Profesor Leonard Swidler, Ph.D., S.T.L., LL.D., LL.D. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa beliau adalah salah satu teman baik Gus Dur dari lintas agama. Ia adalah Profesor Pemikiran Katolik dan Interreligious Dialogue di Dept. Agama di Temple University, Philadelpia, Amerika Serikat sejak 1966.
Dia dan istrinya Arlene Anderson Swidler mendirikan Journal of Ecumenical Studies. Pada tahun 1978, ia mendirikan dan menjadi Presiden Institute for Interreligius, kemudian dilanjut mendirikan dan menjadi presiden organisasi-organisasi dialog antarbudaya, Trialog Tahunan Cendekia Internasional (ISAT), Global Dialogue Institute, dan Center for Global Ethics
Swidler menulis lebih dari 80 judul buku dan ratusan artikel yang diterbitkan di banyak negara. Buku-bukunya banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai macam bahasa. Tak terkecuali dalam bahasa Indonesia. Diantaranya Buku Muslims in Dialogue. The Evolution of a Dialogue over a Generation, Dialogue in Malaysia and the Globe, There Must Be You. Leonard Swidler’s Journey to Faith and Dialogue, Trialogue. Jews, Christians, and Muslims in Dialogue.
Ia sangat gemar belajar history, philosophy, dan theology hingga mendapat banyak gelar dari delapan universitas di Amerika dan Jerman. Dan menjadi profesor tamu di universitas-universitas di berbagai negara. Dan ia mengajar mahasiswa-mahasiswa Timur Tengah, India dan Indonesia yang mewakili negaranya dalam program SUSI Religious Freedom dan Pluralism untuk belajar di Amerika Serikat selama beberapa minggu.
Ia seorang profesor yang tidak pelit dalam membagikan ilmu kepada mahasiswanya dengan gaya khas beliau mengajar diselipi oleh beberapa, termasuk mahasiswa Indonesia dalam program SUSI tersebut mengaku sangat senang dapat bertanya apa saja kepada Prof. Len yang menjadi sapaan akrabnya. Swidler membuka pintu selebar-lebarnya untuk murid yang ingin berdiskusi dengannya, meskipun melalu via email dan skype. Seorang guru besar ini sangat mengedepankan nilai etika dan moralitas yang diajarkan oleh agamananya.
Perjumpaan pertamanya dengan Gus Dur pada pertengahan tahun 1990-an ketika cucu KH. Hasyim Asyari ini datang ke Dept Agama, Temple University untuk menemui Alwi Sihab yang sedang menempuh PhD-nya. Kemudian Gus Dur juga sering datang ke Amerika untuk pergi ke rumah sakit mata.
Ketika keduanya bertemu, Len memberi tahu Gus Dur tentang Trialog Yahudi, Kristen, dan Muslim yang telah dijalankannya selama bertahun-tahun, sehingga mereka merencanakan untuk mengadakan Trialog berikutnya di Indonesia.
Ketika Len datang ke Indonesia ternyata Gus Dur telah menjadi Presiden saat itu. Jadi Trialog itu berlangsung di Istana Presiden. Sebagai konsekuensinya, Len juga kemudian diminta untuk melakukan program dua minggu untuk 75 guru sekolah dasar se-Indonesia bersama dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama dan UNICEF, mengajar dan melatih mereka dengan Deep-Dialogue dan Critical-Thinking, ketika itu para guru mengaku sangat antusias dengan program yang ia jalankan, kemudian ia mulai menghubungi Asia Bank dan The World Bank untuk mendapatkan dana yang digunakan untuk melatih para profesor-profesor di bidang pendidikan.
Gus Dur juga pernah lagi singgah ke Temple University untuk menemuinya ketika dalam perjalanan ke Israel untuk menerima Hadiah dari Israel. Persahabatan itu semakin erat dengan perbincangan-perbincangan santai diantara keduanya. Gus Dur mengatakan kepada Len bahwa Chaim Potok, seorang penulis novel Yahudi adalah penulis favoritnya. Dimana Potok tinggal hanya beberapa blok dari rumahnya, Len juga dalam kerja sama politik demokratis bersama istri Potok. Novel favorit Gus Dur karangan Chaim Potok adalah My Name is Asher Lev. Len berpikir bahwa Gus Dur melihat sesuatu pada dirinya dalam karakter tokoh utama novel itu, Asher Lev.
Hingga saat kematian Gus Dur pada tahun 2009 lalu, Len Swidler yang sangat mencintai Gus Dur merelakan datang ke Indonesia untuk perjumpaan terakhir dan mengucapkan salam perpisahan kepada sahabat baiknya ini. Beberapa kali juga Len berkunjung ke Pesantren Tebuireng Jombang dalam acara haul meninggalnya KH. Abdurrahman Wahid.
Dalam wawancara dengan Len Swidler, ia mengatakan, “Karena ketertarikan akan buku yang diceritakan oleh Gus Dur, bertahun-tahun yang lalu saya pernah berada di sebuah toko buku yang kemudian mencari buku itu, tetapi buku itu tidak terdapat di rak. Jadi, saya pergi ke meja dan bertanya apakah mereka bisa memesankan buku untuk saya. Petugas itu berkata, “ya, apa nama buku itu?” Tentu saja aku berkata, “My Name is Asher Lev.” Petugas kemudian berkata kepada saya, “Terima kasih, Tuan Lev, tetapi apa nama buku itu?” Setelah saya jelaskan bahwa itu adalah nama buku itu, kami berdua tertawa.”