Ada dua tagar yang tempo hari trending dan cukup menyita perhatian. Pertama, #Menag. Kedua, #JokowitakutFPI. Tagar yang pertama karena harap maklum, menteri Agama yang baru ini bawel banget. Apa aja dia komentari. Dari polemik soal larangan celana cingkrang, larangan cadar, imbauan berdoa dengan bahasa Indonesia, polemik khutbah beliau yang konon ketinggalan rukun shalawat, hingga komentar-komentar offside-nya soal radikalisme di tubuh BUMN, dan bahkan sampai urusan izin FPI yang menjadi domainnya Kemenkumham.
Tagar yang kedua #jokowitakutFPI adalah lantaran pemerintah membuka peluang kembali bagi perpanjangan izin FPI. Hal ini secara eksplisit nampak dari pernyataan mendagri, dan bahkan secara implisit didukung oleh Menteri Agama. Terang saja kemudian ada arus besar kelompok yang tak setuju FPI, sontak memborbardir pemerintah dengan tagar #jokowitakutFPI. Logika netizen sederhana, untuk apa berkoar lantang memberantas radikalisme jika untuk menghadapi FPI saja negara melempem, katanya.
Syahdan. Fenomena di atas menunjukkan kepada kita bahwa ternyata, pasca usai segala macam hingar bingar dan hiruk pikuk pada helat pilpres, rupanya hal ihwal yang berkaitan dengan politik identitas tetap nampak terasa. Dulu banyak pengamat mengira, tensi soal politik identitas akan mereda setelah pilkada DKI dan terpilih Anies Baswedan. Ternyata nyambung lagi hingga pilpres. Menurut para pengamat juga, pasca momentum mesra Jokowi-Prabowo di MRT, tensi politik identitas akan mereda. Namun ternyata, bahkan setelah bergabungnya Gerindra menjadi koalisi pemerintah, lalu Prabowo dengan relatif un-popular mengambil posisi Menhan, perdebatan dengan nuansa politik identitas tak kunjung berakhir pula.
Politik identitas yang dimaksud adalah, peta possitioning pemeluk Agama yang cenderung liberal dengan kelompok konservatif, juga diantara keduanya yakni kelompok moderat. Banyak tesis yang berpendapat bahwa sikap pemeluk Agama soal pemahaman keagamaannya, berbanding lurus dengan sikap politiknya. Dalam beberapa hal, hal ini terkonfirmasi dengan beberapa fakta empirik. Misalnya kelompok yang teridentifikasi Islam Politik, 212, dan mengusung perjuangan umat lebih cenderung mendukung Prabowo. Sementara kelompok yang mendapuk diri sebagai kelompok moderat, atau bahkan cenderung liberal, mendukung Jokowi.
Namun realitas tersebut seakan menjadi kabur karena ternyata setelah usai pertarungan politik, dan bahkan antara dua jagoan yang beradu sudah saling berangkulan, umat tetap punya pendapat masing-masing soal pemahaman keagamaannya, berikut juga pandangan kebangsaannya.
Hal ini membuktikan bahwa, apa yang sudah kadung melekat di dalam kepala masyarakat, berpengaruh besar terhadap konstruksi ide pada sikap dan tindakan mereka. Dalam Teori Propaganda, sesuatu yang sudah merasuk ke alam pikir atau kognisi, lalu membentuk persepsi, berpengaruh langsung terhadap perilaku dan sikap seseorang. Ini lah yang menyebabkan kenapa hiruk pikuk soal politik identitas kunjung usai, sebab cara berpikir masyarakat sudah kadung terbentuk, dan cenderung berkelompok.
Alhasil, politik identitas adalah soal perang pikiran. Apa yang masih berkembang dan terus menjadi perdebatan hari ini boleh jadi adalah sisa perang yang terus berlanjut, padahal antara elit yang bertikai sudah sama sama berbagi harta rampasan. Perang ini boleh jadi ada yang berupaya terus merawat nyala apinya agar pihak yang bertikai terus menjadi kerumunan, sementara hal-hal yang bersifat pembagian kekuasaan bisa diurus oleh segelitir kecil orang.
Terbukti, ada yang ketawa, ada yang kecewa. Dan politik identitas dipakai agar kita terus berkelahi sampai lupa bahwa bekas luka yang kemarin saja belum rampung dibalut perban. Kita kadung terpola untuk saling memberikan julukan “Kaum Bumi Datar, Kaum Sumbu Pendek, Kadal Gurun, bahkan polarisasi picisan Cebong dan Kampret” padahal kita satu bangsa. Ya, satu bangsa yang terbelah dan terkoyak koyak oleh tipu daya dan adu domba.