Saya beruntung pernah berada di lingkungan pesantren bernuansa salaf yang membuat saya berjumpa dengan banyak hal-hal terkaitkeilmuan Islam. Satu dari banyak hal itu adalah adanya tradisi periwayatan hadismusalsal yang diperuntukkan bagi santri-santri di kelas 3 Aliyah.Secara sederhana, hadis musalsal adalah hadis yang diriwayatkandengan cara penyampaiannya meniru cara periwayatan Nabi Muhammad SAW, baik dari lafal atau pun perbuatan/perilaku. Sejak zaman Nabi hingga sekarang, ya seperti itu cara penyampaiannya.
Dalam pembacaan hadis biasanya disebutkan nama-nama perawi tanpa terkecuali, hingga sampai Nabi Muhammad SAW. Hal ini dilakukan untuk menjamin keaslian sebuah hadis, juga sebagai bukti bahwa ilmu yang didapat benar-benar nyambung kepada baginda Rasulullah SAW.
Selain musalsal, di pesantren setiap kitab yang dipelajari selalu diiringi pemberian ijazah dan sanad di akhir pengajian. Ijazah diberikan untuk memberi kewenangan kepada santri untuk mengajar kitab tersebut, sementara sanad digunakan untuk menjaga rantai keilmuan. Artinya, sanad membuktikan bahwa si santri benar-benar mengaji pada seorang guru yang guru tersebut memiliki guru dan seterusnya.
Tradisi keilmuan semacam ini tidak saya temukan di lembaga lain, lebih-lebih di lembaga pendidikan formal. Bisa jadi, model seperti ini dianggap usang dan tidak ramah terhadap perkembangan zaman. Apalagi ketika zaman sudah bergeser ke era digital, mempelajari agama secara rumit a la pesantren salaf hanya membuat orang tidak cepat mengerti persoalan agama.
Sebagai contoh, di pesantren seorang santri tidak diperbolehkan mengajar suatu kitab jika belum mendapat ijazah dari seorang guru. Oleh karenanya, banyak santri berburu ijazah ketika bulan Ramadan tiba dengan mengaji selama beberapa hari di suatu pesantren. Ini biasa disebut ngaji pasaran. Sementara saat ini, kemajuan teknologi telah membuat seseorang menjadi master di segala bidang ilmu. Tanpa harus mendapat ijazah, banyak orang awam berani berfatwa dan mengerdilkan para ahli ilmu hanya melalui materi yang ditemukan di internet.
Saya mbrebes mili ketika orang sekelas Habib Quraish Shihab dan Buya Syafi’i Maarif mendapat perlakuan keji dari orang-orang yang bersebrangan dengan mereka di media sosial. Padahal keduanya adalah ahli ilmu yang karyanya diakui oleh dunia internasional dan menjadi rujukan orang untuk mengenal keilmuan Islam. Tentu saja, keilmuan mereka nyambung dengan baginda Rasulullah SAW. Sementara para penghujat adalah orang-orang yang bahkan hukum nun mati bertemu huruf mim saja tidak ngerti nama dan cara bacanya seperti apa.
Saya masih sangat ingat pesan salah seorang kiai saya untuk bersikap hati-hati dalam bersikap, terutama yang menyangkut agama. Perbedaan bukan berarti benar pada satu pihak dan salah pada pihak lain sehingga boleh berlaku sewenang-wenang terhadap yang berbeda. Imam Syafii saja berbeda pandangan terhadap Imam Malik, gurunya, terkait hukum anjing. Imam Malik mengatakan anjing tidak najis, sementara Imam Syafi’i sebaliknya. Tetapi perbedaan itu sama sekali tidak mengurangi keta’dziman seorang murid terhadap gurunya.
Pada kesempatan yang lain, saya mendapat wejangan untuk berhati-hati mengamalkan hadis “Baligghu ‘anniy walau ayah”, sampaikanlah (apa yang kau dengar dariku) walau hanya satu ayat. Hadis ini tidak bisa diartikan secara sembarangan bin serampangan. Misalnya orang baru mengerti secuil ilmu agama, lalu ia menyampaikan dengan semangat membara sampai-sampai menghardik dan menyalahkan orang-orang yang ilmunya jauh lebih luas.
Sayangnya di masa kini banyak orang bodoh bersuara lantang mengatasnamakan agama. Padahal jika ditanya dari mana belajar agama, mungkin mereka tidak ngerti sambungan ilmunya sampai ke siapa. Kegaduhan yang terjadi beberapa waktu terakhir adalah karena orang-orang bodoh tidak mau diam.
Fenomena kegaduhan (fitnah) atas nama agama ini seakan menjadi jawaban atas pertanyaan penulis beberapa waktu silam. Saat itu, salah seorang guru yang juga mursyid Thariqah, KH Nafi’ Abdillah rahimahullah, berpesan kepada para santri agar senantiasa merasa bodoh. Dengan terus merasa bodoh maka seseorang terhindar dari rasa malas belajar.Dengan terus belajar, seseorang akan menjadi bijak dalam melihat persoalan. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin besar rasa toleransinya, begitu kata Gus Dur.
Hal ini ditegaskan dengan perkataan khalifah Ali ibn Abi Thalib RA. “Jika orang-orang bodoh diam, maka tidak akan timbul fitnah di dalam Islam”. Semoga kita terhindar dari segala fitnah akhir zaman dan senantiasa diberi kekuatan untuk terus belajar menjadi manusia yang bijak. Amin.Wallahua’lam.