Menshalati jenazah merupakan salah satu ibadah penting yang diajarkan oleh agama. Dalam menshalati jenazah terdapat keutamaan yang besar terlebih bila dilanjutkan menunggu dan mengiring jenazah hingga selesai dimakamkan. Rasulullah Saw.bersabda :
مَنْ شَهِدَ اَلْجِنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ, وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ”. قِيلَ: وَمَا اَلْقِيرَاطَانِ? قَالَ: “مِثْلُ اَلْجَبَلَيْنِ اَلْعَظِيمَيْنِ” ” مُتَّفَقٌ عَلَيْه
Barang siapa menunggui jenazah hingga dishalati maka ia mendapat satu qirath pahala. Dan barang siapa menunggui jenazah hingga sampai selesai pemakaman maka ia mendapat dua qirath pahala. Ada yang bertanya,”Apakah dua qirath itu?” Rasulullah Saw. menjawab, “sama dengan dua gunung yang besar.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah)
Dalam menshalati jenazah terdapat rasa welas asih dan persaudaraan sesama muslim. Ketika jenazah menuju alam baru dan menghadapi balasan dari semua amalnya, para saudara sesama muslim yang masih hidup berempati dengan melakukan shalat. Di dalamnya kita mendoakan mayit agar diampuni kesalahannya, dirahmati, diluaskan kuburnya, dan diterima oleh Allah Swt. Begitu pentingnya shalat jenazah dalam membantu sesama muslim hingga Rasulullah Saw. bersabda,:
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِالله شَيْئاً إِلاَّ شَفَّعُهُمُ الله فِيه
Tidaklah seorang muslim yang meninggal kemudian dishalati 40 lelaki yang tidak menyekutukan Allah Swt melainkan Allah menerima syafaat mereka atas orang yang meninggal tersebut (HR. Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah dari Ibnu Abbas).
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَب
Tidaklah seorang muslim meninggal kemudian tiga shaf menyalatinya melainkan ia berhak mendapat surga (HR. Abu Dawud)
Shalat jenazah memiliki tata cara dan kesunnahan di antaranya posisi imam ketika menshalati jenazah wanita sejajar dengan bagian tengah (pantat jenazah). Sedang bila menshalati jenazah laki-laki posisinya sejajar dengan kepala jenazah. Hal ini sesuai dengan hadits :
عَنْ أَبِي غَالِبٍ الْحَنَّاطِ قَالَ “شَهِدْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ صَلَّى عَلَى جِنَازَةِ رَجُلٍ فَقَامَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمَّا رُفِعَتْ أُتِيَ بِجِنَازَةِ امْرَأَةٍ فَصَلَّى عَلَيْهَا فَقَامَ وَسْطَهَا وَفِينَا الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ الْعَلَوِيُّ فَلَمَّا رَأَى اخْتِلَافَ قِيَامِهِ عَلَى الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ قَالَ يَا أَبَا حَمْزَةَ هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُومُ مِنْ الرَّجُلِ حَيْثُ قُمْتَ وَمِنْ الْمَرْأَةِ حَيْثُ قُمْتَ ؟ قَالَ نَعَمْ” رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَأَبُو دَاوُد , وَفِي لَفْظِهِ : فَقَالَ الْعَلَاءُ بْنُ زِيَادٍ : هَكَذَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي عَلَى الْجِنَازَةِ كَصَلَاتِكَ يُكَبِّرُ عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَيَقُومُ عِنْدَ رَأْسِ الرَّجُلِ , وَعَجِيزَةِ الْمَرْأَةِ ؟ قَالَ : نَعَمْ
Dari Abi Ghalib al-Hannath, ia berkata, Saya menyaksikan Anas bin Malik menshalati jenazah laki-laki. Ia berdiri sejajar kepalanya. Ketika jenazah tersebut diangkat kemudian didatangkan jenazah wanita, ia menshalati dan berdiri sejajar dengan tengahnya. Di antara kita terdapat Al-‘Alla` bin Ziyad al-‘Alawiy. Ketika ia melihat perbedaan posisi berdiri Anas antara jenazah lelaki dan perempuan, ia bertanya,”Wahai Abu Hamzah (panggilan Anas), Beginikah dulu Rasulullah Saw.? Beliau berdiri dari jenazah lelaki sama dengan posisi engkau berdiri dan berdiri dari jenazah wanita sama dengan posisi engkau berdiri?” Anas menjawab,”Benar.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, At-Tirmidzi,Abu Dawud).
Di antara yang sering menjadi polemik masyarakat adalah posisi kepala jenazah ketika dishalati. Para ulama mutaqaddimin semasa Imam Nawawi ke atas tidak pernah memberi penjelasan tentang ini. Sementara para ulama setelahnya berbeda pendapat mengenai bagaimana posisi yang lebih baik. Menurut para ulama Mesir seperti Syekh Ali Syabramalisi, Syekh Bujairami, Syekh Sulaiman Jamal sebagian besar tubuh jenazah diletakkan di sisi kanan orang yang menshalati. Karena itu bila jenazah wanita kepala diletakkan di sebelah kanan imam (kalau di Indonesia berarti di arah utara) sedang bila jenazah laki-laki diletakkan di sebelah kiri imam (kalau di Indonesia berada di sebelah selatan). Sementara menurut ulama keturunan Yaman seperti Syekh Abdullah bin Ahmad Ba-Saudan, Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafid, Syekh Ismail Zein kepala jenazah baik laki-laki maupun wanita diletakkan disebelah kanan (kalau di negara kita berarti di utara). Syekh Ahmad bin Abdullah Ba-Saudan sebagaimana dinukil Sayyid Alawi As-Saqaf dalam Tarsyikhul Mustafidin mengatakan bahwa diletakkan di kanan imam inilah yang diterapkan oleh mayoritas ulama dan masyarakat di hadhramaut dan lainnya. Selama tidak ada nash (keterangan tegas) yang berbeda dari para ulama mutaqaddimin maka yang telah dilakukan ini yang benar.
Perbedaan tersebut hanya bermuara dalam mana yang lebih baik dan mana yang dihukumi sunnah. Baik kepala jenazah laki-laki diletakkan di utara atau selatan, shalat yang dilakukan tetap sah dan keduanya lebih utama merujuk kepada dua pendapat di atas.
Sumber : Fatawi As-Syahid Ibn Hafid, Qurratul ‘Ain bi Fatawi Ismail Zain, Tarsyikhul Mustafidin.