Syekh Ali Jaber ditusuk AA ketika ceramah, Ahad malam (13/9) di Lampung. Siapa AA?
Narasi di medsos pun gonjang-ganjing. Konon, AA adalah kader PKI. Partai yang berusaha menghidupkan PKI adalah PDIP. Dan PDIP identik dengan Jokowi. Kesimpulannya, Jokowi terlibat. Pemerintah merekayasa pembunuhan itu. Wow!
Mungkin orang waras akan tersenyum membaca logika di atas. Tapi, jangan anggap remeh logika itu. Yang me-like atau komen pro, ribuan, bahkan mungkin jutaan. Yang like dan pro, orang gila?
Wuis! Jangan anggap rendah jutaan orang yang percaya dengan logika rancu itu. Banyak orang pinter di sana. Politisi, intelektual, pengusaha, ulama, bahkan tak sedikit ASN/PNS yang percaya logika ngawur di atas!
Negeri ini — pinjam Ahmad Munjid, dosen sastra UGM — memang negeri unlogika (niru kata unfaedah). Tiba- tiba saja, tertusuknya Syekh Ali Jaber, dikaitkan dengan PKI, lalu PDIP, lalu Jokowi, lalu Banser.
Gus Miftah, sampai dibuat jengkel– kok Banser dituduh ikut mendalangi penusukan Syekh Jaber? Kok Jokowi ikut dituduh juga?
Kasus ditusuknya Syekh Ali Jaber, adalah peristiwa kesekian kali, yang menimpa ulama. Biasanya, peristiwa seperti ramai di medsos, lalu muncul opini aneh-aneh.Ujungnya PKI dan Jokowi.
Kasus semacam itu pernah muncul di berbagai daerah, seperti Bandung, Garut, Lamongan, dan Yogya. Jika di Garut dan Lamongan korbannya ulama Islam; di Yogya “ulama” Kristen (pastur). Pada sebuah acara kebaktian di Gereja Katholik Santa Lidwina, Sleman, Yogya, Pastor Karl-Edmund Prier SJ diserang orang tak dikenal, Minggu (11/2/2018).
Akibat peristiwa ini, Pastor Karl-Edmund Prier SJ, tiga orang jamaah gereja dan seorang petugas kepolisian mengalami luka-luka. Korban-korban itu terkena sabetan pedang pelaku waktu mengamankan “sang penyerang” yang konon gila tersebut.
Sekitar 200 ulama pimpinan pondok pesantren, madrasah dan imam masjid se-Kabupaten Garut, Jawa Barat mengadakan pertemuan dengan Kapolres Garut, Rabu (21/2/018). Dalam pertemuan itu, para ulama menyampaikan keresahan mereka terkait isu penculikan, penganiayaan hingga pembunuhan yang mengancam pemuka agama.
Ketua MUI Pamengpeuk Garut KH Basari merasa keselamatan nyawanya terancam usai merebaknya ancaman pada pemuka agama.
“Adanya ancaman membuat kami resah. Ini bukan hoax lagi, tapi benar,” katanya.
KH Basari menilai isu ancaman pembunuhan sengaja diciptakan pihak tertentu untuk mengacaukan situasi keamanan masyarakat. Ia pun heran dengan kondisi orang gila yang melakukan penyerangan.
“Masa orang gila bawa HP?, Orang gila dijemput motor? Dijemput mobil dan banyak kecurigaan lainnya,” ujarnya.
Basari menuding para pelaku yang dianggap tidak waras itu sengaja menandai tempat tinggal ulama yang akan menjadi sasaran. “Malam Senin kemarin di depan rumah saya ada tanda X, ini jelas ada rekayasa menghancurkan Garut dan mungkin Indonesia,” jelas KH Basari.
Seperti kita ketahui, awal munculnya isu teror terhadap ulama tersebut, pertama kali terjadi pada Sabtu (27/018), di Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung. Pimpinan Ponpes Al Hidayah KH Umar Basri (Mama Santiong), menjadi korban penganiayaan usai Shalat Subuh di masjid. Tak lama kemudian, polisi berhasil menangkap pelaku penganiayaan. Setelah diidentifikasi, kata polisi, pelaku adalah orang lemah ingatan atau gila.
Setelah itu muncul kasus lain yang menyebabkan meninggalnya Komando Brigade PP Persis, Ustaz Prawoto. Ustaz Prawoto meninggal dunia setelah sempat menjalani perawatan di rumah sakit akibat dianiaya seorang pria pada Kamis (1/2/018) pagi.
Dalam hitungan hari, dua ulama dianiaya oleh orang yang diduga tidak waras. Konon, ada kemiripan pola penyerangan yang menyebabkan kematian dan luka parah ini. Kesamaan pertama, ulama/ustaz yang menjadi korban penganiayaan. Kedua, penyerangan dilakukan orang yang diduga tidak waras alias sakit jiwa.
Kemiripan pola ini bisa terjadi secara kebetulan, bisa juga memang ada yang membuatnya. Jika ada yang membuat tentu ada tujuan-tujuan atau pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada kelompok tertentu. Bisa juga ini bagian dari politik adu domba di tengah panasnya proses politik pilkada serentak khususnya di Jawa Barat, tahun 2018. Kasus Syekh Ali Jaber juga muncul di tengah panasnya politik Pilkada.
Tapi, kenapa pelakunya orang gila? Pengamat intelejen Soeripto mengatakan, orang gila pun bisa ‘dioperasikan’.
“Operasi penyerangan seperti ini bisa menggunakan orang gila. Mereka bukan didoktrin, seperti orang waras, tapi mereka direkayasa suasana jiwanya, disentuh sisi emosinya,” ungkapnya.
Orang gila yang akan dioperasikan ini, kata Soeripto, dipelajari dulu dimana sisi emosinya tersentuh. Kapan orang-orang gila ini mudah terpancing, dan bertindak agresif dan kapan dia menjadi tenang. Setelah dipelajari sisi emosinya, kemudian disentuh emosinya tersebut, kemudian orang gila ini siap dioperasikan untuk melakukan tindakan agresif.
Soeripto memberi contoh kasus pembunuhan Presiden AS John F Kennedy. Pelaku pembunuhan Kennedy, menurutnya, latar belakang kejiwaannya tidak stabil. Tapi pelaku berhasil membunuh Kennedy. Demikian juga pembunuhan Raja Faisal Ibn ‘Abdul ‘Aziz. Pembunuhnya, keponakannya sendiri, adalah orang gila. Faisal dibunuh setelah Arab Saudi memelopori embargo minyak ke AS untuk memprotes pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Konon, CIA merekayasa pembunuhan tersebut dengan memanfaatkan orang gila yang berada dalam lingkaran keluarga kerajaan.
Secara nalar memang sulit diterima, bagaimana orang gila bisa menentukan targetnya. Tapi dengan pendekatan ilmu psikologi modern, terutama hipnopsikologis, hal itu bisa dilakukan. Asalkan kondisinya sudah matang. Dan target sudah fixed. Baru kemudian, pikiran orang gila diprogram. Ilmu hipnosis modern bisa melakukan hal itu.
Di sisi lain, Soeripto, tidak yakin PKI tumbuh kembali. PKI sudah habis, katanya. God Fathernya, Uni Soviet sudah tumbang. Di Cina, PKI sudah hancur, hanya tinggal simbol. Cina sekarang hakikatnya kapitalisme. Di pihak lain, anak-anak muda keturunan orang PKI dulu, sekarang sudah tidak miskin lagi. Bahkan banyak di antaranya sudah kaya raya dan bisnisnya yg kapitalistik sudah maju. Kalau sudah kaya, mereka pun enggan memperjuangkan komunisme — kata Soeripto. Mereka sudah kepenak. Tak mau lagi menghidupkan PKI. Zaman telah berubah!
Betulkah apa yang dinyatakan Soeripto? Lalu siapakah AA yang menusuk Syekh Ali Jaber? Apakah AA sudah diprogram untuk membunuh Syekh Jaber?
Rasanya aneh juga kalau orang yang sudah diprogram, tapi melakukan pembunuhan dengan cara yang bodoh. Lagi pula si AA sudah dikenal publik setempat kehidupan sehari-harinya. Lalu, adakah yang aneh ttg si AA?
Mengingat dunia politik sangat kompleks dan penuh rekayasa, kita bangsa Indonesia harus hati-hati terhadap kasus-kasus yang potensial memecah-belah bangsa tersebut. Berilah kesempatan kepada aparat keamanan dan hukum untuk mengusutnya.
Ingat di era internet of everything rasanya sulit melakukan pengelabuan dan rekayasa. Lihat saja kasus Ratna Sarumpaet, Abdul Basith (dosen IPB yg merencanakan pemboman), dan Anji-Prof. Hadi Pranoto (soal obat Covid-19).
Di dunia online, isu-isu aneh muncul silih berganti. Kepolisian, misalnya, menyatakan kasus teror ulama dua tahun lalu adalah hoax. Para penyebar hoax pun sudah tertangkap. Tapi anehnya, kaum penyebar hoax yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan, tetap tak peduli.
Bagi mereka, pinjam teori Hitler, hoax yang terus menerus dikumandangkan, akan jadi fakta di pikiran publik. Dan itulah yg kini menyerbu medsos dalam kasus Syekh Ali Jaber.
Penusukan Syekh Ali Jaber, misalnya, kini jadi makanan empuk untuk kaum hoaxer yang terus mencari isu-isu murahan untuk menyudutkan pemerintah. Naudzubillah!
Hal-hal itulah yang harus kita pecahkan bersama. Jangan sampai bangsa yang sudah terpelihara kebersatuannya karena senasib dan sepenanggungan sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang, terpecah belah gegara isu unfaedah tersebut.