“Orang bicara cinta atas nama Tuhannya, sambil menyiksa, membunuh, berdasarkan keyakinan mereka.” Sepenggal lirik lagu dari group band Swami itu sepertinya cukup mewakili kekhawatiran kita tentang betapa berbahayanya sebuah keyakinan yang tidak ditempatkan sebagaimana mestinya.
Ya, bahkan cinta yang diatasnamakan Tuhan pun dapat digunakan untuk menyiksa dan membunuh (Baca juga: Tuhan yang Dikritisi Ki Ageng Suryomentaram). Padahal cinta dan Tuhan adalah sumber kasih sayang tanpa pamrih, yang notabenenya sangat jauh dari yang namanya kepentingan ataupun keinginan pribadi yang dapat merugikan orang lain bukan?
Nah, karena berbahayanya keyakinan, atau berbahayanya Tuhan yang dihayati hanya sebatas keyakinan tepatnya, maka seorang filsuf nusantara abad 19, Ki Ageng Suryomentaram, melakukan ijtihad. Ki Ageng berusaha merumuskan pengalamannya tentang bagaimana dia menghayati keberadaan “Tuhan” yang tidak hanya sebatas keyakinan.
Konsep pikiran menurut Ki Ageng Suryomentaram
Pikiran adalah perangkat untuk berpikir. Adapun yang dipikirkan oleh pikiran menurut Ki ageng ada dua macam, yaitu memikirkan kawruh atau pengetahuan, dan memikirkan bagaimana agar keinginan bisa tercapai.
Ketika orang berpikir saat keinginannya tercapai seakan-akan bisa merasa senang selamanya, dan jika keinginannya tidak tercapai seakan-akan sengsara selamanya, berarti pikirannya hanya menjadi budak dari keinginan belaka. Dan pikiran yang telah mengabdi kepada keinginan tidak akan dapat digunakan untuk memikirkan kawruh.
Karena orang yang telah mengabdikan pikiran demi keinginan, dalam menilai benar atau salahnya sebuah kawruh hanya berdasarkan keinginannya semata. Artinya jika sebuah kawruh bersesuaian dengan keinginannya akan ia benarkan, dan jika tidak sesuai akan disalahkannya.
Menurut Ki Ageng, keinginan yang semacam itulah yang kemudian memaksa-maksa orang yang sesungguhnya tidak tahu kemudian menjadi sok tahu. (Dados, karep punika ingkang meksa-meksa dhateng ora weruh lajeng dados ngira weruh).
Berbeda dengan perangkat lahir sebagaimana mata yang secara otomatis dapat digunakan untuk melihat, kuping bisa untuk mendengar, hidung untuk mencium, jika kesemuanya tidak cacat; pikiran sebagai perangkat batin tidak akan dapat berkembang tanpa melalui pendidikan. Dan pikiran yang tidak bisa menjadi dewasa, tidak akan bisa digunakan untuk berpikir dengan benar.
Adapun cara mendidik pikiran menurut Ki Ageng adalah dengan menggunakannya untuk memikirkan dasar kawruh yaitu kawruh tentang Barang asal (Dene anggenipun ngupakara, gula wentah pikiran, punika pikiran kangge mikir patokaning kawruh. Patokaning kawruh punika kawruh Barang Asal).
Yang diistilahkan oleh Ki Ageng sebagai Barang Asal adalah sesuatu yang ada, yang keberadaannya senantiasa ada alias langgeng atau abadi (Barang Asal punika barang jing ana, jing langgeng).
Jadi, memikirkan dasar kawruh adalah pikiran digunakan untuk merespon tindakan si tahu—bukan si sok tahu—terhadap keberadaan Barang Asal. (Dados mikir patokaning kawruh punika pikiran kangge nampeni tumanduking weruh dhumateng Barang Asal).
Misalkan kita melihat selembar kertas, tentu kita akan merasa dan kemudian bisa tahu bahwa di dalam wujud kertas itu terdapat sesuatu yang langgeng. Yang senantiasa ada wujudnya, dan tidak bisa lenyap.
Rasa seperti itu jika direspon oleh pikiran, “Oh, sesuatu yang langgeng keberadaannya, yang senantiasa ada, dan tidak berubah-ubah adalah Barang Asal. Ialah yang menjadi asal muasal kertas, yang kemudian berwujud menjadi kertas. Jika kertas dibakar, asal muasal kertas tetap ada. Sebelum kertas wujud, asal muasal kertas juga sudah ada.”
Ya, jika kertas kita bakar misalnya. Wujud kertasnya telah hilang karena telah berubah bentuk menjadi abu, namun asal muasal dari kertas itu tetap ada. Jika abu kita tumbuk sedemikian rupa, lalu kita hamburkan ke udara dan diterbangkan angin entah ke mana, pun asal muasal kertas tersebut tidak akan pernah hilang dari semesta.
Jika respon pikiran sudah seperti itu, maka orang pun menjadi tahu bahwa sesuatu yang langgeng adalah Barang Asal. Jika proses berpikir yang semacam itu dilanjutkan; pelbagai karakteristik Barang Asal direspon oleh pikiran, maka orang pun lantas menjadi tahu Barang Asal hingga kepada sifat-sifatnya. (Yen dipun pikir kados makaten wau, lajeng mangertos yen barang ingkang langgeng punika Barang Asal. Yen dipun lajengaken, watek-wateking Barang Asal dipun pikir, lajeng weruh Barang Asal sawatek-watekipun).
Tatkala proses berjalannya pikiran dalam memikirkan landasan kawruh sudah benar, maka pikiran tersebut sudah bisa dibilang dewasa. Jadi ukuran dewasanya pikiran adalah ketika proses berjalannya dalam memikirkan landasan kawruh sudah benar, tidak peduli apakah yang menggunakan pikiran itu masih anak-anak atau orang tua. (Yen lampahing pikiran mikir patokaning kawruh sampun leres, pikiran punika diwasa. Dados diwasaning pikiran punika yen lampahipun anggenipun mikir patokaning kawruh sampun leres, sanajan lare, sanajan tiyang sepuh.)
Pada saat pikiran telah dewasa, maka ia dapat digunakan untuk memikirkan seluruh kawruh—tak terkecuali kawruh tentang Tuhan. Karena kawruh adalah reaksi weruh terhadap yang diweruhi (diketahui), maka unsur yang membentuk kawruh adalah sesuatu yang berhubungan dengan weruh dan sesuatu yang diweruhi. (Yen pikiran punika sampun diwasa, lajeng kenging kangge mikir sedaya kawruh. Mangka, kawruh punika tumanduking weruh dhateng ingkang dipun weruhi. Dados kawruh punika bab weruh lan bab ingkang dipun weruhi.)
Memikirkan seluruh kawruh dapat diringkas menjadi dua macam. Yaitu memikirkan kawruh, dan memikirkan yang diweruhi (diketahui). Kawruh keyakinan sesungguhnya tidak termasuk pengetahuan karena ia tidak dapat dipikir dengan menggunakan pikiran sebagai perangkat kawruh. Keyakinan hanya dapat dikantha, yaitu direka-reka atau difantasikan. Berpikir adalah sebuah proses untuk memahami bagaimana hakikat yang sebenarnya, sedang ngantha atau mereka-reka hanya bermuara pada kesoktahuan.
(Mikir sedaya kawruh punika kenging dipun ringkes dados kalih bab, inggih punika mikir bab kawruh, lan mikir bab ingkang dipun weruhi. Kawruh keyakinan punika dede kawruh, mila boten kenging dipun pikir, namung dipun kantha. Mikir punika badhe mangertos leresipun kados pundi. Ngantha punika boten badhe mangertos). Wallaahu a’lamu bishsha