Di tengah darurat pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya terkendali, Gubernur Sumatera Barat tampaknya mempunyai prioritas daruratnya sendiri. Irwan Prayitno, sang gubernur, melayangkan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika yang berisi permintaan penghapusan aplikasi kitab suci Injil bahasa Minang yang terdapat di platform penyedia aplikasi Play Store. Surat bernomor 555/327/Diskominfo/2020 tersebut dilayangkan pada tanggal 28 Mei 2020.
Surat permintaan tersebut menyebutkan falsafah hidup orang Minangkabau, “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah”. Adat Minangkabau sangat erat dengan nilai-nilai Islam, dan falsafah tersebut menjadi dasar berpikir orang Minangkabau. Dengan adanya aplikasi Injil bahasa Minang, disebut “menimbulkan keresahan di masyarakat” dan bertentangan dengan falsafah tersebut.
Penjelasan surat permohonan penghapusan tersebut disandarkan pada prinsip bahwa orang Minangkabau adalah penganut Islam. Oleh karenanya jika ada orang yang mengaku Minangkabau tetapi tidak menganut Islam, maka secara adat ia tidak diakui sebagai bagian dari orang Minangkabau. Kurang lebih demikian seperti yang diterangkan oleh Kepala Dinas Kominfo Sumatera Barat kemarin (5/6)
Cara berpikir yang dimunculkan ini mengingatkan kepada apa yang terjadi di Malaysia beberapa tahun lalu. Tepatnya pada tahun 2014, Mahkamah Agung Malaysia mengetok palu sidang, yang memutuskan bahwa kosaata ‘Allah’ hanya boleh digunakan oleh umat Muslim. Konsekuensinya, secara hukum warga non-Muslim Malaysia tidak berhak untuk menggunakan kosakata ‘Allah’ dalam tulisan dan ritual keagamaan. Tidak hanya kata ‘Allah’, terdapat 24 kata lain yang dilarang penggunaannya oleh warga non-Muslim.
Sengketa hak penggunaan kosakata Allah ini sudah berlarut-larut sejak tahun 2007, di mana Koran harian berbasis agama Katolik Herald menggunakan kata Allah dalam terbitannya. Sengketa kosakata ini berbuntut panjang. Penggerebekan Alkitab terjadi. Terbitan Alkitab yang masih menggunakan kata ‘Allah’ ramai-ramai disita dan dibredel. Gelombang demonstrasi pun marak dilangsungkan, menyuarakan bahwa ‘Allah’ hanya milik orang Muslim.
Bagi warga Melayu Malaysia, menjadi Melayu secara inheren beriringan dengan menjadi Muslim. Terlebih lagi ketika etnis Melayu di Malaysia berbenturan dengan ras India dan Cina dalam persaingan ekonomi. Politik identitas dan agama tidak bisa dihindarkan. Masing-masing etnis akhirnya seolah merepresentasikan satu agama tertentu.
Dalam polemik ini, penerjemahan Injil ke dalam bahasa daerah Minang menjadi pokok persoalan. Dalam cuitannya, Menteri Agama Republik Indonesia tahun 2014-2019 Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa menerjemahkan kitab suci ke dalam bahasa daerah itu sebenarnya amat disarankan, agar semakin banyak warga daerah yg memahami isi kitab suci agamanya. Semakin kitab suci dipahami, semakin tersebar nilai kebajikan di sekitar kita.
Akan tetapi, di arena pertarungan politik kekuasaan, bahasa yang seharusnya memiliki fungsi pemersatu dan ciri utama identitas sebuah masyarakat, justru menjadi alat yang makin mempertebal sekat perbedaan. Di dalam politik kekuasaan, bahasa didudukkan sebagai alat untuk mengkonstruksi sebuah kekuatan, sekaligus melanggengkannya sebagai alat kontrol.
Padahal, jika kita menengok kembali lembaran sejarah, kita bisa melihat bagaimana kearifan KH. Agus Salim – pahawan kemerdekaan dari Minangkabau – dalam memandang relasi Islam dan Kristen.
Pahlawan nasional berjuluk the grand oldman ini memiliki adik bernama Chalid Salim, yang mengimani ajaran Katolik. Lain halnya dengan KH Agus Salim yang berjuang di garis agama Islam, sang adik dikenal sebagai aktivis pergerakan komunisme. Selama pergerakannya di PKI, Chalid Salim sempat menjadi ateis. Setelah pemberontakan PKI tahun 1926 pecah, Chalid ditangkap lalu diasingkan ke Boven Digoel. Semasa pengasingannya di Digoel, Chalid yang datang sebagai ateis menemukan ajaran Katolik Roma, dan memeluknya. Ia dibaptis oleh Pastur Mauwese, pada hari Natal 1942, dan dibaptis dengan nama Ignatius Franciscus Michael Chalid Salim.
Agus Salim menyikapi pindahnya agama sang adik dengan cukup bijak. Bagi Agus Salim, pindahnya sang adik ke agama Katolik justru lebih baik daripada melihatnya sebagai ateis. Bahkan, Agus Salim meresponnya dengan berseloroh: “Alhamdulillah, ia sekarang lebih dekat dengan saya. Dulu dia ateis, sekarang percaya Tuhan.” Tidak hanya itu, bagi Agus Salim, jalan adiknya sudah merupakan takdir ilahi yang tidak bisa dielakkan.
“Aku bersyukur bahwa Anda akhirnya percaya pula kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu sudah menjadi takdir Illahi,” kata KH Agus Salim kepada sang adik.
Ulama dan penulis terkemuka asal Minangkabau, Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau Buya Hamka, juga memiliki adik yang memilih jalan beragama yang berbeda. Sang adik, Abdul Wadud Karim Amrullah, diketahui merupakan pengabar injil agama Kristen yang aktif melakukan misi di Sumatera Barat.
Tidak diketahui bagaimana sikap keluarganya di Minang, atau akhir dari perjalanan Abdul Wadud. Namun yang ingin saya tengahkan dari contoh ini adalah bahwa pada realitasnya, pasti terdapat masyarakat Minang yang beragama non-Islam, dan penggunaan bahasa Minang dalam ibadah atau ritual mereka, juga tak terhindarkan – terlepas dari prinsip adat yang tidak lagi mengakui mereka sebagai Minang sebab menganut agama selain Islam.
Sebagai sebuah masyarakat adat, tentu prinsip adat Minang “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah” patut kita hormati sebagai nilai yang digenggam erat oleh masyarakat Minang. Namun pada realitas di tataran bernegara, ini menjadi tantangan bagi Indonesia yang tidak henti-hentinya didera ujian politik identitas agama.
Adanya permintaan menghapus aplikasi Injil berbahasa Minang, Gubernur Sumatera Barat sangat riskan memperruncing politik identitas dengan memainkan identitas kesukuan dan agama. Dari apa yang terjadi di Malaysia saja, misalnya, risiko perampasan hak beragama yang ditimbulkan jika perbedaan politik identitas ini makin tajam, jelas tidak kecil. Terutama bagi minoritas warga Minang yang beragama non-Islam.