Santri di kawasan Krapyak Yogyakarta menyebutnya sebagai Pak Ali. Sebutan “Pak” merupakan keinginan beliau, agar dirinya serta putra dan cucunya tidak disebut dengan Gus, Kiai, ataupun Simbah Kiai, namun cukup dengan Pak. Menandaskan kesederhanaan, egalitarianisme dan komunikasi dialogis yang dibangunnya bersama santri. Setiap santri yang pernah mengaji kepada beliau, semua merasa dekat, bahkan merasa sangat dekat. Inilah keistemewaan Kiai Ali Maksum, yang sanggup menyentuh emosi dan hubungan empatik dengan semua: dari santri hingga tukang pijit.
Dalam kisah yang disampaikan Gus Mus, Kiai Ali dipanggil Pak karena rasa cinta santri-santri kepada beliau. Juga, kedekatan emosional Kiai Ali kepada santri-santrinya. Dalam mengajar, Kiai Ali sangat tegas, disiplin sekaligus penyayang dan penuh keramahan. Kiai Ali sangat marah jika santrinya tidak serius dalam mengaji, terutama dalam jadwal sorogan (ngaji setoran dengan membaca kitab di hadapan Kiai). Ketika santri yang tidak disiplin sorogan, Kiai Ali akan marah. Hal ini, diungkapkan cucu beliau, Kiai Hilmy Muhammad, di sela-sela ngaji di pesantren Krapyak. Namun, Kiai Ali menjadi lembut dan penuh kasih sayang, dengan santri-santrinya yang rajin mengaji.
Santri Kelana
Kiai Ali Maksum merupakan putra dari Kiai Ma’shum bin Ahmad Abdul Karim. Ibunda Kiai Ali, bernama Nyai Nuriyah binti Kiai Muhammad Zain Lain, yang sanadnya tersambung hingga Syaikh Abdurrahman Basyaiban (Mbah Sambu Lasem). Kiai Ali lahir pada 02 Maret 1915 di Soditan, Lasem, Rembang, sebuah kawasan pesisir di pantai utara Jawa Tengah.
Sejak kecil, Kiai Ali dibimbing langsung oleh ayahandanya, di pesantren al-Hidayat Lasem. Di al-Hidayat, terkenal sebagai episentrum pengajaran kitab al-fiyyah Ibn Malik beserta Syarahnya Ibn ‘aqil dan kitab Jam’ul Jawami’. Ayah Kiai Ali, merupakan santri Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng Jombang. Kiai Ma’shum juga merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, ketika rapat kiai-kiai pada 1926 di Surabaya. Dengan demikian, darah pesantren dan perjuangan pergerakan mengalir deras dalam diri Kiai Ali Maksum.
Usai mengaji kepada ayahandanya, ia melanjutkan mengaji di pesantren Tremas, asuhan Kiai Dhimyati. Di usia 12 tahun, ia harus rela meninggalkan rumah untuk menjadi santri kelana, menelusuri petualangan ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Pada 1927, secara resmi, putra Kiai Ma’shum ini mengaji kepada Kiai Dhimyati, dengan bermukim di pesantren Tremas, Pacitan. Ia mendapat keistemewaan, karena kedetakan Kiai Ma’shum dengan Kiai Dhimyati, yang merupakan teman karib. Ali Maksum remaja, mendapat kamar istimewa dengan tinggal di kamar ndalem, yakni komplek keluarga Kiai. Di sisi lain, Kiai Dhimyati juga menitipkan putranya, Habib Dhimyati dan Hamid Dhimyati kepada Kiai Ma’shum di pesantren al-Hidayat Lasem.
Sebagai santri, Pak Ali sangat bersemangat dalam belajar. Bahkan, kamarnya sering berantakan karena banyaknya kitab yang terbuka, karena dibutuhkan untuk belajar. Pak Ali mempelajari kitab lintas madzhab dan juga ulama-ulama pembaharu, semisal kitab Tafsir al-Manar karya Rashid Ridha, kitab al-Maraghi dan beberapa kitab lain. Inilah yang menjadikan beliau sebagai seorang yang memiliki pemikiran terbuka, mudah berdialog dan menghargai pemikiran santri-santri maupun pihak lain.
Kiai Ali Ma’shum menulis beberapa kitab, yang diajarkan di pesantren. Di antara karyanya, yakni metode pembelajaran ilmu sharaf bernama “as-sharful wadhih”. Metode ini, sangat berbeda dengan kitab-kitab sejenis, seperti “al-amtsilah at-tashrifiyyah” karya Kiai Muhammad Ma’shum bin Ali dari Jombang. Keluasan ilmu serta kematangan berpikir, menjadikan Kiai Ali Ma’shum diminta oleh Kiai Dhimyati untuk mengajar santri di pesantren Tremas, sebelum boyong dari pesantren ini.
Pada kisaran 1935, Kiai Ali Ma’shum membantu ayahandanya mengajar di pesantren al-Hidayah. Ketika kembali ke Lasem, Kiai Ali Ma’shum menerapkan prinsip pembenahan pesantren, dengan melakukan penyegaran dalam sistem pembelajaran dan pendekatan kepada santri. Ia berprinsip bahwa sesuatu yang lama yang baik harus dipertahankan, serta menambah hal-hal baru yang lebih baik. Sesuai dengan kaidah, “al-muhafadzatu ala al-qadimi as-shalih, wal akhdzu bil jadidi al-ashlah”.
Kemudian, pada 1938, Kiai Ali Maksum menikah dengan Nyai Hasyimah, putri Kiai Muhammad Munawir. Setelah menikah, selang beberapa hari, Kiai Ali mendapatkan tawaran untuk Haji ke Baitullah. Kiai Ali menggunakan kesempatan ini, untuk belajar dan mengaji kepada beberapa ulama di Makkah al-Mukarramah. Sungguh, semangat besar Kiai Ali untuk thalabul ilm menjadi teladan bagi santri-santri masa kini. Di Makkah, Kiai Ali berguru kepada Sayyid Alwi Abbas al-Maliki (ayahanda Dr. Muhammad Alwi Abbas al-Maliki), Syaikh Umar Hamdan, dan beberapa ulama lain.
Pesantren Krapyak mengalami masa transisi, ketika Kiai Muhammad Munawir wafat pada 11 Jumadil Akhir, 1368 H. Wafatnya Kiai Munawir, sebagai guru utama di pesantren Krapyak, menjadikan penerus dan keturunan beliau mengambil peran sebagai tulang punggung pesantren. Kiai Raden Abdullah Affandi dan Kiai Raden Abdul Qadir Munawir menjadi pengasuh santri. Pada waktu itu, keluarga bani Munawir berkehendak untuk memboyong Kiai Ali Maksum ke pesantren Krapyak. Tiga kali kesempatan keluarga Bani Munawir memohon kepada keluarga Kiai Ali di Lasem agar bersedia ke Krapyak, membantu mengembangkan pesantren. Akhirnya, Kiai Ma’shum, ayahanda Kiai Ali mengizinkan putranya mengabdi untuk meneruskan perjuangan Kiai Munawir.
Pesan Cinta Sang Kiai
Kiai Ali Maksum merupakan seorang kiai yang penuh cinta kasih, menebar petuah-petuah cinta dan keramahan dalam setiap langkah hidupnya. Gus Mus, salah satu murid kinasih Kiai Ali Ma’shum, memberi kesaksian.
“Hanya di pesantren Krapyak ini, santri kehabisan uang malah pinjam kiainya. Dulu, di setiap sudut pesantren dipasangi speaker timbal balik. Ketika Pak Ali ngendikan (bicara), bisa didengar santri dan begitu pun sebaliknya. Jadi, Pak Ali itu tahu semua polah tingkah santri-santri. Jika ada santri yang malu-malu pinjam sama Pak Ali, santri itu bicara di dekat speaker. Bilang kalau enggak punya uang. Masyaallah, Pak Ali mendengar keluhan santri tersebut langsung meminjaminya. Kalau tidak Pak Ali, tidak mungkin ada,” kenang Gus Mus, pada agenda Haul ke-25 KH Ali Ma’shum di pesantren Krapyak Yogyakarta, 10 Maret 2014. Keramahan, kedermawanan, dan kedekatan sebagai Bapak, merupakan pesan cinta sang Kiai, agar pesantren menghasilkan santri-santri yang mempelajari ilmu pengetahuan dengan hati, mengajar masyarakat dengan keramahan.
Gus Mus juga mengisahkan bahwa Kiai Ali Ma’shum sangat dermawan. Rais Am PBNU 1980-1984 ini dengan ikhlas menyatakan bahwa barang-barangnya yang diambil santri dihalalkan. “Semua barangku yang diambil oleh santri, saya halalkan. Asalkan tidak ketahuan,” ungkap Gus Mus meniru Kiai Ali Ma’shum. Selain itu, kisah Gus Mus, Kiai Ali hafal semua nama santri.
“Kiai Ali itu hafal semua nama santri. Kalau ada haulnya Kiai Munawir atau acara mantenan, semua santri itu dikasih undangan dan ditandatangani langsung oleh Kiai Ali. Jadi enggak enak kalau ndak datang,” terang Gus Mus.
Kiai Ali Maksum wafat setelah perhelatan besar Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di pesantren al-Munawir, Krapyak, Yogyakarta. Pada waktu muktamar, Kiai Ali sudah merasa sakit, namun tetap menghormati tamu-tamu yang berdatangan ke agenda muktamar. Seminggu setelah muktamar, Kiai Ali menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau wafat pada 07 Desember 1989. Jenazahnya dimakamkan di samping makam mertua beliau, Kiai Muhammad Munawir, di Senggotan, Dongkelan, Yogyakarta. Alfaatihah [].
*Munawir Aziz, peneliti dan peziarah, Wakil Sekretaris Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, aktif di Gerakan Islam Cinta. Silaturahmi via @MunawirAziz