Kekhawatiran pendidikan agama di sekolah sekolah negeri berkontribusi untuk mencetak kader-kader intoleran, memuja kebencian atas kebhinekaan, dan bahkan menjadi anak-anak yang pengetahuan dan sikap keagamaannya bisa memicu anti negara Pancasila yang majemuk dan anti narasi yang ramah-toleran, patut untuk direnungkan dan dicermati. Hal ini tentu, bila diharapkan pendidikan karakter yang salah satunya di Indonesia ini mengambil bentuk dari basis agama, merupakan diktum dalam UU Sisdiknas dan UUD 1945, yang disebut begini: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Pasal 31 UUD 1945).
Bahwa hari-hari ini, kekhawatiran itu banyak disuarakan oleh KH. Said Aqil Siraj dalam kasus Permendikbud dan FDS yang dikutip banyak media online, tidaklah harus menjadikan orang yang bukan NU tidak merasa penting untuk merenungkan itu. Saya ingin menunjukkan data-data dari penelitian Wahid Foundation, bahwa kekhawatiran itu semestinya menjadi bagian yang harus kita pikirkan secara serius. Kalau dalam tulisan sebelumnya dalam judul Memahami Kritik NU atas FDS, saya mengutip PPIM Jakarta berkaitan dengan guru-guru agama, maka penelitian Wahid Foundation ini, adalah berhubungan dengan siswa-siswi yang menjadi aktivis Rohis.
Judulnya adalah “Laporan Riset dan Potensi Radikalisme di kalangan Aktivis Rohani Islam di Sekolah Negeri” bertanggal 3 Mei 2016, oleh Wahid Foundation. Riset dilakukan secara kuantitatif kepada pengurus atau anggota Rohis di Sekolah Umum/Kejuruan, ketika mengikuti Perkemahan Rohani Islam “Membangun Generasi Emas Ramah dan Bermartabat” pada 2-6 Mei 2016 di Cibubur yang diadakan oleh Direktorat Pendis Kementrian Agama. Angket yang berhasil dikumpulkan adalah 1.626.
Saya akan mengutip beberapa hasil yang relevan untuk tulisan ini, yaitu:
Tentang materi Pengajian Rohis, yang didengar aktivis Rohis ada rata-rata 20 % adalah konten pengajian Rohis yang memuat: kebencian terhadap agama lain, perlawanan bahkan perang terhadap umat lain atau pemerintah yang memusuhi atau mengancam umat Islam; perang pemikiran (ghazwul fikri) untuk meracuni kita dengan berbagai pemikiran yang menyimpang; agama atau keyakinan menjadi faktor utama untuk memilih teman (hlm. 12).
Selain itu di antara anggota Rohis itu, ditemukan: 82 % adalah orang yang aktif mengikuti pengajian Rohis (hlm. 15); dan yang berperan memicu kecenderungan yang mempengaruhi di Rokhis itu adalah pembimbing, pemateri, dan ustadz dalam pengajian Rohis, yang tercatat: guru agama (50 %), dan selainnya itu adalah alumni, kakak kelas, pihak lain, mahasiswa non alumni, dan tidak menjawab (hlm. 16). Hal ini juga menjelaskan perlunya mendinamisasi guru-guru agama, ditambah data-datanya dari data-data misalnya yang diteliti PPIM Jakarta di 11 wilayah itu, yang meski tidak bisa digenerailisir untuk keseluruhannya, tapi sudah cukup memberikan peringatan kepada publik Indonesia.
Sedangkan tentang isu-isu yang berkaitan dengan keagamaan yang berkembang. para aktivis Rohis memiliki pandangan dan sikap keagamaan yang hasilnya begini:
(1) Kaitannya jihad, ada 33 % mengartikan jihad adalah perang dan mengangkat senjata melawan orang kafir.
(2) Kaitannya ide penyatuan kekhilafahan, ada 78 % mendukung ide kekhilafahan.
(3) Kaitannya orang yang keluar agama Islam, ada 17 % setuju orang yang keluar Islam dibunuh.
(4) Kaitannya dengan pelaku zina ada 62 % mendukung pelaku zina dirajam atau dilempar batu.
(5) Kaitannya soal hukum pencuri 58 % mendukung hukum potong tangan bagi pencuri (hlm. 18).
Hasil-hasil di atas, menggambarkan sudah cukup jelas, bagaimana ide-ide kekhilafahan, jihad sebagai perang, dan orang kafir harus dibunuh bahkan bukan dalam kondisi perang, telah merasuk di pengetahuan dan sikap keagamaan anggota-anggota Rohis. Terlihat soal ide kekhilafahan prosentasenya sangat besar; dan hukum publik berdasarkan syariat Islam dipilih lebih dari 50 % anggota Rokhis yang dijadikan sampel. Padahal anggota anggota Rohis itu, dicatat rata-rata rangking di kelas 1-5, atau 5-10.
Jadi, ini menggambarkan calon-calon generasi Indonesia, di sekolah-sekolah negeri berdasarkan riset Wahid Foundation itu, cukup menjadi perenungan kita semua yang meresahkan.
Dengan mendasarkan pada data-data itu, maka membenahi pendidikan karakter di sekolah negeri, selain soal restorasi guru-guru agama yang mendesak dilakukan; tetapi juga perlu merestorasi kelembagaan Rohis yang selama ini digunakan oleh, berdasarkan penelitian di atas, menjadi tunas-tunas, yang justru cenderung anti negara Pancasila dan menyemaikan narasi kebencian dengan basis agama.
Hal ini bila tidak dipikirkan dengan segera, kita bisa kehilangan kesempatan karena bisa jadi 10 tahun lagi, atau 20 tahun lagi, Indonesia akan dilanda tsunami Islam takfiri, intoleran, dan tidak menghendaki kebhinekaan Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945.
Padahal kita selalu diingatkan oleh para founding fathers bangsa kita, bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa, dalam alam pikiran saat itu yang dikehendaki salah satunya adalah, agama yang tidak egois, agama yang berkebudayaan dan berkeadaban, yang saling menghormati, bukan agama yang ditampilkan semau-maunya, dan mengancam-ngancam, apalagi sampai anti Negara Pancasila.
Mari kita pikirkan mencari jalan keluar bersama atas kenyataan telah munculnya kekuatan tunas-tunas di sekolah negeri yang intoleran dan cenderung, dalam bahasa Wahid Foundation itu, digunakan istilah “radikal.” (bersambung)
*) Nur Kholik Ridwan