Kampanye politik selalu digerakkan oleh cerita, dan rumusan klasiknya jelas: mengusik hal-hal emosional mendasar dari manusia. Tema paling banyak diulang adalah tentang harapan dan ketakutan. Harapan selalu menarik, membuat manusia bersemangat, ada cahaya terang di balik awan mendung yang gelap. Philip Seargeant, penulis The Art of Political Storytelling (2022) mengatakan pada kampanye presiden Amerika Serikat di tahun 2004, Barrack Obama memakai resep ini.
Obama sebelumnya pernah menulis sebuah pidato yang mengesankan, Audacity of Hope, yang kelak menjadi judul buku biografi politiknya setelah dia menang pemilu. Inti ceritanya sederhana: bagaimana seorang anak blasteran kulit hitam yang ceking itu bisa mendapat tempat yang sama di Amerika yang dia cintai. Adakah seorang bocah pinggiran seperti dia yang besar dalam iklim sentimen rasis, bisa berhasil di Amerika?
Obama menjadi pengacara sukses dan dia yakin Amerika selalu membuka banyak pintu bagi siapa saja yang mau bekerja keras dan menghormati perbedaan. Dari sana Barry, nama kecil Obama, menceritakan tentang Amerika yang sakit, masyarakat yang terbelah, namun punya kekuatan besar untuk bangkit. Dia menyuntikkan harapan baru, dan masyarakat Amerika jatuh cinta kepada anak dari ayah yang berdarah Kenya itu.
Dua belas tahun sebelum Obama, Bill Clinton pakai jurus yang sama. Dalam kampanyenya dia membuat sebuah film pendek berjudul The Man from Hope. Clinton bercerita tentang masa kecilnya di mana “rumah para tetangga tak berpagar, dan sangat menyenangkan”, sebuah potret Amerika yang ramah. Narasi yang dia bangun cukup mengena: seorang anak yatim dari kota kecil yang masa remajanya disia-siakan oleh ayah tirinya, namun tak patah semangat dan berjuang keras untuk bisa berhasil mewujudkan mimpi, dan Amerika memberikan kesempatan kepadanya. Pada pidato politiknya Clinton mengatakan Amerika hanya butuh menjaga kebersamaan, sebuah persatuan yang mengawetkan nilai-nilai American Dream. Dan dia memberikan harapan tentang Amerika yang baru dan menyenangkan di masa depan.
Tak banyak yang bisa dicontoh dari bagaimana memainkan “ketakutan” sebagai resep mendapatkan persetujuan berkuasa. Pada Pemilu DKI 2017 yang lalu kita melihat “fear” ditiupkan, bahaya kafir dan bahaya radikal Islam datang silih berganti, dan formulasi itu sedikit banyak berhasil menghimpun dukungan meskipun menyisakan luka yang panjang. Di Jerman pada masa Perang Dunia Kedua, “fear” pernah jadi formula mengerikan dengan mengulang bahaya konspirasi Yahudi yang mengancam kebangkitan Jerman. Kita tahu apa yang terjadi pada Jerman di bawah Hitler: pembantaian massal keturunan Yahudi.
Harapan dan ketakutan adalah bagian dari naluri alamiah hidup manusia, keduanya berkaitan dengan kehendak untuk bertahan hidup. Bahkan agama memberikan narasi tentang dua hal itu untuk mengingatkan manusia tentang perjalanan hidup mereka. Dua reaksi psikologis ini adalah bersifat imanen, dan akan terus bersama manusia dalam bentuk yang berbeda dari zaman ke zaman. Bukan hanya pada politik tapi juga ekonomi dan segi kehidupan lainnya. Apakah sesungguhnya yang menggerakkan grafik di pasar bursa jatuh dan bangun selain sentimen ketakutan dan harapan?
Harapan tetap menjadi rumus yang positif dan mengesankan. Saya teringat Suharto, pemimpin Orde Baru yang sebetulnya tak butuh kampanye politik di tengah pemilu yang pura-pura, namun juga membangun narasi yang maunya simpatik: seorang anak miskin dari Desa Kemusuk,Yogyakarta, yang berjuang melawan Belanda dan “ditakdirkan” menjadi penguasa republik menggantikan Sukarno setelah huru-hara politik.
Para pemimpin Indonesia setelah Suharto juga meniti jalan yang sama. SBY tampil dengan slogan “Bersama Kita Bisa”, dan menghadirkan frasa “perubahan” sebagai kata-kata penting dalam kampanye politik. Indonesia yang baru saja masuk dalam turbulensi politik dan ekonomi pasca reformasi membutuhkan sosok seorang jenderal yang dekat dengan gagasan perubahan, dan SBY memenuhi syarat untuk itu. Dia menang pada Pemilu 2004.
Presiden Joko Widodo punya cerita yang sama pada Pilpres 2014, dan dia lebih tajam lagi merangkum narasi reformasi, bahwa seorang anak orang biasa yang bekerja sebagai pengusaha furnitur, dan rumahnya pernah digusur paksa, bisa menjadi seorang walikota, gubernur dan kemudian presiden.
Pada kampanye itu, Jokowi memberikan harapan besar bahwa Indonesia Baru hasil reformasi 1998 memungkinkan siapa saja menjadi pemimpin nasional, meski ia bukan darah biru kroni atau dinasti elit politik. Mantra politik Jokowi begitu kuat dengan “Jokowi adalah Kita” sehingga dengannya dia merangkum semua aspirasi tentang “Kita”, tentang rakyat yang sulit mendapat tempat dalam
panggung politik, dan Indonesia yang harus berubah dengan kerja keras.
Kita tak tahu narasi apa yang akan terbangun di 2024. Rumusan klasik harapan dan ketakutan rasanya akan terus muncul di belahan dunia manapun. Termasuk nanti di sini, di Indonesia.
*) Nezar Patria, lulusan LSE, London.