Piala Dunia 2022 kali ini menawarkan suasana yang terbilang baru bagi para pemain, staff, hingga suporter yang berasal dari negara minoritas muslim. Mereka akan banyak menjumpai budaya dan nilai-nilai Islam yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari di ruang publik. Suasana khas negara mayoritas muslim.
Seorang jurnalis asal Inggris bernama Henry Winter membagikan sebuah video di akun Twitter pribadinya @henrywinter . Dalam video yang berdurasi 26 detik itu, terlihat skuad timnas Inggris sedang melakukan latihan ringan di Saoud bin Abdulrahman Stadium, Al Wakrah.
Satu hal yang unik dalam video tersebut adalah terdengar sayup-sayup adzan maghrib mengiringi sesi latihan. Sang jurnalis juga menuliskan di postingannya: “#ENG training in Doha amidst call to prayer” (Skuad Inggris berlatih di Doha di tengah kumandang adzan).
#ENG training in Doha amidst call to prayer. pic.twitter.com/2J3t5swT5q
— Henry Winter (@henrywinter) November 16, 2022
Video itu menuai beragam respon, termasuk netizen Indonesia. Di antara respon yang unik adalah respon yang mengisahkan memori masa kecil ketika adzan maghrib menjadi tanda pertandingan berakhir. Sebagaimana diketahui, skuad timnas Inggris telah tiba di Qatar sejak Rabu (16/11) waktu Qatar. Mereka langsung memulai persiapan untuk laga pertama mereka di Piala Dunia 2022 melawan Iran, Senin (21/11) nanti.
Piala Dunia dengan Suasana “Baru”
Barangkali semua tim yang akan bertanding di Piala Dunia 2022 kali ini akan merasakan suasana yang serupa. Suasana “baru” khas negara mayoritas muslim, yakni ketika praktek keberagamaan sangat mudah dijumpai di ruang publik, serta nilai-nilai agama begitu melekat dalam kehidupan sehari-hari. Dikatakan suasana baru karena inilah pertama kalinya Piala Dunia diselenggarakan di negara mayoritas muslim.
Suasana “baru” inilah yang bisa jadi bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di Barat yang tentu berbeda. Sebagai contoh, kebebasan berekspresi yang ada di Barat. Setiap orang diberi kebebasan untuk mengekspresikan semua hal tanpa ada batasan. Berbeda dengan di Timur yang selektif dalam mengekspresikan suatu hal tertentu.
Misalnya, kampanye LGBT yang lazim dilakukan oleh pemain sepak bola, khususnya di daratan Eropa. Biasanya mereka akan menggunakan ban kapten yang berwarna-warni (pelangi) yang merupakan simbol dari LGBT. FIFA sebagai induk sepak bola dunia juga telah berencana mengampanyekan hal serupa. Itu dilakukan sebagai praktek dari kampanye #FootballForAll (Sepak bola untuk semua) milik mereka.
Namun, pemerintah Qatar dari jauh hari telah memberi peringatan kepada seluruh pihak yang akan terlibat di Piala Dunia 2022, termasuk para suporter, agar tidak membawa dan menunjukkan atribut apapun yang berbau LGBT. Menteri Dalam Negeri Qatar, Mayor Jenderal Abdul Aziz bin Abdullah al-Ansari, dalam sebuah siaran pers pada Maret silam telah menjelaskan bahwa atribut apapun yang berbau LGBT dan ditunjukkan ke publik, maka pihak keamanan akan menyitanya.
Kebijakan itu menuai pro dan kontra. Namun, sang menteri beralasan tindakan itu demi keamanan para pengkampanye itu sendiri. Menurutnya, tidak semua masyarakat lokal menolerir tindakan LGBT, mereka bahkan tidak segan untuk melakukan kekerasan kepada siapapun yang terindikasi menjadi pelaku LGBT.
“Jika seorang fans mengangkat bendera pelangi dan saya mengambilnya, maka hal itu bukan karena saya menginginkannya atau menghinanya, melainkan untuk melindunginya (dari kekerasan),” terang Al-Ansari kepada wartawan AP News. Ia melanjutkan, “Karena, kalau bukan saya yang melakukannya, seseorang bisa saja menyerangnya. Saya tidak bisa menjamin perilaku setiap orang.”
Larangan mengampanyekan LGBT tidak berarti larangan bagi para pelaku LGBT untuk datang ke Qatar menyaksikan Piala Dunia 2022. Mereka tetap dipersilahkan untuk turut meramaikan kompetisi sepak bola terbesar di dunia itu. Hanya saja, tidak ada toleransi bagi siapapun yang akan mengampanyekannya. Mereka akan diamanankan oleh pihak yang berwenang.
Bagi Al-Ansari, mereka yang ingin mengampanyekan LGBT hendaknya melakukannya hanya ketika berada di masyarakat yang memang menerimanya.
“Anda ingin mengampanyekan pandangan anda tentang LGBT, kampanyekan itu di masyarakat tempat pandangan itu akan diterima. Kita menyadari bahwa orang ini memiliki tiket, datang ke sini untuk menonton pertandingan. Bukan untuk kampanye, baik pandangan politik maupun hal lain yang ada di pikirannya,” tegasnya.
Tentunya para pemain, staff, hingga suporter juga harus bisa menghargai budaya dan nilai-nilai yang ada di Qatar. Satu contoh sikap yang bagus diberikan oleh kapten timnas Prancis, Hugo Lloris. Pekan lalu, dalam sebuah konferensi pers, ia dengan tegas mengatakan tidak akan akan menggunakan ban kapten pelangi sebagai bentuk kampanye LGBT.
“Tentu saya memiliki pandangan pribadi perihal topik ini (LGBT). Dan itu tak jauh berbeda dengan pandangan bapak presiden (ketua federasi sepak bola Prancis). Ketika kami di Prancis dan menyambut orang asing, kami ingin mereka mengikuti aturan kami, menghormati budaya kami. Dan saya akan melakukan hal yang sama ketika datang ke Qatar. Semudah itu,” ucapnya. Sebelumnya, presiden federasi sepak bola prancis, Noel Le Graet, mengatakan bahwa ia lebih menyukai jika pemain Prancis tidak memakai atribut LGBT untuk menghormati kepercayaan yang ada di Qatar.
Selain LGBT, satu kebiasaan lain di negara minoritas muslim yang bertentangan dengan nilai-nilai lokal Qatar adalah minum alkohol. Suporter yang akan datang ke Qatar tidak bisa seenaknya mengonsumsi alkohol di tempat umum. Alkohol hanya tersedia di tempat-tempat khusus yang telah berizin. Panitia Piala Dunia juga telah menyediakan Fan Zone yang salah satunya disediakan untuk mengonsumsi alkohol.
Inilah salah satu alasan yang membuat Piala Dunia 2022 patut dinantikan. Sejauh manakah masyarakat dari negara minoritas muslim, baik itu pemain, staff, hingga suporter, mampu beradaptasi dengan budaya yang ada di negara mayoritas muslim? Kita tunggu saja. [NH]