Dunia saat ini menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim yang berdampak luas pada kehidupan manusia dan ekosistem. Perubahan iklim ini memperparah ketidakadilan sosial, di mana kelompok rentan seperti masyarakat miskin dan perempuan paling merasakan dampaknya. Aksi iklim sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan. Dampak perubahan iklim berbeda antara laki-laki dan perempuan, terutama yang berada dalam kondisi kemiskinan, mereka cenderung menghadapi beban yang lebih berat.
Sayangnya, kebijakan iklim sebagian besar gagal memperhitungkan dampak-dampak khusus berdasarkan gender ini. Untuk mencapai keadilan iklim bagi perempuan, keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan sangatlah penting.
Kurangnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan pada kebijakan perubahan iklim salah satunya dikarenakan masih melekatnya budaya patriarki. Budaya ini membatasi perempuan dalam pengambilan keputusan, yang akhirnya mengurangi partisipasi mereka dalam isu lingkungan dan perubahan iklim (Solidaritas Perempuan, 2012). Laporan European Institute for Gender Equality (EIGE) tahun 2012 mengungkapkan bahwa “partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan terkait perubahan iklim di tingkat nasional, Eropa, dan internasional masih rendah” dan bahwa perempuan hanya merupakan sebagian kecil lulusan di bidang sains dan teknologi yang penting untuk menangani perubahan iklim.
Keputusan pendanaan iklim—tentang bagaimana dana dialokasikan di tingkat lokal, regional, atau global untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim—sering kali tidak memperhatikan kebutuhan dan pandangan perempuan, sehingga mengurangi efektivitas upaya tersebut (Schalatek, 2009).
Dalam hal representasi, mayoritas pembuat kebijakan adalah laki-laki, yang menyebabkan pengalaman perempuan terkait perubahan iklim kurang terwakili. Selain itu, pada tingkat teoretis, perspektif etika feminis dan metodologi sering diabaikan dalam diskusi kebijakan (Nagel, 2015). Akibatnya, kebijakan perubahan iklim tetap bias gender dan sering kali merugikan kepentingan perempuan.
Ketidakadilan gender dalam menghadapi perubahan iklim dan bencana alam tampak jelas, mulai dari kesiapan, pencegahan, hingga pemulihan. Dalam situasi bencana, perempuan harus menghadapi beban ganda, yaitu memenuhi kebutuhan keluarga, menjaga aset, dan mengutamakan keselamatan keluarga, terutama anak-anak, sebelum memikirkan dirinya sendiri. Fakta ini sejalan dengan hasil penelitian Oxfam tahun 2005 yang melaporkan bahwa dari empat desa di Kabupaten Aceh Utara, mayoritas korban meninggal dalam bencana tsunami Aceh 2004 (77%) adalah perempuan.
Bencana seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan peristiwa ekstrem lainnya yang disebabkan oleh perubahan iklim sering memicu peningkatan kekerasan berbasis gender. Hal ini terjadi karena perempuan berusaha bertahan menghadapi dampak cuaca ekstrem, kerusakan lingkungan, serta konflik dan ketidakstabilan yang disebabkan oleh iklim. Salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang meningkat adalah pernikahan anak, yang sering terjadi di beberapa daerah saat mereka menghadapi bencana iklim (Human Rights Watch, 2015; UNFPA, 2021). Peningkatan kekerasan ini mengurangi kemampuan adaptasi perempuan dan anak perempuan, melemahkan ketahanan terhadap perubahan iklim, dan menciptakan lingkaran masalah yang semakin memperburuk keadaan.
Kepemimpinan Perempuan dalam Isu Lingkungan
Kesenjangan gender dalam pengambilan keputusan di bidang lingkungan masih ada di banyak negara dan di sejumlah sektor, terutama di negara berpenghasilan rendah dan industri yang sangat bergantung pada lingkungan. Misalnya, di negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), perempuan mengisi 39% posisi menteri lingkungan, tetapi di negara-negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, angka ini jauh lebih rendah. Selain itu, perempuan juga jarang menduduki posisi kepemimpinan di kementerian yang terkait dengan infrastruktur lingkungan seperti energi, transportasi, dan komunikasi (OECD,2019).
Keterbatasan data dan luasnya ruang gerak masyarakat sipil membuat sulit untuk mengukur secara tepat partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam aksi lingkungan di tingkat akar rumput. Namun, analisis LSM yang hadir di Konferensi UNFCCC 2021 di Glasgow (COP26) memberikan gambaran tentang representasi perempuan di negosiasi iklim internasional. Di COP26, perempuan mewakili 44,2% delegasi dari LSM lingkungan, 42,2% dari organisasi masyarakat adat, dan 43,6% dari LSM bisnis dan industri. Data dari UNFCCC juga menunjukkan bahwa pada Women and Gender Constituencies (WGC), proporsi perempuan jauh lebih tinggi, mencapai 75%, dibandingkan dengan rata-rata 40-45% di LSM lainnya (UNFCCC, 2021)
Keadaan tidak jauh berbeda juga terjadi di Indonesia. Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta ‘’Gerakan Green Islam di Indonesia: Aktor, Strategi dan Jaringan’’ memotret inklusivitas dan kesetaraan kepemimpinan organisasi atau komunitas lingkungan yang terlibat dalam gerakan Green Islam menunjukan masih rendahnya organisasi atau komunitas Green Islam yang dipimpin oleh perempuan.
Gambar di bawah menampilkan bahwa dari total 146 organisasi atau komunitas lingkungan yang terlibat dalam gerakan Green Islam, terdapat 33 kelompok atau 24% organisasi atau komunitas yang dipimpin oleh perempuan. Sementara itu, mayoritas organisasi atau komunitas lingkungan yang terlibat dalam gerakan Green Islam masih didominasi oleh kepemimpinan laki-laki, yaitu 113 atau 76% dari total kelompok. Contoh organisasi yang dipimpin perempuan adalah LLHPB Aisyiyah dan Persaudaraan Muslimah (Salimah). Kedua organisasi ini memang secara khusus memiliki basis keanggotaan dan berada di bawah kepemimpinan perempuan.
Gambar Kepemimpinan Organisasi atau Komunitas Lingkungan Berdasarkan Gender
Kepemimpinan perempuan di bidang lingkungan tidak hanya meningkatkan keadilan representasi dan memberi perhatian lebih besar pada dampak lingkungan yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan, tetapi juga memperkuat aksi lingkungan secara keseluruhan.
Penelitian PPIM UIN Jakarta Gerakan Green Islam di Indonesia: Aktor, Strategi dan Jaringan menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam memimpin organisasi atau komunitas bisa menghasilkan kebijakan lingkungan yang lebih baik dan mendorong investasi berkelanjutan di sektor publik maupun swasta. Mengatasi berbagai bentuk diskriminasi yang dialami perempuan dan mendukung potensi kepemimpinan mereka sangat penting untuk meningkatkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan lingkungan. Penting juga untuk mengakui dan mendukung peran perempuan, termasuk perempuan adat dan kelompok yang terpinggirkan, dalam aksi lingkungan.
Kepemimpinan perempuan dalam pembuatan kebijakan terkait perubahan iklim sangat penting karena mereka sering membawa perspektif unik yang lebih inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan. Perempuan, terutama di komunitas yang terdampak langsung oleh perubahan iklim, memiliki pengetahuan lokal yang mendalam tentang bagaimana mengelola sumber daya alam secara efisien dan adaptif. Hal ini membuat mereka mampu menawarkan solusi yang lebih relevan dalam konteks mitigasi dan adaptasi iklim. Di panggung internasional, partisipasi perempuan dalam diskusi tentang perubahan iklim sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencakup seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang paling rentan. Laporan “Women, Policy and Political Leadership: Environmental Sustainability and Climate Change Policies” yang diterbitkan pada tahun 2016 oleh United Nations Development Programme (UNDP) menunjukkan bahwa negara-negara dengan lebih banyak perempuan dalam kepemimpinan politik cenderung memiliki kebijakan lingkungan yang lebih ambisius dan progresif. Oleh karena itu, memperkuat representasi perempuan dalam forum-forum global terkait mitigasi perubahan iklim tidak hanya meningkatkan inklusivitas, tetapi juga mempercepat terciptanya solusi yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Tulisan ini berbasis riset dan ditulis oleh Tati Rohayati, peneliti di PPIM UIN Jakarta dan Dosen Sejarah Peradaban Islam di FAH UIN Jakarta dan Firda Amalia adalah asisten peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.