Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) pernah mengadakan halaqah nasional kebudayaan pesantren di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Acara tersebut dihadiri oleh banyak penulis, sastrawan, intelektual, redaksi majalah dari berbagai pesantren di nusantara. Hadir pula sebagai pembicara D Zawawi Imron, Jadul Maula, Dr Mastuki, Agus Sunyoto dan Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj membawakan orasi kebudayaan.
Intinya membicarakan nasib perkembangan sastra dan budaya tulis menulis di pesantren. Di satu sisi kini mulai berkembang dengan maraknya majalah-majalah yang dikeluarkan pesantren dan dikelola oleh santri sendiri. Seperti Majalah Misykat oleh Pondok Lirboyo, Kakilangit dari Pondok Langitan, Bulettin Sidogiri, Majalah Tebuireng dan sebagainya. Namun di sisi lain juga merosot. Buktinya kita jarang menemukan kiai yang menggeluti dunia sastra kecuali hanya beberapa saja seperti A Mustofa Bisri, celurit emas alias D Zawawi Imron, A Tohari, Kiai Mbeling atau Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, Habiburaahman El-Shirazy, Zaenal Arifin Thoha, Abidah El Khaliqy, Ishomuddin Hadzik dan lainnya.
Membicarakan sastra kaum sarungan maka tak lepas dari tradisi tulis-menulis yang kental dimiliki ulama tempo dulu. Kita kenal Syekh Mahfudz al-Tarmasi, Nawawi al-Bantani, Ihsan al-Jampasi, atau ulama luar Jawa sekaliber Syekh Hamzah al-Fansuri, Yusuf al-Makasari, Ahmad Khatib al-Minakabawi, Abdurrauf al-Singkili. Mereka semua tercatat dalam sejarah Islam sebagai ulama-ulama Indonesia yang produktif menulis. Karya-karyanya sudah tersebar luas ke seantero jagad.
Sulit dibayangkan bagaimana mungkin kiai jaman dahulu bisa menulis padahal kala itu alat-alat tulis tak mudah diperoleh. Qalam-sebutan pena masa itu-yang digunakan untuk menulis dibuat dari berabagai macam benda, seperti lidi tapas enau (aren), sebilah bambu dan bulu ayam. Qalam yang bagus, menurut D Zawawi Imron, adalah qalam yang dapat menulis huruf ra' seperti layaknya bentuk cerurit orang Madura atau seperti bulan sabit di malam hari, lancip dan runcing.
Setelah qalam selesai dibuat, untuk menulis dibutuhkan yang namanya tinta. Tinta ini diracik dari jelaga yang dicampuri getah pepohonan, atau dapat dibeli di pasaran dalam bentuk padat, belum dicairkan. Untuk kertas, media yang paling banyak digunakan adalah kulit hewan, sebagian juga kertas-kertas hasil import dari Eropa dan Cina. Waktu yang digunakan untuk menulis, para kiai mimilih malam hari. Bahkan ada semboyan: bunyi qalam-goresan pena di atas kertas-pada malam hari akan terdengar sampai langit ketujuh.
Meski peralatan serba tradisional, itu tidak membuat mereka patah semangat. Karya-karya yang mereka lahirkan pun cukup beragam, ada yang berupa natsar (prosa) dan nadzam (puisi). Kiai Bisri Mustofa contohnya, ayahanda Gus Mus ini menyusun banyak kitab syair bahasa Jawa, di antaranya Mitra Sejati dan Ngudi Susilo. Bahkan Tombo Ati yang dinyanyikan Opick hingga banyak digemari publik adalah buah karya Kiai Bisri yang diadaptasi dari maqalahnya sayyidina Ali, ra.
Selain Kiai Bisri, ada banyak kiai pesantren yang menulis karyanya dalam bentuk puisi. Kiai Ahmad Sidiq, Jember, mengarang kitab Tanwir al-Hija yang mengulas fiqh dalam 312 sajak. Maka tak heran karena saking bagusnya susunan kalimat dan isi kandungannya, Syekh Muhammad Ali bin Husain al-Makki, ulama fiqh madzhab Maliki terkemuka Mekkah, mensyarahi (memberi komentar) nadzam tersebut dengan kitabnya yang berjudul Inarat al-Duja sebanyak 212 halaman panjang. Selain itu Kiai Abdul Hamid, Pasuruan, juga mengarang kitab nadzam fiqh yang diilhami dari kitab Sullam Al Taufiq sebanyak 553 bait. Syekh Ihsan al-Jampesi tak kalah uniknya, beliau mengulas permasalahan rokok dalam karyanya Irsyad al-Ikhwan dalam bentuk sajak berirama rajaz.
Baru-baru ini penulis menemukan tiga buah kitab nadzam karya ulama nusantara. Judulnya Mir'ah Afkar al-Rijal karya Kiai Ahmad Zaini, Solo. Kitab yang dieksplorasi dari kitab Ta'lim al-Muta'allim karya fenomenal Syekh al-Zarnuji ini ditashih oleh Syekh Ahmad Sa'd Ali, ulama besar Al-Azhar, dan diterbitkan oleh Salim Nabhan Surabaya pada tahun 1934. Yang lebih mengherankan, di bagian akhir kitab, sang pengarang mengaku untuk menyusun kitab sebanyak 272 sajak ini hanya memakan tempo sepuluh hari.
Dua kitab selanjutnya karya Al Hajj Muhammad As'ad bin Abdurrasyid, Bugis, berjudul Mahya' al-Taysir menerangkan ilmu tafsir, diterbitkan tahun 1937. Dan Sullam al-Usul menjelaskan ilmu usul fiqh dalam 127 bait. Ditashih dan diterbitkan tahun 1947. Ironinya, karena tidak dicetak ulang ketiga karya emas kiai nusantara ini tak banyak diketahui publik, padahal bila dikaji memiliki nilai ilmiah yang begitu tinggi.
Kegandrungan kiai terdahulu dalam bersajak tidak hanya terlampiaskan dalam menyusun kitab. Mereka tak jarang berpolemik dan mengirim surat dengan bahasa puisi yang estetik. Sekitar tahun 1935-an, tiga edisi majalah Berita Nahdlotoel Oelama pernah memuat polemik antarkiai NU dalam suatu masalah diniyah. Anehnya, mereka lebih memilih menulis opininya dengan susunan nadzam berbahasa Arab ketimbang natsar bahasa Jawa.
Alm. Gus Ishom, cucu Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy'ari, pernah mengisahkan bahwa sang kakek pernah berdebat seru dengan Kiai Amar Faqih, Maskumambang Gresik. Keduanya sama-sama menulis kitab agar pendapat salah satu di antara mereka ada yang paling unggul. Namun polemik terus saja berlanjut bahkan tidak ada titik temu sebab dalil dan argumen yang dipakai keduanya merujuk pada Al-Qur'an. Melihat polemik semakin berkepanjangan, spontan Kiai Hasyim menggubah sebuah syair berbahasa Arab:
Aku boleh ragu,
Kalian boleh ragu,
Mereka boleh ragu,
Tapi semua keraguan
tak akan menghapus kebenaran
firman Tuhan
Melalui sajak sederhana tersebut, Kiai Hasyim menegaskan, pendapat seseorang bisa saja diragukan kebenarannya, mengingat manusia adalah tempatnya kesalahan, sebagaimana maqalah populer berbunyi al-insan mahl al al-khatta' wa al nisyan (anusia adalah ladangnya kesalahan dan kelalaian). Akan tetapi, firman Allah SWT yang dijadikan rujukan manusia dalam berbagai macam problematika itu tidaklah diragukan lagi (la raib fih) isinya.
Di salah satu pustaka peninggalan Kiai Hasyim, penulis pernah menemukan surat Kiai Arwani Kudus yang ditujukan untuk Rais Akbar NU itu. Surat tersebut tampaknya sebuah pernyataan Kiai Arwani tentang penentuan hilal Ramadhan dan beberapa hal terkait jamiyah NU yang baru saja didirikan. Uniknya surat berjumlah dua halaman besar itu ternyata terususun dalam gubahan syair sebanyak 39 bait yang semuanya diakhiri huruf alif lam.
Jiwa imajinatif dan puitis kiai terdahulu juga tertuangkan dalam bentuk al-Madaih al-Nabawiyyah atau pujian-pujian kepada nabi Muhammad SAW. Seperti shalawat al-Badriyyah yang sering kita dengar-bahkan menjadi pujian wajib selepas adzan-adalah hasil karya almaghfurlah Kiai Ali Manshur, Tuban. Karena seringnya dilagukan, kita hampir kecelik kalau sebenarnya shalawat itu bukan bikinan orang Arab. Begitu juga shalawat Qur'aniyah, karya Kiai Abdullah Umar asal Semarang.
***
Wacana di atas menunjukkan betapa antusiasnya kiai terdahulu terhadap sastra. Bukan hanya menulis dan menggemari syair, sampai-sampai berpolemik dan menulis surat pun menggunakan sajak-sajak indah. Diantara alasan mereka menyukai sajak adalah al hadits al syarif yang berbunyi "inna fi as syi'ri lahikmatan" (Sesungguhnya dalam puisi terdapat hikmah besar).
Dahulu pelajar Indonesia yang meneruskan thalabul ilminya sampai Timur Tengah amat minim. Berbeda dengan sekarang yang setiap tahunnya mencapai puluhan bahkan ratusan pelajar dari berbagai kota di Indonesia. Namun mengapa para kiai, gus, ustadz dan santri, lebih-lebih mereka yang pernah merasakan hidup lama di Arab, tak banyak yang menghasilkan karya? Jangankan berbahsa Arab, yang berbahsa Indonesia saja bisa dihitung jumlahnya.
Anehnya, mereka justru lebih tertarik terjun ke ranah politik ketimbang dunia pena dan sastra. Tidak sedikit yang mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah, padahal -maaf- belum tentu masyarakat lain mendukung. Menurut tinjauan hukum memang tidak masalah, tapi apa tidak khawatir kalau pesantren akan kering dari sentuhan sastra?
Di samping itu kita juga takut kalau kaum santri tidak lagi mengkonsumsi sastra Islami. Mereka lebih suka membaca novel-novel remaja yang isinya tidak karuan, lebih gemar membaca komik tak berpendidik dari pada menggeluti sastra indah yang sebenarnya mereka miliki sendiri. Dengan begitu secara tak sadar, pesantren telah dijajah!
Maka dari itu, langkah awal yang harus dilakukan pesantren adalah, membiasakan para pemimpinnya untuk bisa berdakwah bi al-qalam (menulis) jangan hanya bisa bi al-lisan (pidato). Para santri yang sekian banyak jumlahnya dikerahkan untuk produktif dan kreatif menghasilkan karya. Biarkan mereka berekspresi sesuka hati, jangan hanya disuruh mengaji dan ibadah. Berkarya pun memiliki peran penting dalam dunia ilmi.
Untuk menampung semua karya, pihak pesantren setidaknya menyediakan wadah khusus semacam unit percetakan. Sehingga karya-karya mereka bisa dinikmati oleh kalangan luas. Kini pun telah banyak penerbit yang mengapresiasikan buah pena santri seperti Mizan, LKiS, Khalista, Risalah Gusti, Mata Air, Republika dan sebagainya. Dengan begitu kita bisa membentengi diri dari berbagai macam bentuk penjajahan yang terjadi di pesantren. Hadanallah bi kitabihi al-mubin. Amin
Sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,50-id,54643-lang,id-c,esai-t,Pesantren++Produktifitas+dan+Sastra-.phpx