Beberapa hari belakangan ini istilah buzzer, influencer, seleb medsos, atau apapun namanya, kembali mengemuka. Beberapa pengamat politik terpelajar menunjukan ketidaksukaannya kepada mereka. Satu atau dua orang secara keras bahkan menyebutnya sebagai perusak demokrasi.
Tetapi apa yang sesungguhnya terjadi? Tidak terlalu jelas. Yang bisa saya tangkap, sejumlah buzzer mempunyai pendapat yang berbeda dengan beberapa pengamat politik terpelajar yang terkemuka. Mulai dari soal Papua, KPK, hingga demonstrasi mahasiswa. Para buzzer dianggap hanya corong Istana.
Siapakah buzzer itu? Lagi-lagi tidak terlalu jelas. Mungkin orang seperti Denny Siregar yang mempunyai pengikut ratusan ribu orang itu. Pendapatnya dalam isu-isu politik terkini memang berbeda dengan analis para doktor yang lulusan sekolah-sekolah ternama itu.
Bagi Denny, isu-isu tersebut sengaja dibuat oleh kelompok pro-khilafah, atau pihak-pihak yang bekerja sama mereka, yang sejak awal memang anti-Jokowi. Bagi para doktor yang lulusan sekolah-sekolah ternama itu, pendapat Denny dinilai mengaburkan permasalahan. Lebih dari itu, Denny diaggap penjilat kekuasaan!
Saya heran mengapa perbedaan pendapat tersebut, yang sesungguhnya sangat biasa dan akan selalu terjadi di kemudian hari, menjadi sedemikian meruncing? Saya melihat pendapat Denny, yang terus terang baru saya tengok setelah orang-orang meributkannya, biasa saja. Yang istimewa adalah narasinya yang meliuk-liuk, sehingga ribuan orang me-like dan mengomentarinya.
Saya tidak tahu apakah pendapatnya faktual atau karangan, tetapi saya pikir itu bukan masalah besar. Terlebih lagi, bukankah orang seperti Denny memang sejak awal jelas pro-Jokowi dan anti-khilafah? Dalam hal ini dia cukup konsisten dalam pendapat-pendapatnya.
Apakah orang seperti Denny dibiayai oleh Istana? Lagi-lagi saya tidak tahu, mungkin ya mungkin tidak. Namun karena pernah berjumpa satu atau dua kali dengannya, juga pernah diundang ke acaranya di Cokro TV, saya tahu dia mempunyai kritik keras kepada Jokowi, terutama dalam hal penanganan kelompok-kelompok radikal. Baginya, Jokowi terlalu lembek, meski dia sadar bahwa posisi Jokowi yang sedemikian rupa itu membuatnya tidak bisa bergerak terlalu leluasa seperti diharapkan.
Berdasarnya pengalaman dan refleksi di atas, saya berpendapat bahwa peranan buzzer terlalu dilebih-lebihkan. Seolah-olah mereka bisa mempengaruhi opini publik karena mempunyai “kakak pembina” yang menggerakkan dari belakang layar. Bagi saya bukankah ini tidak lain seperti teori konspirasi? Lalu pertanyaan selanjutnya adalah mengapa para doktor terpelajar itu tampak mempercayainya?
Buzzer mirip para ustadz seleb yang belakangan muncul menggeser otoritas para ulama beneran. Mereka adalah pemain baru yang lahir karena ada media baru. Dengan menggunakan kemampuannya dalam merajut kata-kata, buzzer berhasil menarik perhatian para netizen yang haus akan berbagai informasi yang datang dan pergi tiada henti. Sama seperti para ustadz seleb yang tidak harus sekolah agama tinggi-tinggi, buzzer juga seperti itu. Mereka bukan lulusan sekolah ilmu politik, antropologi, atau filsafat, tetapi mereka bisa berbicara topik-topik politik, antropologi, atau filsafat secara lebih menarik daripada mereka yang lulusan sekolah-sekolah tersebut.
Dengan kata lain, apa yang sekarang terjadi adalah pergeseran otoritas pengetahuan. Para pemain lama yang tergagap-gagap, yang masih mengira media sosial sama dengan kelas-kelas di kampus yang penuh petuah-petuah normatif yang dikutip dari buku dan jurnal akademis, perlahan tersingkir. Sementara itu, para pemain baru, buzzer, berhasil menyihir pemirsanya dengan narasi-narasi yang menggoda. Dan, kita tahu, para netizen yang senang digoda, bukan?