Tak ada yang spesial bagi saya dari pidato visi-misi Prabowo-Sandiaga malam ini, kecuali Sandiaga yang semakin mapan dalam bicara ketimbang saat Pilgub DKI Jakarta 2017.
Gaya pidato mereka dengan kampanye Anies-Sandi ama persis: menceritakan kisah sedih atau penderitaan satu dua orang masyarakat yang mereka temui saat blusukan, lalu masuk ke substansi masalah yang biasanya berbentuk kritik pada kondisi perekonomian saat ini dan buruknya kinerja pemerintah, dan diakhiri dengan janji-janji manis.
Cukup bisa dipahami alasan konsultan mereka, yang kemungkinan sama, memilih strategi tersebut. Posisi mereka sebagai penantang tak mungkin memberi bukti kinerja. Beda dengan Ahok-Djarot di Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Jokowi-Ma’ruf di Pilpres 2019 yang menjadi petahana. Cukup banyak stok prestasi (meskipun soal ini juga masih bisa diperdebatkan) yang bisa diberikan ke publik.
Sementara, jika pidato sebatas berisi kritik dan kritik yang memojokkan petahana, publik justru bakal menganggap mereka orang-orang amatiran. Cuma bisa menyalahkan tapi tak punya gagasan baru. Hasilnya publik antipati dan suara petahana menguat.
Cerita kesengsaraan orang-orang yang mereka temui itu jadi solusi menghindari kemungkinan dipandang amatiran. Kenyataan bahwa manusia adalah homo fabulans membuat publik terserap ke dalam kisah yang mereka tuturkan dan akhirnya menilai kritik yang disampaikan bukan sekadar nyinyiran, melainkan bagian dari fakta.
Perkaranya, tak semua kisah sengsara punya efek besar buat menyedot simpati publik. Di sinilah tugas tim mereka mengurasi kisah-kisah tersebut. Maka munculah kisah bapak yang gantung diri di pohon jati karena tak kuasa menanggung beban utang keluarga, seperti yang disampaikan Prabowo dalam pidatonya malam ini. Bukan kisah Budi Pego yang dikriminalisasi karena menolak tambang. Padahal, keduanya sama-sama memiliki kesengsaraan. Sama-sama korban dari ketimpangan ekonomi dan terlalu berpihaknya negara pada korporasi.
Ya, bisa saja memang Prabowo-Sandi berkilah tak pernah ketemu Budi Pego. Tapi, santernya pemberitaan dan giatnya mereka blusukan–khususnya Sandi yang bilang sendiri sudah mengunjungi lebih dari seribu titik dalam empat bulan terakhir–sebenarnya sangat mudah buat sekadar singgah ke Tumpang Pitu.
Bukan pula maksud saya menyepelekan kisah bapak yang gantung diri itu. Tentu saja itu sangat menyedihkan terjadi di negara yang secara konstitusi menjamin hajat hidup fakir, miskin, anak yatim, dan orang-orang terlantar. Namun, sekali lagi, ini soal pertimbangan efek yang bakal tercipta bagi pemenangan di pemilu dengan pemilihan kisah tersebut.
Publik, secara umum, lebih familiar dengan keterjepitan ekonomi karena terlilit utang, kelaparan, ketimbang perkara konflik agraria dan pelanggaran HAM yang hanya menjadi perhatian segelintir aktivis. Sementara, kebutuhan pemilu adalah mendapatkan sebanyak mungkin pemilih, bukan segelintir orang itu saja.
Maka, begitulah dalam lebih kurang satu jam pidato visi-misi itu perkara pelanggaran HAM pada rakyat kecil dan konflik agraria tak menjadi tema utama. Sebaliknya justru lebih memilih soal “kriminalisasi ulama dan mantan presiden” yang memang sudah jadi jualan politik mereka sejak lama. Dua hal yang masih bisa diperdebatkan pula keabsahannya. Tak seterang kasus Kendeng dan kriminalisasi Budi Pego.
Lantas, apakah Jokowi-Ma’ruf lebih baik? Tidak. Mereka juga tetap mementingkan narasi yang memungkinkan mendulang suara mayoritas.
Selama empat bulan ke belakang, materi-materi kampanye mereka juga seputar isu yang familiar saja. Seperti keberhasilan pembangunan infrastruktur yang memang jelas wujudnya. Atau peningkatan statistik perekonomian Indonesia yang mudah dibaca angkanya. Meskipun, ya, statistik itu erat dipengaruhi pendapatan segelintir orang super kaya negeri ini saja.
Sedangkan, seperti yang ditulis Tirto hari ini Jokowi kompak dengan lawannya mengabaikan isu pelanggaran HAM. Dalam taraf sebagai presiden yang menikmati otoritas besar mengambil segala keputusan, Jokowi justru bisa dibilang lebih buruk karena tak bertindak tegas menyelesaikan pelanggaran HAM dan konflik agraria. Mengingkari janji kampanyenya sendiri pada Pilpres 2014.
Soal publik yang tak familiar dengan persoalan konflik agraria dan pelanggaran HAM juga jadi kritik terhadap media mainstream. Ini membuktikan media mainstream masih gagal mengarusutamakan perkara tersebut ke publik. Baik karena hambatan investor, maupun karena tak mau berjudi dengan tema-tema tak populis untuk mendulang traffic.
Lagi pula, menyentuh perkara konflik agraria sama saja bunuh diri di negeri para pemodal ini. Baik bagi politikus, maupun media mainstream. Sudah rahasia umum media-media arusutama dikuasai pemodal. Sudah rahasia umum pula politikus menghamba duit pemodal untuk mengongkosi biaya politik yang mahal, atau bahkan mereka berasal dari golongan pemodal itu sendiri.
Sampai di sini, antara Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandiaga sama saja. Sama-sama tak akan pernah berpaling dari kepentingan pemodal. Dari kepentingan mereka sendiri.
Rakyat bagaimana? Ya, jadi pelumas saja buat akselerasi peningkatan elektabilitas. Buat dijual kesengsaraannya demi mendapat laba di kantong mereka sendiri. Persis seperti cara stasiun-stasiun televisi kita menyuguhkan sinetron azab dan tangisan orang-orang susah demi iklan. Yang dijual tetap susah, penjualnya semakin kaya.
Meskipun begitu, memupuk harapan baru pada Prabowo-Sandiaga boleh saja. Meneruskan harapan pada Jokowi-Ma’ruf juga sah. Yang tak boleh adalah, kita melupakan bahwa mereka politikus dan saling memusuhi karena beda harapan (pilihan).
Karena, sejarah mencatat politikus seperti mantan Presiden Filipina, Manuel L Quezon, yang bicara anti Amerika di pemilu pertamanya dan sangat pro Amerika di pemilu selanjutnya demi tetap mempertahankan jabatannya.
Dan, selama mereka masih menempatkan dirinya sebagai politikus, bukan sebenar-benarnya pemimpin, kita mesti selalu siap kecewa.