Setelah pecahnya revolusi Prancis (1789-1799) yang menjadi cikal bakal terbesitnya konsep hak asasi manusia, juga Revolusi Industri (1750-1850) di Inggris setelah ditemukannya mesin uap, satu lagi revolusi yang saat ini tak kalah dahsyatnya, yaitu Revolusi Digital. Saya tak pernah mengira perkembangan dunia digital dewasa ini bisa sepesat sekarang. Dampak yang dirasakan pun sama halnya, entah itu positif atau negatif.
Sebagai generasi Y yang lahir pada rentang tahun 1977-1995, masa kecil saya dipenuhi berbagai kekaguman. Mulai dari telepon genggam yang dilengkapi fasilitas foto dan radio di dalamnya, hingga komputer tetangga yang bisa untuk mencari apapun di internet. Tapi kini semua terasa biasa-biasa saja. Barangkali itulah yang dirasakan generasi Z yang sekarang masih berumur 21 tahun ke bawah. Mereka adalah anak-anak kandung era digital.
Kita ambil satu contoh saja dari produk digital ini: media sosial. Pada tahun 2002, sejak situs jejaring sosial Friendster dibuat oleh Jonathan Abrams, perkembangan media sosial mulai digemari dan berkembang pesat di seluruh dunia. Saat gema Friendster mulai surut, muncullah MySpace, Facebook, LinkedIn, hingga yang paling digemari sekarang, Twitter dan Instagram. Saat ini, interaksi yang terjadi di jagat maya telah menghapus sekat ruang, waktu, hingga usia penggunanya. Jangankan generasi Z, generasi Baby Boomers yang lahir sebelum generasi Y saja masih banyak yang aktif menggunakan jasa komunikasi ini.
Euforia bermedia sosial ini sangat bisa digunakan untuk hal-hal positif, dan saya kira memang inilah tujuan utama diciptakannya. Tapi jika melihat kondisi di Indonesia saat ini, tampaknya hal-hal negatif lebih menumpuk di timeline media sosial kita. Ujaran kebencian, postingan bernada SARA, sarkasme, hingga intimidasi berserakan bak sampah busuk yang sulit terurai.
Sering sekali saya melihat twitwar yang liar di Twitter. Cemoohan dan penyerangan karakter dalam diskusi di Twitter pun sering kali tak mengindahkan etika. Media sosial memang mudah sekali menjadi citra palsu atas siapa pun yang menggunakannya. Saya sendiri tak yakin, jika dua orang (atau lebih) yang berkonfrontasi di dunia maya itu akan tetap garang jika duduk bersama dan menghadap teh hangat di depannya. Mereka bisa saja memilih menjadi harimau atau singa saat di media sosial, tapi sejatinya mereka tetaplah kucing yang “jinak”. Kucing yang pasti juga mendapat pendidikan etika dalam keluarganya.
Efek yang ditimbulkan dari ketergerusan etika ini sangat mungkin berbuntut panjang. Seperti yang kita lihat belakangan ini, banyak tindak persekusi yang dilakukan oleh ormas-ormas yang rentan tersinggung itu. Persekusi adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas.
Kasus terakhir terjadi di Jakarta baru-baru ini. Putra Mario Alfian ditampar dan dipukul oleh oknum FPI yang kesal, sebab mereka menganggap remaja berusia 15 tahun itu telah menghina imam besar mereka di media sosial. Sebelumnya, kasus serupa juga menimpa Dokter Fiera Lovita di Solok (Sumatera Barat) yang diteror dan diintimidasi oleh anggota FPI, karena diduga telah melecehkan imam besar mereka juga di media sosial. Kedua anak Dokter Fiera selalu menjalani hari-harinya dengan penuh ketakutan sebab teror yang tak henti-hentinya di manapun ibunya berada. Akhirnya, Dokter Lovita pindah ke Jakarta bersama keluarganya demi keamanan.
Saya sangat menentang adanya tindak persekusi. Kita hidup di negara hukum, bukan di alas rimba Digul (Papua) di masa pergerakan. Kita tak berhak berbuat semena-mena pada orang lain, bahkan jika ia bersalah sekalipun. Saya kira, persekusi adalah tindakan kriminal, atau (minimal) bisa dikatakan “main hakim sendiri”. Tapi bukan berarti saya membenarkan apa yang dilakukan oleh Dokter Fiera dan Mario Alfian, bagaimanapun juga mereka telah menyebar bibit kebencian di media sosial. Hasilnya akan menjadi lain jika mereka berdua menggunakan media sosial secara bijak dan beretika.
Hari ini, tanggal 10 Juni, adalah Hari Media Sosial. Sebagian dari kita mungkin memperingatinya, meski tanpa harus merayakan. Namun satu hal yang saya kira ada baiknya untuk diselipkan dalam peringatan ini adalah introspeksi diri. Sejak media sosial menjadi sarana mainstream untuk berkomunikasi, kita sering kali kehilangan kendali atas postingan maupun komentar kita sendiri. Ya, sering kali kita reaktif atas segala fenomena yang terjadi, sehingga ujaran-ujaran minus etika yang keluar dari jari-jari kita lama-kelamaan dianggap menjadi hal yang lumrah. Media sosial (plus etika) seharusnya bisa menjadi sarana membangun silaturahmi dan memperbanyak kawan, bukan malah menambah musuh dan mendatangkan teror.
Maka dari itu, bijaklah wahai pengguna!
Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat di Islami Institute dan komunitas Gusdurian Jogja.