Pagi itu, saya yang membuka twitter untuk mendapatkan update berita dan isu-isu terbaru, sontak tertawa geli ketika akun Gus Nadirsyah Hosen menyindir seseorang yang meragukan kredibilitasnya. Akun tersebut setelah dicek, dibalik kesungguhannya dalam berdakwah dengan banyak me-retweet ayat-ayat dan melayangkan kritik pedas pada pihak-pihak yang berseberangan dengan pemikirannya, ternyata masih sempat mengomentari akun-akun cewek dengan nada genit, bahkan membubuhkan like pada beberapa akun pornografi. Dan, tipikal sejenis mudah sekali kita jumpai di ranah media sosial kita. Saya beberapa kali iseng melacak beberapa akun dengan template sama: koar-koar dan semangat 45 untuk menyebarkan ayat-ayat dan hadis, namun di sisi lain untuk urusan ghadul bashar di ranah online agak susah ditahan.
Fenomena menarik ini membuat saya sempat mengira hal tersebut hanyalah ulah akun bot (akun yang dikelola oleh sebuah software terprogram untuk melakukan tweet, retweet, mention, like, dan sebagainya secara otomatis). ‘Mungkin, ulah oknum yang ingin memperburuk citra Islam,’ pikir saya waktu itu. Namun, ternyata tidak juga. Kesimpulan saya berubah setelah salah satu kawan yang saya follow, ndilalah, bersikap tidak jauh beda. Awalnya saya kaget dan buru-buru mengirim pesan singkat agar dia berhati-hati karena saya kira akunnya di-hack atau kemungkinan lainnya dia salah pencet.
Setelah saya iseng telusuri, eh dia memang follow akun porno, disamping banyak juga mengikuti akun-akun ulama dan dan dakwah. Waktu saya cek di bagian like dan kemudian scroll ke bawah, bukan hanya satu video pornografi yang ia sukai. Ternyata, ada beberapa. Dari situ, saya kemudian mencoba mendalami mengapa seseorang bisa bersikap seperti ini? Apa penyebab sesungguhnya?
Hasil penelusuran saya justru mengejutkan, suatu penelitian yang dilakukan oleh Samuel L. Perry, sosiolog dari University of Oklahoma menyebutkan bahwa tingkat relijiusitas seseorang dapat meningkat dikarenakan rasa bersalah dan malu usai menonton video atau film porno. Dalam risetnya, akademisi tersebut bertanya pada 1.300 orang dewasa mengenai dampak menonton film porno (dengan frekuensi berbeda-beda) terhadap tingkat keimanan dan keinginan untuk beribadah.
Secara umum, memang semakin sering orang menonton film porno semakin menurun juga beberapa dimensi yang berkaitan dengan relijiusitas mereka. Tetapi, beberapa dari mereka mengungkapkan hal yang sebaliknya. Menonton film porno dan beribadah (baik melakukan ritual keagamaan atau memposting hal-hal yang bersifat relijius) bisa dikerjakan secara beriringan. Hal ini tidak lain adalah bentuk kompensasi dan bentuk keinginan mereka untuk membayar lunas rasa bersalah tersebut, terutama bagi individu-individu yang menyadari bahwa menyaksikan film porno adalah pelanggaran aturan agama.
Namun, di titik tertentu jika menonton pornografi telah menjadi suatu kebiasaan, mereka tidak lagi merasa bersalah dan menjadikannya sebagai aktivitas sehari-hari layaknya mandi atau menggosok gigi. Sehingga, tidak heran bahwa akun-akun sejenis santai-santai saja mengkritik ulama atau tokoh agama yang ia tidak setujui dan di saat yang bersamaan ia menjadikan tayangan pornografi sebagai hal yang biasa saja untuk dilihat.
Lucunya, ketika banyak orang menegasikan bahwa ia tidak menonton pornografi, hasil riset dan data dari Google menunjukkan hal yang berbeda. Penelitian MacInnis dan Hodson di tahun 2015 memperlihatkan bahwa publik di negara-negara bagian yang menganggap agama sangat penting justru memiliki rating pencarian konten seksual yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang mengaku lebih sekuler. Bahkan laporan dari ExtremeTech menyebutkan bahwa negara mayoritas muslim konservatif seperti Irak dan Mesir masuk 10 besar kategori negara dengan sharing website dewasa terbesar di dunia.
Melihat fakta dan data yang ada, saya kemudian teringat kembali komentar Perry saat diwawancara mengapa manusia bisa menjadi makhluk yang hipokrit dalam konteks beragama dan konten pornografi. Menurutnya, pribadi dengan sikap tersebut mungkin berkata begini,
‘Ok God, I may be disobeying You in this area of my life, but look at all the religious stuff I’m doing over here!’