Pengetahuan kita tentang Mekah nampaknya lebih didominasi oleh penjelasan “langit” berdasarkan doktrin-doktrin agama, ketimbang penjelasan sosial-budaya yang lebih membumikan kota itu. Hal ini wajar, sebab Mekah adalah kota suci yang menjadi kiblat di mana kita menghadapkan diri setiap kali mendirikan sembahyang. Keinginan kita untuk Haji atau Umroh, tanpa kita sadari, turut membentuk kedekatan emosional kita terhadapnya.
Sayangnya, seringkali, pandangan yang semata-mata berdimensi spiritual ini mengaburkan, atau setidaknya membunuh secara perlahan, rasa ingin tahu kita tentang dimensi sejarah, kebudayaan, dan sosial kota Mekah. Untuk itu, izinkanlah saya menuliskan sekelumit hal tentang Mekah dengan mengacu pada karya Zuhairi Misrawi yang berjudul Mekah: Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim.
Goenawan Mohamad dalam esainya pada November 2012 silam menyebut bahwa berziarah ke kota suci, pada masa kini, bagaikan piknik ke kemewahan. Petilasan Nabi dan peninggalan sejarah lainnya yang menjadi identitas masa lalu dan warisan budaya kota itu telah dihilangkan. Dibuldoser dengan semangat menghilangkan TBC (takhayul, bidah, khurafat) ala Wahabisme di satu sisi, dan kepentingan ekonomi di sisi lain. Kabah kini dikelilingi gedung-gedung menjulang yang menunjukkan kemewahan kota suci yang telah bertransformasi menyerupai Las Vegas atau London.
Akhirnya, mau tidak mau, jika kita ingin melihat kembali warisan budaya masa lalu kota ini kita harus kembali membuka literatur sejarahnya. Menyelaminya terlebih dahulu sembari berdoa semoga kita diberi kesempatan untuk sowan ke Baitullah. Buku Zuhairi Misrawi yang menjadi rujukan utama dalam tulisan ini saya kira merupakan karya dalam bahasa Indonesia yang layak dibaca untuk mengantarkan kita menapaki jejak kesejarahan Mekah. Dilihat dari rujukan-rujukan yang digunakan, buku ini mengelaborasi dengan baik antara literatur klasik Islam dan literatur Barat modern. Mulai dari sejarawan awal Islam seperti al-Thabari, Ibn Jabir, al-Azraqi, Ibn Hisyam, al-Mas’udi, dan Ibn Khaldun sampai ke karya sejumlah Orientalis seperti Snouck Hurgronje, Philip K. Hitti, Patricia Crone, dan Montgomeri Watt.
Titik Temu Para Nabi dan Agama Samawi
Daya tarik Mekah sejak periode paling awal adalah Kabah. Situs suci yang menjadi magnet berbagai umat agama-agama Sawawi dari berbagai penjuru untuk berkunjung dan beribadah dalam rangka mendapatka ketenangan batin. Rumah Tuhan yang dibangun oleh Ibrahim ini disebutkan beberapa kali di dalam Perjanjian Lama dan al-Quran. Nama lain untuk Mekah juga terdapat di beberapa bahasa seperti Miqreb, bahasa Saba Selatan yang berarti tempat suci, Mekwerab, bahasa Ethiopia Lama, yang berarti tempat suci dan pusat perdagangan. Peran Ibrahim sebagai Nabi yang berjasa besar dalam pembangunan Ka’bah dan kemudian kembali ke Palestina dan memiliki putra yaitu Ishak menjadi alasan yang kuat untuk menyebut Mekah dan khususnya Ka’bah sebagai titik temu agama-agama Samawi.
Nabi Adam adalah orang pertama yang menempati Mekah. Sebab, di kota ini Baitullah bersemayam. Setelah wafat, keturunan Nabi Adam mendirikan rumah yang terbuat dari tanah liat dan bebatuan (Misrawi, 75) dan menjadi tempat bermukim sejumlah nabi, di antaranya adalah Nabi Nuh. Beberapa nabi yang meninggal di sekitar Mekah antara lain Nuh, Hud, Syu’aib, dan Shaleh. Adapun Nabi Ibrahim dan Ismail merupakan nabi yang paling berjasa dalam pembangunan Kabah dan peletak dasar ritual haji yang dilakukan umat Islam saat ini.
Sumber Ekonomi
Mekah sebagai kota yang sering dikunjungi manusia dari berbagai penjuru dunia, baik sebelum maupun setelah kedatangan Islam, menjadi sumber ekonomi utama bagi penguasa kota ini. Setelah Ismail, Mekah dikuasai oleh suku Jurhum. Pundi-pundi kekayaan mereka peroleh dengan memanfaatkan kedatangan para penziarah ke Mekah. Kemarau panjang yang melanda kota ini menjadi penyebab hilangnya hegemoni suku Jurhum terhadap Mekah.
Untuk bertahan hidup melawan kemarau itu, mereka menjual air zamzam dan bahkan mencuri hiasan berharga di dalam Kabah. Dikabarkan bahwa saluran air zamzam menjadi mampat lantaran digunakan sebagai tempat menyimpan barang curian tersebut. Kekeringan berkepanjangan ini pula yang kemudian mengantarkan kabilah Khuza’a memukul mundur suku Jurhum dan mengambil alih kota Mekah. Kabilah Khuza’a mengelola Mekah secara profesional dan memberikan pelayanan terbaik bagi para penziarah. Mereka berkuasa selama kurang lebih 300 tahun dan dilanjutkan oleh kabilah Quraisy. Adalah Qushay, salah seorang dari suku Quraisy, berhasil membeli kunci dari Abu Ghibsyan, tokoh kabilah Khuza’a yang suka mabuk dan menukarkan kunci itu dengan minuman keras.
Sejak dikuasai Qushay, dibangunlah sebuah tempat yang disebut Dar al-Nadwa, yaitu tempat berkumpulnya para pembesar Mekah untuk membahas masalah-masalah yang dihadapi mereka, termasuk masalah keagamaan.
Setelah Qushay wafat, kunci itu diserahkan kepada putra tertuanya, Abdu al-Dar, yang kemudian menyebabkan terjadinya perselisihan dengan Abdu Manaf. Perselisihan itu diakhiri dengan pembagian tugas kepada kedua belah pihak: Abd Manaf mengurusi masalah air (al-siqayah), sedangkan Abd al-Dar bertanggung jawab atas kunci panji (al-sadanah) dan pimpinan rapat. Kesepakatan ini berlangsung hingga Islam datang.
Pusat Perdagangan Internasional
Mekah pada masa lalu, sebelum kedatangan Islam, merupakan salah satu jalur perdagangan internasional. Pertama, rute dagang dari Yaman yang menghubungkan antara Timur dan Barat lewat jalur laut melalui Mekah. Kedua, dari Syam yang menghubungkan Asia Kecil dan Eropa Timur dengan Mekah. Ketiga, dari Irak yang menghubungkan jalur darat ke Kabul, Kashmir, Singkiang, sampai ke Kanton dengan Mekah. Keempat, dari Habsyi dan Mesir yang menghubungkan jalur darat antara Alexandria, Mesir dengan Tangier, Ceuta, Maroko, kemudian menyeberangi Selat Gibraltar menuju semenanjung Iberia dengan Mekah (Karim, 2007: hlm. 56-57).
Karena posisinya sebagai tempat singgah para tamu dan pedagang dari berbagai penjuru dunia, penduduk Mekah dikenal sebagai masyarakat yang pandai dalam memuliakan tamu. Sebagaimana yang telah disebutkan, kehadiran para peziarah dan pedangan inilah yang menjadi salah satu faktor berputarnya roda ekonomi kota Mekah. Lebih dari itu, di kemudian hari, memuliakan tamu ini oleh Nabi Muhammad dijadikan sebagai salah satu akhlak terpuji di dalam Islam. Bahkan, sebagai petunjuk keimanan.