuh turunan petani miskin Boyolali.
Mop Prabowo terasa amat getir bagi mereka. Membelanya, tidak perlu sederet nama orang Boyolali disebut untuk menyebut bahwa banyak orang Boyolali yang juga sukses dan berkeliaran dihotel mewah.
Tapi saat orang kaya berpidato dan menjadikan kemiskinan sebagai bahan guyonan ini sangat ‘wagu’. Prabowo seakan sedang mandi dengan kotoran bekasnya sendiri, padahal ia pernah dan sangat mampu membela orang Boyolali yang di usir dari tanah kelahirannya oleh sang mertua. Prabowo menjadi tidak lucu dalam situasi ini.
Bagi kita yang memperjuangkan kewarasan dan logika, pidato ini terasa sebagai ejekan terhadap orang kecil. Kita merasa terusik dengan labeling Boyolali sebagai simbol kaum kecil, miskin, dan kere.
Sama seperti mertuanya Suharto yang melabel warga Boyolali yang menolak diusir dari Kedung Ombo sebagai PKI. Ini keji bagi saya. Namun, apakah demikian untuk pendukung Prabowo sendiri?
Note : Foto saya ambil dari Wall om Muhammad Jawy