Percaya kepada adanya Tuhan tentunya merupakan komponen utama dan paling penting dalam semua sistem keyakinan agama, termasuk mencakup di antaranya ialah sistem etika. Seperti kita tahu, para teolog dan orang awam sama-sama dari dulu sampai sekarang menghabiskan banyak waktu dan mengerahkan segenap usaha untuk mencoba memahami sifat Tuhan. Namun sayangnya, kita melihat ada satu pertanyaan yang sering diabaikan dalam usaha memahami sifat Tuhan tersebut, yakni, Tuhan seperti apa yang secara etis layak dipercayai.
Sama seperti agama monoteistik lainnya yang muncul dari Zaman Aksial (900-200 SM), dalam agama Islam — yang merupakan basis keimanan dan keyakinan saya — pertanyaan yang sering diajukan oleh para teolog mengenai Tuhan biasanya dibingkai dalam pengertian: Tuhan seperti apa yang layak disembah. Lebih dari itu, jawaban atas pertanyaan ini lebih banyak menekankan pada sifat-sifat Tuhan tertentu seperti sifat kemahatahuan dan kemahakuasaan.
Pendekatan-pendekatan terhadap konsep Tuhan yang menekankan atribut-atribut transenden — baik dalam tradisi Yahudi, Kristen, atau Islam — tidak hanya cenderung mengabaikan aspek cinta dan kasih sayang Ilahi, namun juga tidak mampu membebaskan Tuhan dari kegagalan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Kerangka pikir seperti ini sama saja dengan mendukung apa yang saya sebut sebagai pemahaman non-etis tentang Tuhan.
Berangkat dari asumsi ini, pertanyaan yang mungkin muncul ialah apa artinya pendekatan etis dalam memahami Tuhan? Pendekatan etis sedikitnya merupakan pendekatan yang menolak untuk memahami Tuhan sebagai hakikat yang memiliki karakteristik yang tidak kita sukai jika kita mengaitkannya dengan sifat yang ada dalam diri manusia.
Pendekatan etis dalam memahami Tuhan, menurut Tes Lismus ini, menolak setiap kepercayaan yang menyakini bahwa kejahatan merupakan sesuatu yang terjadi atas dasar izin Tuhan atau kepercayaan pada Tuhan yang menyakini bahwa kebencian terhadap perempuan itu terjadi atas dasar ridha dan izin-Nya.
Dalam tradisi Islam, Tuhan adalah sumber dari atribut-atribut Keagungan (jalal) dan Keindahan (jamal). Sayangnya, dengan beberapa pengecualian, beberapa usaha untuk memahami atribut jalal dan jamal ini sering mengalami kegagalan jika dilihat dalam perspektif Tes Lismus etis.
Kegagalan ini dapat dilihat pada bagaimana Tuhan dipahami sebagai zat yang mendukung watak patriarkhi yang menindas. Konseptualisasi ini bahkan menawarkan pembenaran teologis terhadap konsep kemahakuasaan dan kemahapengasihan Tuhan yang dapat dikompromikan dengan kejahatan yang dilakukan manusia atau akibat bencana alam.
Cendekiawan Muslim progresif dan muslimah feminis yang memiliki pendekatan proses-relasional dalam memahami teologi Islam sangat menantang pemahaman dominan jalal dan jamal ini. Pendekatan mereka ini bisa juga disebut sebagai konsep Ketuhanan yang secara etis layak disembah.
Saat ini, beberapa orang beriman yang menganut pemahaman ala “teologi Islam klasik” dalam memahami sifat-sifat Tuhan mungkin akan keberatan dengan pendekatan etis tentang siapa Tuhan. Mereka beralasan bahwa pendekatan saya ini akan berdampak pada menyamakan Tuhan dengan manusia. Saya memang tidak setuju dengan pandangan bahwa setiap konsepsi tentang Tuhan yang tidak etis dengan sendirinya bertentangan dengan gagasan alkitabiah tentang manusia yang diciptakan menurut gambar Tuhan (imago Dei) — versi yang kompatibel dengan Al Qur’an.
Selain itu, saya akan bersikeras bahwa teologi apa pun yang didasarkan pada Teori Perintah Ilahi (divine command theory) mewariskan pada kita teka-teki etis yang sangat problematis dan pada akhirnya tidak dapat dipecahkan, termasuk catatan kepercayaan pada Tuhan yang menghukum kebencian terhadap perempuan.
Keberatan lain yang mungkin terhadap tes lakmus etis ini didasarkan pada seruan dari kalimat yang banyak disalahgunakan (paling sering oleh kelompok militan dan radikal Muslim), “Allahu Akbar” (yang, diterjemahkan, berarti “Tuhan maha besar”). Ini sama dengan versi Teori Perintah Ilahi dalam daftar bentuk dominan teologi Islam — yaitu, teologi Asy’ari-Maturidi — yang menyatakan bahwa manusia tidak dapat menilai tindakan Tuhan berdasarkan standar manusia. Tapi itu bukan satu-satunya bentuk atau ekspresi teologi Islam. Memang, beberapa teolog Muslim telah menerapkan secara tepat ini uji lakmus etis tentang Ketuhanan ini.
Tapi saya akan menyampaikan sesuatu yang sedikit berbeda. Saya berpendapat bahwa “kebesaran” Tuhan seharusnya hanya diterapkan secara ontologis — dalam arti yang digunakan dalam mistisisme filosofis Islam — dan bukan pada etika dan yurisprudensi Islam. Sungguh, sifat-sifat Tuhan yang tak habis-habisnya yang berupa Keagungan (jalal) dan Keindahan (jamal) seharusnya menghasilkan ekspresi yang lebih indah secara etis dalam diri manusia, yang pada gilirannya berkontribusi pada perkembangan pribadi manusia yang lebih baik dan perkembangan keseluruhan ciptaan Tuhan.
Dalam analisis terakhir, sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa konsep kita tentang Tuhan memiliki implikasi penting — tidak hanya untuk kepercayaan teologis abstrak apa yang mungkin kita anut, tetapi juga nilai-nilai etis harus kita patuhi sebagai orang beriman. Ini adalah harapan saya yang mendalam di bulan Ramadhan ini bahwa semua orang percaya pada Tuhan akan serius merenungkan apakah gagasan kita tentang Tuhan dapat lulus tes lakmus etis yang saya usulkan. Karena hanya dengan cara inilah kita dapat yakin bahwa objek pemujaan kita memang layak secara etis untuk disebut.
*Artikel ini diterjemahkan oleh Abdul Aziz dari artikel berjudul A Qustion to Ask Ourselves This Ramadan: Is my Concept of God Ethical? Artikel ini diterjemahkan atas kerjasama Adis Duderija dengan el-Bukhari Institute.