Sebagai makhluk yang paling purna di antara makhluk ciptaan Allah SWT yang lain, manusia memang patut mengemban tugas kepemimpinan di altar Bumi (khalifah fil ardl). Dalam perjalanannya, manusia saling bahu-membahu, gotong-royong untuk mencapai kebutuhan masing-masing. Selama hal tersebut berada dalam garis kebenaran tentu harus diapresiasi. Sebab bagaimanapun juga masing-masing manusia memanggul tugas mulia yakni, wata’awanu alal birri wattaqwa (tolong-menolong dalam ketakwaan).
Tetapi, beragamnya kepentingan tiap-tiap individu acap kali saling-silang, lempar-lapor, dan tuduh menuduh menjadi tren yang -seharusnya dihindari justru- dipertontonkan. Aib yang seharusnya disimpan dan ditutup rapat-rapat malah diumbar kepermukaan. Selanjutnya, alih-alih merawat silaturrahmi, keberadaan yang satu tidak diharapkan oleh yang lain. Oleh karena itu, Imam Ghazali mengumpamakan manusia seperti tiga hal;
الناس ثلاثة أحدهم مثله مثل الغداء لايستغنى عنه والثاني مثله مثل الدواء يحتاج اليه في وقت دون وقت والثالثة مثله مثل الداء لايحتاج اليه قط
Manusia itu ada tiga. Pertama, manusia perumpamaanya seperti makanan yang terus-menerus dibutuhkan. Kedua, perumpamaan manusia seperti obat yang dibutuhkan sewaktu-waktu. Ketiga, perumpamaan manusia seperti penyakit yang sama sekali tidak dibutuhkan.(Imam Gazali dalam kitab syarh Muraqiy al-Ubudiyahhalaman 92).
Pertama, manusia seperti makanan. Adakah manusia yang tidak butuh pada makanan? Tentu, jawabannya pasti tidak ada. Artinya, makanan akan selalu -dan terus- dibutuhkan oleh manusia dalam perjalanan hidup di dunia tanpa peduli laki-laki dan perempuan, tua-muda, dan strata sosial. Karena makan adalah salah satu cara agar manusia dapat bertahan hidup meskipun pada akhirnya juga akan dijemput ajal.
Betapa beruntung dan nikmatnya bila kita tergolong manusia seumpama makanan ini. Kita dibutuhkan terus-menerus karena keberadaan kita menyumbang manfaat kepada manusia yang lain. Bahkan kehidupan seperti akan berhenti jika tanpa kita. Layaknya, manusia tanpa makanan -secara logika- yang tidak dapat bertahan hidup. Perumpamaan manusia seperti makanan ini menempati posisi tertinggi dari jenis-jenis yang lain.
Kedua, perumpamaan manusia seperti obat. Benar sekali! Obat tidak selamanya dibutuhkan. Ada kalanya, sewaktu-waktu kita butuh ada kalanya tidak. Misal, salah satu di antara kita mengidap suatu penyakit maka butuh obat untuk menyembuhkannya sebagai wujud dari ikhtiyar kita. Apabila sudah dan sedang sehat, tak perlu repot mencari obat karena memang tidak membutuhkannya.
Menjadi manusia perumpamaan kedua ini masih bernilai karena keberadaannya dapat memberi sumbangsih kepada yang lain. Walaupun kebutuhan manusia pada jenis manusia yang kedua ini berkala. Gampangnya, ibarat kebutuhan manusia pada dokter. Seorang pasien akan berusaha keras menemui dokter dengan harapan dapat sembuh dari sakit yang diderita. Kalau sedang sehat, iya cukup dengan syukur-syukur banyak karena tak perlu mencari dokter.
Ketiga, perumpamaan manusia seperti penyakit. Adakah orang yang membutuhkan penyakit? Selama akal masih sehat dan normal tentu tidak ada yang membutuhkan penyakit. Bahkan, andai penyakit dapat ditolak dan bisa dibuang, tentu kita akan membuangnya jauh-jauh agar semua manusia terbebas dari penyakit. Artinya, dalam situasi dan kondisi apapun, penyakit tidak mungkin dibutuhkan.
Wahai anak Adam, betapa celakanya bila sebagian di antara kita ada yang tergolong dari manusia jenis ketiga ini. Tidak berguna, tidak diharapkan, dan keberadaannya hanya menjadi beban dalam kehidupan manusia. Bahkan manusia jenis ketiga ini tak ubahnya seperti barang yang menjijikkan. Alih-alih membutuhkan, mendengar namanya saja (penyakit) sudah pasti kita menghindarinya. Karena jenis manusia ini tidak bernilai, maka ialah serendah-rendah tingkat manusia.
Semoga senantiasa Allah memberi ma’unah agar kita menjadi manusia yang berguna untuk kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Bicara nilai guna manusia, tidakkah kita tergiur dengan sabda Rasulullah:
عَنِ جابر، رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ : قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم: خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاس
Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Wallahu A’lam.