Sore ini saya sedikit tergelitik membaca pesan di whataaps grup saya. Seorang teman saya yang berpaham wahabi curhat. Katanya tempat kantornya sudah setahunan ini terpecah belah. Sering terjadi perang dingin antar karyawan. Kemudian dia menambahkan lagi, padahal banyak teman kerja wanitanya menggunakan jilbab yang besar-besar yang notabene menurut dia ilmu agamanya bagus. Dalam curhatnya dia mengeluhkan, jilbabnya besar-besar tapi hati dan perbuatannya tidak baik.
Dalam pandangan kebanyakan orang, seseorang yang menampakkan identitas tertentu yang berkaitan dengan keagamaan adalah orang yang “saleh”. Jadi, dalam kacamata umum, laki-laki yang memelihara jenggot, menggunakan celana yang panjangnya di atas mata kaki, di jidat kepalanya ada tanda kehitaman adalah orang saleh. Kemudian wanita yang menggunakan jilbab lebar, bahkan bercadar adalah wanita shalihah.
Sebagai orang muslimah yang berpikiran agak liberal, saya mengkritisi hal tersebut. Sebetulnya, tidak mengapa kebanyakan orang berpikiran demikian. Saya juga muslim, saya tidak asing lagi dengan identitas tersebut. Saya netral dengan hal demikian, meskipun saya hanya memakia jilbab kain paris yang notabene cukup tipis.
Dari pengamatan saya, yang ini berarti subyektivitas pribadi, rata-rata orang yang begituan (memakai jilbab besar bagi wanita, dan laki-laki yang memelihara jenggot, menggunakan celana cingkrang) rata-rata menganut paham salafi wahabi. Dimana menurut saya, mereka kurang luwes pemikirannya. Dan lagi-lagi kebanyakan teman kantor saya yang baru belajar agama rata-rata masuk ke paham ini. Jadi kadang bila membicarakan agama dengan mereka, kadang agak “menyebalkan” karena mereka ngeyelan, merasa paling benar sendiri, bahkan terkadang menyalahkan paham orang lain.
Karena mereka masih taraf belajar, kadang pemikiran mereka masih sempit. Sialnya paham mereka itu merupakan paham yang tidak terbuka terhadap kritik, apalagi diskusi. Jadi mandeg bila membahas suatu hal tentang agama dengan mereka. Kalo kata ustad mereka bilang A, ya harus A. Tanpa menggali penafsiran lainnya. Pola pengajian yang demikian menurut saya akan melahirkan sifat otoriter. Apalagi paham mereka mengarah ke patriarki. Oh, betapa menjemukannya berhadapan dengan mereka dengan posisi saya sebagai wanita.
Saya tidak menjelek-jelekkan teman-teman saya yang baru belajar agama. Saya menghargai niat mereka untuk belajar. Tapi mbok ya kalo belajar, jangan cuma satu aliran. Pelajari aliran-aliran Islam yang lain dengan obyektif. Temukan aliran yang moderat yang menentramkan semua pihak. Kan Islam itu rahmatan lil’alamin.
ALLAH menciptakan bangsa-bangsa di dunia ini untuk saling kenal-mengenal. Jadi bukan cuma bangsa Arab saja yang diunggul-unggulkan. Jadi pelajarilah negara lain, liat keanekaragaman disana. Ambil pelajaran dari sana. Lihat youtube tentang bangsa-bangsa lain. Semuanya indah. Gunakan teknologi yang ada dengan baik. Gunakan twitter untuk melihat pemikiran orang-orang hebat di luar sana. Manfaatkan youtube untuk tadabur keindahan alam di bumi ini. Youtube isinya engga hanya tausiyah ustadz yang kalian ikuti saja. Lebarkan sayap pikiranmu, niscaya dirimu jadi bijak.
Dan lagi jangan liat orang dari luarnya saja. Liatlah perilaku dan akhlaknya. Jangan tertipu kata dan tampilan saja. Ok, teman-temanku, aku sayang kalian. Mari kita terus belajar agama.