Politik Masjid dari Era Utsmani Hingga Hagia Sophia Era Erdogan

Politik Masjid dari Era Utsmani Hingga Hagia Sophia Era Erdogan

Politik Masjid dari Era Utsmani Hingga Hagia Sophia Era Erdogan
Presiden Erdogan telah mencabut status Hagia Sophia sebagai museum. Mengembalikannya menjadi masjid.

 Pasca keputusan pengadilan tinggi Turki yang mengabulkan perubahan status Hagia Sophia menjadi masjid, kritikan dan kecaman dari kawasan regional dan internasional mengalir deras ke Ankara. Amerika Serikat, Jerman, Rusia, dan Yunani adalah daftar negara yang merasa sangat kecewa dengan keputusan yang ditandatangani langsung oleh Presiden Turkı Recep Tayyip Erdoğan itu. Uni Eropa pun merasakan kekecewaan serupa dan perlunya peninjauan kembali terhadap status Hagia Sophia.

Selain itu, umat Kristen Ortodoks di seluruh dunia merasa sedih dan mengecam pengubahan status Hagia Sophia pada 10 Juli 2020. Organisasi seperti UNESCO seperti kehilangan daya dan tidak memiliki otoritas untuk menghalangi ambisi Erdoğan. Meskipun demikian, lembaga PBB ini masih akan berusaha untuk membuka ruang dialog dengan pemerintah Turki.

Jika melihat dinamika yang terjadi selama sepekan, sepertinya perbincangan perihal status Hagia Sophia masih akan menjadi porsi yang sangat penting dalam lanskap politik domestik Turki. Presiden Erdoğan dalam wawancara dengan media Anadolu Agency menegaskan bahwa mengubah status Hagia Sophia menjadi masjid merupakan isu kedaulatan dalam negeri. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kecaman dunia internasional yang mengkritik keputusannya tidak bersifat mengikat. Sementara itu, juru bicara kepresidenan Turki Ibrahim Kalin mejelaskan bahwa siapapun boleh mengunjungi Hagia Sophia dan hal tersebut adalah bukti Turki menghargai keberagaman keyakinan beragama.

Otoritas Turki telah mengkonfirmasi bahwa Masjid Hagia Sophia secara resmi akan menggelar shalat berjamaah pada tanggal 24 Juli 2020 sekaligus untuk mengingat peristiwa Perjanjian Lausane.

 

Masjid Sebagai Simbol Politik

Soner Cagaptay (2017) dalam karyanya, ‘The New Sultan: Erdoğan and The Crisis of Modern Turkey’ mencatat bahwa kaum Islamis yang mengikuti jejak Necmettin Erbakan ke dalam jalur politik—salah satunya adalah Erdoğan—memperoleh pandangan dunia yang berbeda dan mendalam dari komunitas spiritualnya.

Necmettin Erbakan merupakan salah satu tokoh konservatif yang sangat berpengaruh dalam lintasan sejarah politik Turki modern. Ia pernah mendirikan beberapa partai politik, di antaranya adalah Milli Selamet Partisi (MSP-National Salvation Party) pada Oktober 1982. Ideologi partai ini berusaha mengawinkan Islam dengan nasionalisme Turki. Erbakan adalah figur guru bagi beberapa politisi Turki yang menentang modernitas nilai-nilai sekulerisme Barat melalui gerakan Milli Görüş.

Selain MSP, Erbakan juga menginisiasi pendirian Refah Partisi (Partai Kesejahteraan), dan Saadet Partisi sebagai kelanjutan dari gelombang penentangan arus sekulerisme Turki yang masih setia dengan nilai tradisionalis—kelompok ini kemudian dikenal sebagai faksi gelenekçiler (tradisionalis).

Sementara itu, Erdoğan yang saat itu memiliki pandangan berbeda—selanjutnya kelompok ini dikenal sebagai faksi reformis (yenilikçiler)—terutama perlunya kompromi dengan melakukan reformasi nilai partai khususnya bersikap lebih lunak terhadap sistem demokrasi dan membangun hubungan dengan negara-negara Barat. Melalui langkah ini, Erdoğan mendirikan partai AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi, Partai Keadilan dan Pembangunan) pada tahun 2001 yang sampai hari ini menjadi kendaraan politiknya.

Lebih lanjut, Cagaptay menjelaskan para elit partai MSP adalah anggota Masjid Iskenderpasa yang berada di distrik Fatih, Istanbul, yang dipimpin oleh Syekh Sufi Mehmet Zahid Kotku. Di sinilah orang-orang ini mengembangkan dan menyempurnakan visi alternatif mereka untuk negara dan masyarakat di Turki. Akar komunitas mereka sangat dalam dan selalu dijauhi oleh kelompok Kemalis.

Masih menurut Cagaptay, komunitas Sufi berevolusi untuk memenuhi keadaan baru republik. Setelah pondok-pondok sufi ditutup, para syekh bertemu dengan komunitas mereka secara informal, di taman-taman masjid atau di rumah-rumah pribadi. Banyak yang mengambil posisi sebagai imam yang ditunjuk negara di masjid-masjid dengan diam-diam menjalankan peran sufi mereka juga. Kotku, sang imam masjid Iskenderpasa, berasal dari tradisi sufi tersebut.

Selama masa jabatan Kotku, yang dimulai pada tahun 1952, pondok Iskenderpasa menjadi miliknya sendiri sebagai tempat persekutuan bagi para profesional dan pengusaha konservatif berpendidikan Imam Hatip dan lainnya. Umumnya mereka merasa terasing dalam kehidupan publik sekuler Istanbul yang dipengaruhi modernitas Eropa.

Pada zaman Usmani, keberadaan masjid sangat penting sebagai sebuah afirmasi atas otoritas sultan dan menyimbolkan patronase elit. Tidak mengherankan, banyak nama masjid di Istanbul diambil dari nama sultan yang mewakafkannya. Masjid memainkan peran penting, bukan hanya sebagai sarana ibadah tetapi juga dalam kehidupan politik. Keberadaan masjid menjadi simbol eksistensi bagi sultan-sultan Usmani. Kemampuan sultan dan elite-elite negara dalam menyediakan sarana ibadah bagi masyarakat sangat esensial dalam merawat legitimasi politiknya (Frial Ramadha Supratman: 2019). Inisiatif serupa dilakukan juga oleh Sultan Fatih dalam mengembangkan pembangunan di Ayasofya dengan membangun madrasah di lingkungan masjid.

Dengan demikian, pengaruh sultan sangat kuat dan menjadi sebuah warisan yang abadi hingga saat ini. Trajektori sejarah mencatat bahwa dimensi sosial ekonomi Istanbul pada era Usmani berbasis pada pengelolaan sistem wakaf.

Di dalam wilayah Usmani, tanah wakaf bisa mencapai seluas 20% dari wilayah Usmani (Hanioğlu, 2008: 20). Tanah ini yang akan dijadikan sumber pemasukan bagi pelayanan sosial, seperti pembangunan imaret, yaitu bangunan yang berguna bagi pelayanan sosial yang terdiri dari masjid, madrasah, rumah sakit, penginapan (misafirhane), kanal air, jalan, jembatan, dan kemudian dibangun juga beberapa bangunan yang dapat menciptakan pemasukan seperti Pasar dan hamam. Biasanya tanah wakaf dimiliki oleh sultan, keluarganya dan para elite negara sehingga mereka biasanya banyak membangun imaret yang diabadikan dengan nama mereka (Frial Ramadhan Supratman: 2019).

Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa sistem wakaf secara langsung telah memberikan dampak pembangunan sosial politik yang sangat signifikan bagi warga Istanbul. Hal ini sekaligus menjadi warisan luhur yang menjadi ciri khas kesejahteraan sosial pada era Usmani. Salah satu yang menarik dari penerapan kebijakan wakaf adalah masifnya pembangunan masjid-masjid yang terdapat di beberapa eyalet (wilayah besar), khususnya di Istanbul.

Dalam artikelnya, ‘Waqf System and Socio-Economic Activities in Istanbul In The Classical Ottoman Period’, Frial mencatat bahwa pengorganisasian atas tanah merupakan kebijakan penting bagi Usmani. Sebab, sumber pendapatan terbesar Usmani berasal dari produksi pertanian dan pajak. Negara Usmani mengakui tiga bentuk kepemilikan tanah. Pertama, tanah swasta milik Muslim (Öşri); kedua, tanah swasta milik non-Muslim (Haraci), dan tanah yang ditaklukkan oleh negara (Mirri), namun, dua jenis tanah yang pertama cukup jarang ditemui. Kebanyakan tanah adalah tanah milik negara (Mirri).

Secara ringkas, mayoritas properti adalah milik negara. Sedangkan petani hanya dianggap sebagai penyewa. Bahkan, fatwa dari Ebu Suud Efendi, Seyhulislam pada abad ke-16, menyatakan bahwa semua tanah adalah milik negara (Hanioğlu, 2008: 20 dalam Frial Ramadhan S: 2019).

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa melalui otoritas baik secara de facto maupun de jure, dominasi negara atas kepemilikan tanah pada era Usmani sangatlah kuat khususnya untuk pengelolaan sistem wakaf.

 

Masa Depan Sekulerisme Turki

Selim Koru melalui kolomnya ‘Turkey’s Islamist Dream Finally Becomes a Reality’ yang dimuat di The New York Times menguraikan ihwal euforia pasca Hagia Sophia ditetapkan kembali sebagai masjid. Ia menjelaskan, circa 1950, kelompok Islamis dan romantisme pan-Turki mulai berkampanye untuk pembukaan kembali Hagia Sophia. Mereka percaya bahwa republik sekuler, jauh dari menyelamatkan kedaulatan Turki, melukainya dalam arti yang paling dalam dan republik sekuler telah menjual jiwanya kepada modernitas Barat.

Ungkapan paling jelas dari pandangan ini disampaikan oleh Necip Fazil Kisakurek, penyair dan polemis Islam paling terkemuka di Turki pada 29 Desember 1965 dalam helatan konferensi di Hagia Sophia. Kisakurek mengatakan bahwa keputusan untuk mengubah struktur Hagia Sophia menjadi museum adalah upaya untuk “menempatkan spirit orang Turki di dalam museum.”

Dalam sesi wawancara yang dihelat oleh BBC, novelis Turki yang juga peraih nobel bidang sastra, Orhan Pamuk, menuangkan rasa kekecewaannya terhadap kebijakan populis Erdoğan. Menurutnya, “mengubah Hagia Sophia kembali menjadi masjid sama dengan ingin mengatakan kepada seluruh dunia. Sayangnya, kami tidak sekuler lagi. Ada jutaan orang Turki sekuler seperti saya yang menangis menentang hal ini, tetapi suara mereka tidak didengar”.

Menurut Mustafa Akyol, ahli kajian Islam dan modernitas, bagi kaum konservatif agama Turki “mengubah Hagia Sophia adalah momen terakhir. Mereka percaya pada apa yang mereka sebut ‘right sword’—hak Ottoman untuk mengubah gereja menjadi masjid sebagai hasil penaklukkan.

Barangkali, hari ini tipologi sekularisme asertif masih bertahan dalam masyarakat Turki dengan aktor utamanya para Kemalist—kelompok yang memegang teguh enam prinsip ajaran Mustafa Kemal Ataturk dalam setiap ritus sosial politik; sekulerisme, nasionalisme, republikanisme, statism, populisme, dan reformisme (Nilüfer Göle: 2000)—tetapi perlahan kekuatan tersebut semakin mendapatkan perlawanan yang kuat dari kelompok konservatif dan liberal Turki yang terus berusaha mempromosikan sekulerisme pasif (Kuru: 2007).

Patut dipahami bahwa kelompok Kemalist memiliki visi yang sangat cemerlang tentang Turki yang sekuler. Lewis mengafirmasi pernyataan Niyazi Berkes yang menyatakan bahwa reformasi kelompok Kemalist bermakna peminggiran dan eliminasi peradaban Islami dan berusaha meleburkannya menjadi bagian dari peradaban Barat (Lewis: 1968).

Isyarat tersebut setidaknya tersirat dalam pernyataan Orhan Pamuk dan Akyol. Pada sisi lain, walikota Istanbul Ekrem İmamoğlu sebagai representasi politik CHP (Cumhuriyet Halk Partisi-Partai Rakyat Republik) cenderung mendukung kebijakan Hagia Sophia menjadi masjid selama hal tersebut memberikan kemakmuran dan keuntungan bagi Republik Turki.

Maka pada konteks kiwari, tidak berlebihan jika status Masjid Hagia Sophia akan menjadi pemantik baru dalam wacana pembacaan pertarungan ideologi antara kelompok sekuler dengan konservatif di Turki pada masa yang akan datang.