Sentimen etnis dan agama seringkali digunakan sebagai alat penyulut konflik di Indonesia. Merumuskan dan membaca peta konflik yang telah terjadi adalah pekerjaan penting sebagai bahan perumus kebijakan untuk menghindari konflik yang sama terjadi di kemudian hari. Hal itulah yang diutarakan oleh Ihsan Ali Fauzi, Direktu Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina Ihsan Ali Fauzi saat peluncuran buku karya Samsu Rizal Panggabean di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat (27/9).
“Buku Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia ini berhasil mengidentifikasi dengan baik apa penyebab dibalik konflik masa lalu, dan menawarkan solusi permasalahan tersebut”, tuturnya.
Ihsan melanjutkan, penerbitan buku tersebut dilakukan agar lebih banyak dibaca masyarakat sebagai bahan diskusi dan perdebatan terbuka, karena awalnya buku ini adalah desertasi Rizal saat menyelesaikan doktoral di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Selain itu, juga sebagai bentuk penghargaan terhadap Rizal Panggabean atas peran dan jasanya terhadap bina damai di Indonesia yang telah ia lakukan selama hidupnya.
Dalam penelitian di buku ini, Rizal menggarisbawahi pada kasus konflik di kurun waktu 1998-1999 yang terjadi bersamaan dengan reformasi Indonesia. Terdapat dua pertanyaan besar yang melatar belakangi riset tersebut. Mengapa kekerasan terjadi saat konflik di kota/kabupaten tertentu namun tidak terjadi di kota/kabupaten lainnya? Apakah pemilahan etnis menjelaskan variasi insiden kekerasan?
Menjawab dua pertanyaan itu, Rizal menggunakan metode sampel berpasangan untuk membandingkan hasil antara keduanya. Ia mengambil contoh kasus yang terajadi di Yogyakarta dan Surakarta, atau di Ambon dan Manado. Keempat daerah tersebut sama-sama terjadi konflik di tahun 1998, namun yang membedakan diantara keempatnya adalah dampak dari konflik tersebut berujung pada kekerasan atau tidak.
Kasus konflik yang terjadi di Surakarta, berujung pada adanya kekerasan etnis yang mengakibatkan pemilahan kelompok antara Pribumi-Tionghoa. Begitu juga dengan kejadian di Ambon yang berakibat pada pemilahan kelompok agama antara Islam-Kristen. Hal itu berbeda dengan kasus konflik yang ada di Yogyakarta dan Manado yang tidak berujung pada kekerasan.
Rizal berpendapat jika koordinasi antar kelompok warga, tokoh agama, dan aparatur negara menjadi faktor penting untuk menghindari kekerasan saat konflik terjadi. Ia mencontohkan yang terjadi di Yogyakarta dan Manado dimana warga tidak terpengaruh dengan informasi sensitif yang mudah beredar saat konflik.
Lain halnya dengan konflik yang berimbas pada kekerasan etnis yang terjadi di Surakarta, menurutnya tak lepas dari andil aktor negara yang mengubah bingkai konflik dari sebelumnya sentimen anti orde baru berubah menjadi sentimen anti Tionghoa. Ia menuliskan:
“Jadi apa yang terjadi di Surakarta pada tanggal 14 dan 15 Mei 1998? Mengapa serangan terhadap properti Tionghoa terjadi ketika interaksi Pribumi-Tionghoa di berbagai kehidupan berjalan dengan positif? Buku ini ingin menujukkan bahwa mekanisme utama yang berujung pada serangan anti Tionghoa adalah pengalihan bingkai yang dilakukan oleh aktor negara. Aktor negara melakukan serangan tersebut sebagi strategi mengubah bingkai, dari bingkai protes anti-rezim Orde Baru, yang menjadi bingkai utama demonstrasi dan protes mahasiswa di Surakarta selama beberapa bulan sebelumnya, ke bingkai anti-Tionghoa.”.
Jadi, dalam kasus Indonesia, etnis dan agama bisa begitu berpengaruh dalam langskap sosial masyarakat Indonesia. Jadi, bagaimana dengan politik di Pilpres 2019 mendatang?