Sebenarnya penulis berharap KRT Faqih Wirahadiningrat yang memberikan sanggahan. Namun, saat merilis tiga tulisan di RMINU Banten, ia hanya menyanggah satu tema saja dalam diskusi tes DNA (tentang keturunan Imam Musa Al-Kadzim versi tes DNA).
Selain itu, tak jelas ia sedang membicarakan (si)apa, ngelantur apa, atau menyinggung siapa. Bahkan pada tulisan terkini, ia malah menyerahkan urusan kepada orang lain sebagai “mandataris”. Apa?
Di mana keberaniannya saat membatalkan silsilah Baalawi lewat tes DNA di semua video yang beredar? Kenapa malah dialihkan? KRT Faqih berbuih-buih membicarakan hasil tes DNA tanpa kredensi (?), namun saat “diladeni” malah menyerahkannya ke orang lain (yang dia anggap lebih kompeten, yaitu Dr. Sugeng Sugiharto). Ini lucu.
Tulisan yang akan Anda baca adalah serial ketiga, setelah dua tulisan sebelumnya menakar akurasi tes DNA sebagai tolok ukur pembatalan silsilah sebuah kabilah: “Bantahan untuk Kiai Imaduddin dan KRT Faqih Wirahadiningrat: Jawaban Empat Tulisan Sekaligus“, dan “Untuk Kiai Imaduddin dan KRT Faqih Wirahadiningat: Tes DNA sebagai Dalil?”
Dan kali ini penulis tujukan kepada Dr. Sugeng Sugiharto, dalam menanggapi tulisannya di Community YouTube: Kritik untuk Rumail Abbas dan Kritik II untuk Rumail Abbas.
Alat Baca Penulis
Ilmu sejarah adalah sains. Begitupun, ilmu statistik adalah sains. Semua orang mengetahui itu dengan baik (bahkan Dr. Sugeng tidak keberatan jika penulis mengkonfrontasi hasil analisanya dengan statistik dan bukti historis).
Untuk dialog nasab, penulis hanya memiliki kredensi dan profesional untuk dua “peralatan” (baca: tools) tersebut saja: sejarah dan statistik.
Penulis berprofesi sebagai programmer yang mewajibkan penguasaan “bahasa Java”, menggunakan framework PHP seperti Laravel untuk bekerja, dan tentu saja Python. Bahkan di masa kuliah, SPSS adalah perangkat lunak yang cukup akrab. Penulis mengandalkan kemampuan profesional tersebut untuk membaca filogeni yang disodorkan Dr. Sugeng dan KRT. Faqih Wirahadiningrat.
Di samping itu, penulis memakai tools sejarah dalam “menghadang” filogeni DNA dengan bukti-bukti historis untuk mengukur seakurat apa hasilnya. Sekadar menyebut rekam jejak, penulis adalah santri yang mondok cukup lama dan sangat tidak asing dengan kitab kuning (alumni Kudus dan Sarang).
Tepat di sini penulis hendak menepis anggapan muhibbin Dr. Sugeng bahwa penulis telah menerabas pagar akademik dengan sok tampil sebagai “ahli DNA”, kenapa?
Karena penulis hanya membaca bagan filogeni yFull dan FamilyTreeDNA (FTDA) memakai tools statistik dan tools sejarah (bahkan penguasaan matematika dasar pun bisa membacanya!).
Jadi, semua catatan penulis tentang tes DNA adalah pembacaan seseorang yang menguasai matematika dasar yang sedang mengonfrontasikan hasil tes DNA itu dengan bukti-bukti historis (sumber tradisional muslim).
Jelas, ini bukanlah kerja-kerja “ahli DNA & biomolekuler” sama sekali, tapi pekerjaan mas-mas statistik biasa.
Kalkulasi Matematis
Saran: ada baiknya mengunduh seluruh sampel yang diperlukan, dari Bani Ibrahim, Adnani, Quraishi, dan Hasyimi supaya relate dengan penjelasan statistik yang penulis urai berikut ini.
Ada delapan macam jurnal yang disodorkan Dr. Sugeng, dan penulis akan menyanggah beberapa hal yang menjadi highlight. Tentu, penafsiran Dr. Sugeng terhadap jurnal tersebut (di dalam penerapan di situs testing) yang akan penulis sorot.
Secara teori, Dr. Sugeng menyandarkan perhitungan mutasi 2000 tahun ke bawah (bahkan lebih dari itu) sebagai fenomena biologis yang masih memungkinkan untuk dijelajah. Seperti leluhur haplogroup M201, yaitu: G, terbentuk 48.500 tahun lalu, dengan TMRCA 25.200 (sumber: https://www.yfull.com/tree/G/).
Penerapan Dr. Sugeng pada yFull, menyandarkan teorinya pada “a recent bottleneck of Y chromosome diversity coincides with a global change in culture“, menyimpulkan mutasi genetik haplogroup-G baru akan terjadi setelah:
(1 x 10^9)/0.73=136.986.301 tahun
Artinya, jangankan mencari keturunan biologis G sepanjang 2000 tahun, mencari sampai generasi 137 juta tahun sejak G terbentuk pun masih sangat memungkinkan. Dan dengan arti lain, keturunan biologis berhaplo-G tidaklah mungkin menjadi keturunan biologis dari seorang leluhur yang berhaplo-J.
Penulis menduga ada kesengajaan Dr. Sugeng dalam mengusung G-M201 sebagai sampel, dan paling tidak termotivasi dua hal:
Pertama, (beberapa) sampel Baalawi berada dalam sub-clade G-M201.
Sekadar menulis kit number mereka berdasarkan nama/kabilahnya: IN89146 (Al-Habsy, KSA), 27012 (Al-Sharif Quraishi, KSA), M9523 (Baalawi, Yaman), 88697 (Asegaf, Yaman), dan IN76599 (Omar, Yaman).
Kedua, “menguji” penulis untuk membuktikan apakah Baalawi benar keturunan Rasul, padahal haplogroup mereka berada pada sub-clade G-M201 (bukan J-FCG10500, dipromosikan sebagai pola genetik Imam Ali).
Jika persamaan mutasi genetik di atas telah baku dan final, jelaskan kepada penulis kenapa terjadi gap dan mismatch untuk penjelasan berikut ini:
Dr. Sugeng tentu tahu bahwa bukan Baalawi saja yang berada dalam sub-clade G-M201. Bahkan jika ada istilah “Sadah Ring-1”, maka klan Al-Idrisi dan klan Filaliyin (grup kerajaan maroko yang saaangat terkonfirmasi kesadahannya), justru berada pada haplogroup-G. Begitupun klan Al-Idrisi (termasuk saaangat “Sadah Ring-1”) berada pada haplogroup-E.
Maksud penulis: di saat kertas sangat jarang, tradisi menulis kurang, situasi politik sangat complicated dan belum ada lembaga canggih dengan sistem komputasi macam Dukcapil seperti masa sekarang, terdapat tiga kabilah di Arab yang kecil kemungkinan terjadi pemalsuan nasab sejak kabilah ini terbentuk sampai sekarang.
Dan ternyata: hasil haplogroup-nya terindikasi bukan keturunan Rasul (haplo-G dan haplo-E).
Dan Dr. Sugeng tidak bisa seenaknya berargumen: “ya, mbuh, karena bukti genetikanya sementara ini begitu!”
Karena gugatan selanjutnya ialah: seberapa akurat “kalkulator genetika” yang Dr. Sugeng pakai? Seberapa kokoh tafsir atas jurnal yang dipakai Dr. Sugeng untuk teknis penjelajahannya melalui yFull, FTDA, dan ySec?
Menyanggah Teori Dr. Sugeng
Saran: ada baiknya mengunduh sampel yang diperlukan, dari Baalawi dan proyek khusus G-Arabia (promotornya masih Twitter-an: Abdullah Omar) supaya relate dengan penjelasan statistik yang penulis urai berikut ini.
Secara teori, berdasarkan tafsiran Dr. Sugeng pada delapan jurnal yang ia sebutkan, tidak mungkin leluhur berhaplo-J pada 2000 tahun setelahnya memiliki keturunan berhaplo-G. Dan tidak mungkin pula Imam Ali (J-FGC10500) adalah leluhur dari Baalawi yang berhaplo-G.
Jika delapan jurnal tersebut diterapkan secara teknis, teori Dr. Sugeng tentu saja masuk akal. Namun, benarkah demikian?
Kit number 185443 mewakili seseorang yang menjadi keluarga Sayid Hasan dari kabilah Qazwini yang sekarang tinggal di USA (penulis mendapatkan korespondensinya, namun dalam FTDA tertulis: tinggal di Iraq). Dan dalam sumber tradisional muslim, Sadah Qazwini terindikasi kuat sebagai keturunan Imam Husain lewat Imam Musa Al-Kadzim ibn Ja’far Shodiq.
Kemudian kit number 895124 berasal dari seseorang dari kabilah Al-Haidari.
Menurut sumber tradisional muslim, kabilah Hayadirah adalah cabang dari Dinasti Sadah Musya’sya’iyah yang terindikasi kuat sebagai keturunan Rasul karena menjadi penguasa di daerah Ahwaz.
Penting diketahui, sama seperti keturunan Sunan Maulana Hasanudin (Sultan Banten) yang tidak akan meneruskan suksesi selain keturunan jalur laki-laki biologis, Kabilah Musya’sya’iyah pun punya akurasi silsilah yang sama di perbatasan Iran-Irak sebagai “Sadah Ring-1”.
Dan di antara musya’sya’in yang lain berasal dari kit number 394220.
Selain Musya’sya’iyyah, Sadah Al-Ghalibi pun terindikasi kuat sebagai keturunan Rasulullah, dan di antara kit number keturunannya ialah 394252. Di samping Sadah Al-Shafi yang juga terindikasi kuat sebagai keturunan Rasul dari kit number 418947, ada pula Sadah Al-Bayyat dari kit number BP50140.
Sudah ada lima macam kabilah yang secara historis terkonfirmasi sebagai Husaini, namun justru melenceng jauh sebagai keturunan Imam Ali karena berhaplogroup-G.
Bagaimana Dr. Sugeng menjelaskan kontradiksi ini? Apakah masih menjawab dengan: “ya, mbuh, karena bukti genetikanya sementara ini begitu!”
Jika Dr. Sugeng berkenan untuk jujur, ada satu Baalawi yang masuk dalam sub-clade J-FGC10500 (artinya ia adalah keturunan Imam Ali 100% versi tes DNA), yaitu kit number IN92112 (haplogroup: J-FT406499).
Kekeliruan Dr. Sugeng ialah tidak melakukan korespondensi dengan orang tersebut untuk assessment (penilaian). Namun, penulis tidak sungkan membagikan summary-nya kepada Dr. Sugeng:
Dia bernama Ehab bin Aqil bin Muhammad Asegaf, tinggal di Madinah, dari klan Baalawi jalur Imam Faqih Al-Muqaddam (dan sepertinya Ehab adalah orang kaya, jadi mampu membeli layanan big-Y 700 yang relatif mahal).
Poin penting di sini: Ehab adalah seorang Asegaf, Asegaf yang diakui Ehab sebagai keturunan Imam Faqih Al-Muqoddam (Baalawi), dan Asegaf bukanlah nama-nama biasa yang dipakai orang Arab pada galibnya.
Kelucuan yang tak kalah pecah.
Dr. Sugeng, dengan membandingkan STR dua Asegaf yang berbeda (88697-G dan IN92112-J milik Ehab), tanpa melakukan wawancara langsung kepada Ehab, justru mengidentifikasi Ehab sebagai Asegaf dari jalur Imam Musa Al-Kadzim (sumber: Perbandingan Data STR, Apakah Assegaf Baalawi Berkerabat Dekat dengan Assegaf Al-Musawi?).
Kenapa Dr. Sugeng berkesimpulan seperti itu?
Karena perbandingan data STR antara Asegaf-88697 dan Asegaf-IN92112 terdapat mismatch dan gap, maka mustahil keduanya berkerabat–meskipun bermarga sama.
Ditambah, haplogroup Ehab terindikasi sebagai keturunan Imam Ali lewat jalur Imam Musa Al-Kadzim dalam FTDNA. Sedangkan Asegaf-88697, jangankan keturunan Nabi, keturunan Arab pun bukan (versi FTDNA)!
“Oh, karena mustahil berkerabat, berarti Asegaf-IN92112 yang terindikasi sebagai keturunan Musa Al-Kadzim ini adalah Asegaf yang lain!” mungkin seperti ini gumam Dr. Sugeng, tanpa sekalipun menanyakannya langsung kepada Ehab, dan tanpa pengetahuan yang baik tentang genetika populasi kaum Sadah lewat literatur muslim.
Jika Dr. Sugeng berkonsultasi dengan Kiai Imaduddin, tentu saja numenklatur “Asegaf-Musawi” ini bakal terdengar aneh. Karena Asegaf adalah klan unik yang menjadi canggah dari sebagian besar pecahaan klan Baalawi di Indonesia, dan tidak ada Asegaf selain Baalawi dalam seluruh sumber tradisional muslim.
Sekali lagi: tanpa mengonfirmasi dengan pemilik haplogroup, kenapa Dr. Sugeng sembrono memberikan kesimpulan?
Apakah masih menjawab dengan: “ya, mbuh, karena bukti genetikanya sementara ini begitu!”
Penulis masih ingat betul kata KRT Faqih Wirahadiningrat sewaktu bertemu di Plered:
“Sebenarnya, Asegaf yang asli adalah Asegaf Al-Musawi, keturunan Musa Al-Kadzim! Baalawi justru nyolong marga ini ke kabilahnya.” (aw kama qaal)
Dalam hati penulis berguman:
“Akal-akalan apa lagi ini? Sumber dari mana, kok, ada orang sampai membual sejauh itu?”
Kasus II : J-L859
Dalam sanggahan kedua, Dr. Sugeng “menelanjangi” kecerobohan penulis sewaktu mengangkat haplogroup J-L859 sebagai tema sanggahan. Penulis mengatakan TMRCA dari J-L859 ialah 1400 tahun yang lalu, kemudian penulis gugat karena tidak akurat secara historis jika dipromosikan sebagai Quraish (Fihr ibn Malik).
Dalam filogeni J-L859, benar tertulis di sana ia terbentuk pada 3100 ybp. Dan sebenarnya, penulis sudah mengetahui itu tanpa Dr. Sugeng repot-repot membuat sanggahan seri kedua.
Hanya saja, jika Dr. Sugeng merasa yakin sedang “menelanjangi” penulis dalam sanggahan tersebut, sebenarnya itu kiriman paket yang salah alamat. Karena orang yang memakai analisa TMRCA untuk mengusulkan J-L859 sebagai Quraish (Fihr ibn Malik) adalah promotor-nya sendiri, bukan penulis (bukti: https://www.familytreedna.com/groups/qurayishj-1c-3d/about/background).
Sekali lagi: orang yang mempromosikan J-L859 sebagai Quraish dengan analisa TMRCA adalah promotornya sendiri!
Namun, coba kita ikuti permainan Dr. Sugeng.
Taruhlah J-L859 berada dalam timeframe 3100-1400 (entah tepatnya ia berada di mana), dan menurut teori sebelumnya: keturunannya harus lempeng tak bercabang dari J-L859.
Ada satu kabilah penting yang penulis ajukan: Bani Syaibah!
Klan ini terkonfirmasi secara historis sebagai suku Quraish atau Adnani (paling mendekati sebagai keturunan Ibrahim berdasarkan penjelasan Dr. Sugeng tentang 3100 ybp), bahkan Nabi Muhammad dan penduduk Mekah-Madinah tidak menyangsikan otentitas silsilah mereka.
Pada tiga sampel yang tercantum dalam filogeni yFull asal KSA yang mengaku sebagai Bani Syaibah, ternyata haplogroup mereka ada di bawah sub-clade: R-YP6238!
Pertanyaanya: bagaimana mungkin kabilah dari klan Quraishi-Adnani yang diakui Rasulullah Saw. ini tidaklah sahih sebagai keturunan J-L859 yang seharusnya lempeng tak bercabang sampai Nabi Ibrahim?
J-L859, jika benar terbentuk 3100 ybp, mengacu pada teori Ibnu Khaldun, ia adalah keturunan ke-13 Nabi Ibrahim (atau kakek ke-49 Nabi Muhammad, bertolak pada Hasyim ibn Abd Manaf yang wafat pada tahun 497 M.)
Klan Utaibah, dalam tradisi muslim, adalah klan Ibrahimi dan terdapat sampel dengan kit number M7207 (Al-Hamad) yang ternyata ber-haplogroup: J-L222.
Meskipun berhaplo-J, namun Klan Utaibah tidak berada pada sub-clace J-FGC8712 yang dipromosikan sebagai pola genetik Nabi Ibrahim (yang berarti bukan keturunan Ibrahimi).
Sebelum Dr. Sugeng punya niatan untuk “menelanjangi” penulis (lagi), pola genetik Ibrahimi tadi bukanlah penulis yang menganalisanya, namun promotornya sendiri. Dan seperti J-L859, pola genetik Ibrahimi ini pun bermasalah karena timeframe-nya ialah 3100 ybp.
(Penulis bisa menjelaskan lebih detail jika diskusi ini diteruskan Dr. Sugeng)
Alih-alih menyalahkan penulis, dan menggiring pembaca untuk menilai penulis terlalu bodoh dalam pengetahuan itu, ada baiknya Dr. Sugeng mengoreksi “kalkulator genetiknya” kepada promotor proyek di FTDA.
Jika sudah dikoreksi, silakan tunjukkan kepada publik siapa pemilik semua haplogroup problematik tersebut, dan jangan lupa berkonsultasi dengan Kiai Imaduddin yang sudah diyakini publik sebagai pakar nasab.
Untuk setelahnya, penulis akan bersedia mencegat temuan Dr. Sugeng dengan fakta-fakta historis kabilah keturunannya, karena inilah cara paling tepat untuk falsifikasi “kalkulator genetika” yang sudah dikalibrasi Dr. Sugeng.
Penulis belum bisa mematahkan teori “J- harus memiliki keturunan J- pula meskipun 2000 tahun ke depan” selain mengkonfrontasi sampel-sampel dari populasi modern tersebut dengan literatur tradisional. Hanya saja, sampai detik ini, penulis telah mengantongi lebih dari 42 kabilah (kemungkinan akan bertambah) yang problematik.
Pertanyaannya: bagaimana Dr. Sugeng menjelaskan fenomena ini? Apakah “kalkulator genetik” Dr. Sugeng ini seratus persen akurat, ataukah 42 kabilah ini punya masalah dalam pencatatan silsilah keluarganya?
Kita sedang membicarakan orang Arab yang punya ikatan emosional terhadap genealogi (bahkan mereka dikenal berdasarkan silsilah dan kabilah, bukan negara asal), dan memiliki ingatan kuat untuk datuk-datuknya.
Jika 1-2 kabilah saja yang keliru, penulis masih bisa menerima teori ini. Namun jika sudah 42 kabilah (bahkan separuhnya memiliki naqib), hemat penulis angka ini terlalu besar untuk dinilai keliru semua.
Ataukah dugaan penulis benar: justru “kalkulator genetik” Dr. Sugeng yang butuh dikalibrasi?
Dan, bagaimana mungkin Dr. Sugeng menghindari literatur tradisional (kitab sejarah dan kitab nasab), padahal ia adalah aspek penting dalam mengukur validitas perhitungannya?
Jika jawabannya masih “ya, mbuh, karena bukti genetikanya sementara ini begitu!”, artinya Dr. Sugeng hanyalah mas-mas doktor biasa yang bukan ilmuwan.
Dan penulis tidak kaget dengan orang semacam ini.