Polemik panas terkait pilkada DKI Jakarta telah menyeret sedemikian banyak hal, termasuk lembaga kegamaan dan isu SARA (Suku, Agama dan Ras). Yang lebih mencengangkan, beberapa kalangan menilai bahwa itu adalah hal biasa. Lebih dari itu, sebagian bahkan menyatakan tentang perlunya politik SARA diberi ruang yang lebih terbuka di Indonesia. Apa yang terjadi dalam negara yang telah lebih lama berdemokrasi seperti Amerika Serikat (AS) tak luput dijadikan rujukan untuk mendukung argumen yang cenderung membolehkan politik SARA sebagaimana dikemukakan oleh Saudara Denny JA dalam tulisannya berjudul ‘MUI, Ahok, dan Pilpres Amerika’.
Meski pandangan yang cenderung “serba boleh” te MUI, Ahok dan Pilpres Amerika ”tersebut seringkali diakhiri dengan peringatan tentang pentingnya koridor hukum yang jelas untuk mengatur artikulasi politik yang bernuansa SARA, namun poin terakhir ini sering kali kurang mendapat perhatian sepatutnya. Atau, poin tersebut hilang tersapu oleh riuh rendah polemik yang sedang terjadi di Jakarta. Di sinilah perlunya kehati-hatian dalam membicarakan kembali politik SARA, khususnya menyangkut agama dan lembaga keagamaan.
MUI dan Polemik Politik Jangka Pendek
Saya ingin memulai tulisan ini dari fatwa yang baru-baru ini dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dengan pernyataan Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama di Kepulauan Seribu beberapa saat lalu. Salah satu poin utama dalam fatwa tersebut menyatakan bahwa pernyataan Basuki Purnama terkait surat al-Maidah ayat 51 dinilai mengandung unsur penghinaan terhadap Islam.
Sebagian kalangan umat Islam yang sepandangan dengan fatwa tersebut mendukung tindakan MUI. Tindakan tersebut dinilai mewakili aspirasi politik umat Islam. Selain itu, mereka berpandangan bahwa tidak ada yang salah jika suatu lembaga keagamaan seperti MUI menyatakan pandangan tertentu terkait peristiwa politik, selama itu disampaian dengan cara yang baik.
Pada prinsipnya, apa yang disampaikan para pendukung fatwa MUI tersebut ada benarnya. Namun dalam konteks kekinian Jakarta, khususnya menjelang pilkada 2017, cara pandang ini menunjukkan ketidakhati-hatian dalam menilai sikap MUI dan panasnya atmosfer pilkada DKI. Memperhatikan waktu pengeluaran fatwa tersebut di atas, MUI telah terjebak dalam polemik politik jangka pendek terkait pemilihan kepala daerah.
Pandangan saya ini berangkat dari harapan agar MUI sebagai lembaga ulama lebih bisa menjaga wibawanya, dengan tidak terjebak pada isu-isu politik jangka pendek. Sebagai lembaga yang mengklaim sebagai wadah komunikasi beragam aliran keagamaan dalam Islam, MUI semestinya sadar bahwa ada perbedaan pandangan di kalangan ulama terkait tafsir terhadap surat al-Maidah ayat 51, yang berujung pada perbedaan pandangan dalam memahami pernyataan Basuki Purnama. Jika sebagian menganggap pernyatannya mengandung unsur penghinaan agama, kalangan lain menilai tidak ada unsur penghinaan agama dalam pernyataan Basuki Purnama.
Dari pada mengeluarkan fatwa yang mendukung satu pandangan sembari mengabaikan tafsir yang lain, yang dalam konteks saat ini justru memperuncing perpecahan di kalangan umat Islam, alangkah baiknya MUI berkonsentrasi pada isu-isu besar yang secara mendasar menyentuh kesejahteraan umat Islam (dan juga agama lain). Di Jakarta, ini menyangkut isu-isu besar seperti banjir dan akses air bersih, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, kemacetan, konflik tanah, kesejahteraan buruh dan pedagang kecil, hubungan mayoritas-minoritas, dan persoalan-persoalan besar lainnya.
Perlu dicatat, bahwa MUI didirikan adalah untuk menjadi wadah silaturahmi para ulama dari beragam aliran keagamaan yang ada dalam Islam. Jika MUI mengeluarkan fatwa tanpa memperhatikan perbedaan pandangan antara aliran keagamaan yang berbeda ini, MUI justru telah mengingkari semangat awal berdirinya sendiri, dan berubah menjadi wadah ulama satu aliran keagamaan tertentu. Oleh karena itu, untuk menjaga wibawa MUI sebagai lembaga ulama, saya sangat berharap MUI dapat teguh dan konsisten menjaga khittah awal MUI tersebut.
Perbedaan Indonesia dan Amerika
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah perlunya kehati-hatian dalam menggunakan negara lain sebagai rujukan untuk berdemokrasi. Dengan merujuk kepada demokrasi di Amerika Serikat (AS), sebagian kalangan berpandangan bahwa politik SARA adalah hal yang boleh dan biasa. Dalam konteks pemilihan presiden di AS saat ini, misalnya, politik berbau SARA dapat ditemukan dalam pernyataan terbuka organisasi kegamaan tertentu seperti the American Renewal, yang mendukung Donald Trump karena dinilai lebih mewakili nilai-nilai keagamaan mereka dibanding lawannya, Hillary Clinton.
Berdasarkan hal tersebut, dinyatakan bahwa politik SARA semestinya bukan barang tabu dalam iklim demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, jika kita periksa lebih cermat, cara pandang ini terlihat kurang hati-hati dalam melihat dinamika politik di AS, dan membandingkannya dengan dinamika politik di Indonesia. Di Amerika, persaingan antara Hilary Clinton dan Donald Trump tidak melibatkan kandidat dengan latar belakang agama yang berbeda. Kedua-duanya masih dari satu agama yang sama, yakni Kristen, yang menjadi agama mayoritas di AS.
Ini berbeda dengan persaingan yang terjadi di pilkada Jakarta, yang melibatkan calon petahana yang beragama Kristen dengan Anies Baswedan dan Agus Yudhoyono yang masing-masing beragama Islam. Jika Islam adalah mayoritas, Kristen sebaliknya menjadi agama minoritas di Indonesia.
Jika ingin melakukan perbandingan yang lebih adil, semestinya kasus pilkada Jakarta dibandingkan dengan kasus persaingan antar kandidat dengan latar belakang agama yang berbeda. Politik SARA yang dijadikan pokok perbandingan semestinya juga menyangkut isu politik antar agama berbeda. Masih merujuk ke AS, satu pertanyaan sederhana dapat diajukan: Apa yang terjadi jika ada seseorang dari agama minoritas, misalnya Islam, mengritik sikap keagamaan sebagian penganut agama mayoritas di Amerika Serikat di tengah-tengah panasnya pemilihan gubernur atau presiden di negara tersebut?
Karena ini sebatas pengandaian, jawabannya bisa beragam, tergantung isu apa yang diungkap, dalam konteks apa, dan siapa yang melakukannya. Namun yang jelas, menyamakan pilkada DKI dan pilpres AS adalah tindakan yang kurang berhati-hati. Selain perbedaan mencolok sebagaimana saya kemukakan di atas, cara pandang tersebut mengabaikan beberapa hal berikut.
Terkait dengan dampak politik SARA, seseorang bisa saja membela pandangannya dengan menyatakan bahwa negara Amerika toh tidak hancur atau runtuh akibat model kampanye berbau SARA yang dilakukan oleh sebagian lembaga kegamaan. Namun sebagaimana dikemukakan di atas, polemik berbau kegamaan terkait persaingan antara Hillary Clinton dan Donald Trump di AS tidak sama dengan politik SARA yang muncul dalam konteks pilkada Jakarta.
Selain itu, terkait dengan konteks politik AS sekarang, paling tidak kita bisa melihat bagaimana pandangan politik calon presiden yang didukung oleh lembaga keagamaan sayap kanan seperti the American Renewal telah menimbulkan banyak persoalan. Tanpa mengesampingkan sikap agresif Donald Trump terhadap minoritas, debat kedua antara Hillary Clinton dan Donald Trump beberapa saat kemarin dinilai merupakan debat presiden paling brutal dalam sejarah pemilihan presiden di AS.
Lebih dari itu, sikap politik Donald Trump dinilai berkontribusi terhadap perpecahan akut dalam partai pendukungnya, Partai Republik. Saking akutnya perpecahan itu, bebarapa ilmuwan politik di AS bahkan berpandangan bahwa Partai Republik baru bisa pulih kembali dari perpecahan itu dalam jangka waktu sekitar 80 hingga 100 tahun kedepan.
Hal ini memang tidak secara langsung disebabkan oleh keberadaan kampanye berbau SARA dalam konteks Amerika. Namun, jika bermaksud melakukan perbandingan yang adil antara pilkada Jakarta dan pilpres Amerika, beberapa hal tersebut paling tidak perlu mendapatkan perhatian yang semestinya.
Sebagai penutup, beberapa hal di atas menunjukkan bahwa pandangan-pandangan yang cenderung “serba boleh” terhadap politik SARA sebagaimana mengemuka akhir-akhir ini mengandung banyak persoalan serius. Persoalan tersebut terletak tidak hanya pada pokok pandangan itu sendiri, melainkan lebih mendasar berakar pada bangunan logika yang dipakai untuk mendukung argumentasinya. Oleh karena itu, untuk kebaikan bersama, semoga kita bisa lebih berhati-hati dalam menyikapi polemik politik terkait isu SARA.
Iowa, USA – 14 Oktober 2016
Sirojuddin Arif, Mahasiswa pada Dept. Ilmu Politik, Northern Illinois University, dapat dihubungi melalui email: [email protected]