Poligami menjadi isu publik yang belakangan santer diperbincangkan oleh khalayak ramai. Isu poligami bukanlah sesuatu hal yang tabu dan aneh di masyarakat. Praktek poligami sudah sejak lama dikenal oleh kaum jahiliyah yang tidak hanya beristri satu, dua dan sebagainya bahkan lebih dari hitungan tersebut. Namun, munculnya tren poligami saat ini dirasa disalahartikan oleh pihak tertentu untuk kepentingan sesaat.
Isu poligami telah menjadi wabah tren sosial yang berkembang di masyarakat dengan asumsi untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti hubungan perzinaan dan sebagainya. Poligami dihukumi sebagai sesuatu yang ‘boleh’ meski tidak melalui pendiskusian terhadap istri yang bersangkutan (sah). Pemaknaan tersebut jelas salah kaprah dan merupakan praktek poligami yang melanggar ketentuan agama.
Makna poligami bukan sekedar soal hubungan senggama namun ada nilai ibadah yang harus diperhatikan dengan seksama. Tak sedikit pihak yang terjebak pemaknaan tunggal pada gairah seksualitas sehingga pikiran yang tersemat hanya kesenangan belaka. Di lain itu, cara berpoligami secara sembunyi merupakan bentuk lain dari kelainan atau semacam gangguan psikologis yang menyebabkan pelakunya merasa ada ketakutan tertentu. Sehingga, perasaan khawatir tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dalam waktu yang lama.
Kesan poligami menjadi transaksional ketika praktek poligami berkenaan soal materi, kepangkatan dan kekuasaan. Sesuatu yang tidak pantas jika ukurannya pada kepuasan sesaat dan ketidaksiapan untuk bersikap adil. Keretakan hubungan dalam rumah tangga menjadi konsekuensi atas praktek poligami ilegal dan kemungkinan timbulnya peluang konflik kekerasan baik secara fisik atau non fisik sudah barang tentu terjadi.
Presentase memaknai poligami secara murni sebagai nilai ibadah sangat kecil nilainya. Hal itu dikarenakan bahwa tidak semua orang mampu mengesampingkan egoisme sesaat untuk berlari jauh dari imajinasi hormonal. Orientasi seksualitas menjadi sesuatu yang materialistis (keduniawian) karena monoton mempersepsikan wanita sebagai objek pelampiasan sesaat.
Hakekat manusia yang tidak mudah puas dan terpuaskan akan sesuatu menjadikannya sulit bersikap adil. Gamang akan banyak hal dan cenderung bersikap melampaui titik batas. Sehingga, sesuatu yang dianggapnya menguntungkan sesuai misi pribadi akan dikejar meski dengan cara sembunyi-sembunyi.
Semangat berpoligami semakin bergeliat di berbagai situs jejaring media ataupun aplikasi yang sangat mudah diakses oleh masyarakat luas. Ajakan berpoligami tidak memberikan ketentuan yang rumit, tidak tersentral pada lingkup yang terbatas dan memudahkan pelakunya terhubung pada koneksi yang luas. Kemudahan ini sengaja dibuat untuk menjembatani pihak yang merasa takut berbuat zina, asusila dan penyimpangan lain.
Keberadaan situs aplikasi poligami justru menuai banyak persoalan karena dinilai rentan terhadap penyimpangan sosial dan kejahatan yang terstruktur. Pasalnya, hal ini tak jauh beda dengan pola marketing prostitusi online yang sangat mudah dijangkau secara luas dan bebas. Prahara hubungan rumah tangga akan menjadi pertaruhan karena secara diam-diam pihak suami/istri dengan mudah melakukan praktek persekongkolan (perselingkuhan) dengan mengatasnamakan poligami sebagai jalan menuju sunnah nabi. Selain itu, akadnya pun mudah dan wali hakim bisa diatur sesuai pesanan.
Islam memberikan tawaran solutif terhadap kemungkinan munculnya sesuatu yang menimbulkan madharat besar. Poligami bukanlah sesuatu yang haram namun alangkah baiknya apabila tidak mampu bersikap adil (tegak lurus) cukup dengan monogami. Sebuah anjuran sederhana yang dapat menolong seseorang dari jurang kenistaan dan kehancuran.
Ada banyak kisah yang memperlihatkan praktek poligami yang baik (sesuai ketentuan) namun tak sedikit kisah yang memperlihatkan kesengsaraan. Sebuah kisah pilu ketika seseorang wanita dinikahi secara siri dalam kurun waktu beberapa tahun, sudah memiliki anak dan ditutup rapat statusnya supaya pihak istri yang sah tidak mengetahuinya. Alkisah, karena ada persoalan tertentu wanita tersebut diceraikan hanya lewat tulisan yang mengalir dari pesan singkat. Lalu apa yang terjadi ? keputusan yang sepihak telah menghancurkan kehormatan seseorang dan merusak masa depan.
Sesuatu yang dipikir matang belum tentu hasilnya sesuai harapan. Tak perlu menjebak seseorang dengan dalil dan dalih sunnah nabi jika berlaku adil terhadap diri sendiri masih belum mampu. Poligami bukan melulu soal kepuasan batin melainkan ada nilai pendidikan yang tersematkan. Maka dari itu, hanya orang yang waspada dan ingat terhadap tuhanNya yang selamat dari mara bahaya (kemurkaan).
Praktek poligami yang salah hanya menambah inventaris masalah. Ada pihak yang merasa dikecewakan dan diperlakukan semena-mena sehingga nilai kemanusiaannya terbilang rendah. Poligami yang disalahartikan akan menampilkan citra buruk Islam karena bisa dimaknai sebagai ruang transaksi seksual. Para pelaku poligami lebih banyak didominasi kalangan muslim sehingga bagaimana pun juga peran agama menjadi sesuatu yang tetap disoroti publik.
Mustaq Zabidi, Penulis adalah Pegiat di Solo Reform Institute dan Kader muda GP Ansor Kota Surakarta.