Ahmadiyah adalah paham atau madzhab baru keislaman yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada akhir abad ke 19 di India. Dalam perkembangannya madzhab ini memiliki banyak pengikut (biasa disebut “Ahmadi”) yang tersebar di 209 negara (termasuk Indonesia) dengan jumlah pengikut lebih dari 200 juta jiwa. Keberadaannya sejajar dengan sekte-sekte lain seperti Syiah dan Ahlussunnah. Hanya saja, -karena masih terbilang cukup baru- paham ke-Islaman Ahmadiyah belum terkodifikasi secara sistematis sebagaimana paham ke-Islaman di dalam Ahlussunnah dan Syiah yang mudah dipelajari bagi selain kelompok keduanya.
Tulisan di bawah ini akan membahas tentang paham keislaman Ahmadiyah yang berkaitan dengan puasa. Sebagaimana Ahlussunnah, Syiah, dan umat Islam lainnya, Ahmadiyah juga menjadikan al-Quran dan hadis sebagai pengambilan hukum (mashdar al-hukm) dalam beragama. Artinya, baik berkaitan dengan ibadah maupun mu’amalah, Ahmadiyah selalu merujuk kepada al-Quran dan hadis.
Adapun penggunaan wasiat atau pesan-pesan dari Mirza Ghulam Ahmad, baik yang terdapat di dalam Tadzkirah maupun lainnya tidak lebih dari upaya memahami dua sumber utamanya (al-Quran dan hadis) sebagaimana Ahlussunnah atau Syiah yang juga mejadikan tokoh-tokohnya sebagai rujukan atau tafsir atas al-Quran dan hadis.
Perintah melakukan puasa menurut Ahmadiyah sama sebagaimana umumnya (madzhab) umat Islam, yaitu berdasarkan pada QS. Al-Baqarah 183-187 dan beberapa hadis Nabi Muhammad baik yang terdapat di dalam kitab hadis kanonik; Al-Bukhârî, Muslim, An-Nasâ`i, maupun para ulama ahli hadis lainnya yang tidak mungkin dijelaskan secara terperinci dalam tulisan singkat ini.
Dari sisi landasan teoritis, yakni penggunaan dalil-dalil teologis kewajiban puasa berikut tata caranya nyaris tidak ada perbedaan antara Ahmadiyah dengan Ahlussunnah atau biasa disebut kelompok “Sunni”. Perbedaan yang terjadi di antara keduanya sama sekali tidak bersifat prinsip, karena perbedaan serupa dengan mudah dapat ditemukan dalam satu madzhab fikih Sunni. Madzhab Syâfi’î seumpama, di dalamnya ada banyak pendapat dalam mengkaji satu persoalan tertentu.
Bisa dikatakan, puasa Ahmadiyah dengan puasa Ahlussunnah seratus persen sama, baik terkait dalil, waktu dimulainya puasa, maupun hari raya. Lalu di mana perbedaannya? Perbedaan yang akan dijelaskan di bawah ini, lebih spesifik pada perbedaan yang terjadi antara Ahmadiyah dan Ahlussunnah di Indonesia.
Pertama; Dalam menentukan awal datangnya bulan Ramadlan dan awal bulan Syawwal atau hari Raya, Ahmadiyah Indonesia tidak melakukan penghitungan atau penelitian bulan (ru`yah al-hilâl) sendiri sebagaimana Ahlussunnah yang terorganisir dalam ormas NU ataupun Muhammadiyah. Ahmadiyah dalam menentukan awal bulan menunggu dan mengikuti keputusan pemerintah atau hasil sidang itsbat.
Kedua; Ahmadiyah Indonesia tidak mengenal waktu imsak sebagaimana umumnya umat Islam Indonesia. Waktu imsak maksudnya ialah waktu untuk memulai menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sebelum fajar shâdiq yang menjadi awal waktu puasa. Biasanya jeda antara waktu imsak dengan datangnya waktu fajar kurang lebih sekitar 10 menit.
“Fikih imsak” menjadi kekhasan Islam Nusantara karena tidak dimiliki umat Islam di negara-negara lain, namun dengan tidak mengikuti waktu imsak tidak berarti menjadikan puasa seseorang kurang sempurna atau apalagi tidak sah. Di dalam Ahlussunnah sendiri banyak yang tidak memperhatikan waktu imsak. Artinya, ketika waktu imsak datang seseorang masih bisa makan atau minum hingga waktu fajar yang menjadi permulaan puasa datang.
Ketiga; Ahmadiyah tidak memberatkan anak-anaknya untuk berpuasa. Bagi Ahmadiyah, anak-anak selama belum baligh (dewasa) maka tidak perlu puasa kecuali dalam rangka belajar, yakni puasa setengah hari (sampai waktu dzuhur atau ashar). Tradisi seperti ini jamak dipraktikkan masyarakat muslim Indonesia dalam mendidik anak-anaknya untuk menjalankan puasa.
Keempat; Membatalkan puasa saat melakukan perjalaan jauh meskipun ditempuh dalam waktu yang sangat singkat. Misalnya, seorang Ahmadi yang tinggal di Jakarta hendak menuju ke Semarang, maka meskipun menggunakan pesawat yang hanya membutuhkan waktu 45 menit, seorang Ahmadi tetap dianjurkan membatalkan puasanya, yakni memanfatkan rukhshah atau keringanan dalam bepergian. Namun untuk hari selanjutnya apabila masih berada di tempat dia bepergian, di Semarang seumpama, maka ia harus menjalankan puasa karena bukan lagi sebagai “musâfir” (orang yang bepergian), tapi sudah menjadi “muqîm” (bertempat tinggal) meskipun hanya satu hari. Jadi, “rukhshah as-safar” bagi Ahmadiyah hanya ada pada saat perjalanan saja, tidak menghitung ketika berada di tempat tujuan.
Kelima; melakukan i’tikâf selama 10 hari di masjid. Ketika bulan Ramadlan sudah memasuki tanggal 20 maka jemaat Ahmadiyah, terutama yang punya waktu, akan meninggalkan rumah dan tinggal di masjid dengan membuat tenda di halamannya selama 10 hari. Tradisi ini bagian dari anjuran Nabi Muhammad yang terdapat di dalam hadis yang intinya umat Islam dianjurkan untuk beri’tikaf dalam malam-malam 10 hari terakhir bulan Ramadlan.
Kelima poin di atas adalah gambaran konkrit puasa Ahmadiyah yang kemungkinan berbeda dengan Ahlussunnah di Indonesia, meski di dalam Ahlussunnah sendiri kelima poin di atas dapat dengan mudah dijumpai, baik yang mempraktikkannya maupun sekedar berpendapat. Di atas segalanya, puasa yang dilakukan Ahmadiyah sama seperti puasa yang dijalankan Ahlussunnah dan umat Islam secara umum. Juga sama dalam menjadikan al-Quran dan hadis sebagai dua sumber utama di dalam berislam.
Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan menuduh Ahmadiyah sebagai kelompok sesat, kafir, dan tuduhan-tuduhan lain yang tidak sepatutnya disampaikan seorang muslim kepada saudara seislam.
Catatan: Tulisan ini berdasarkan pengamatan langsung dan wawancara dengan Pengurus Pusat Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Mahmud Ekky Mubarik.
*) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Bukit Walisongo Semarang